CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (4)

1657 Words
Episode  : Pertemuan Pertama Yang Memberikan Kesan Mendalam Bagi Windy (1)   Semakin lama Windy memasuki toko bunga tersebut, semakin takjublah dia. “Wah! Luar biasa sekali, ya! Ternyata toko bunga All Ocassion ini luas sekali, ya? Dari depan saja terlihatnya hanya seperti toko bunga biasa. Aku nggak menyangka kalau ternyata bentuknya mengantung begini. Semakin jauh masuk ke dalam, semakin terasa lebar bangunannya. Bentuk yang seperti ini pasti ada maksudnya, kan?” celetuk Windy, mengungkapkan rasa kagumnya. Bagas mengangguk dan menyahuti Gadis itu, “Ah. Kamu itu terlalu memuji, Windy. Tidak sebesar itu juga, kok. Tapi mengenai bentuk yang mengantung, itu memang belajar dari Sesama Pengusaha. Katanya, tempat usaha yang baik itu memang sepatutnya dibuat demikian. Supaya rejeki dari luar terus mengalir ke dalam dan bisa disimpan, begitu. Dan karena aku pikir masuk akal dan bisa aku lakukan, ya sudah aku coba saja. Ah, maklumlah, aku ini Pengusaha kecil.” Mendengar Bagas sudah menyebut dirinya ‘aku’, sebagaimana dirinya, Windy jadi merasa akrab. “Lho, kamu itu jangan terlalu merendah. Low profile banget deh. Ini toko bunganya besar lho. Aku saja kalau tidak ditemani berkeliling begini, mungkin saja bakalan tersesat di dalamnya. Tahu-tahu, besok Orang kantor kebingungan, mencariku,” gurau Windy. Bagas tertawa kecil. Sebuah pemikiran melintas di benaknya, membuat drinya nyaris menyeringai. Untung saja, ia mempunyai kemampuan yang baik soal satu itu. Pelan saja, Bagas. Jangan terburu-buru. Tidak semua yang tampak mudah, akan semudah yang diperlihatkan atau dikesankannya. Kamu mempunyai waktu yang lebih dari cukup. Jalani saja prosesnya sebagaimana semestinya, nikmati setiap momen yang terhampar di hadapanmu, suara hatinya memperingatkan dirinya. “Wah! Terima kasih banyak atas pujiannya. Aku berharap itu bisa menjadi doa yang baik buat usaha yang aku jalani ini,” katanya. “Amin,” sahut Windy tulus. Lalu Windy melayangkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Selain beberapa foto aneka bunga yang penuh warna di dinding, tampilan sederet tanaman hias di depannya juga membuatnya semakin kebingungan saja. Pasalnya, semua itu tampak indah di matanya, membuat dirinya makin kesulitan untuk memilih mana yang terbaik dari semuanya. Juga, tidak mungkin untuk membawa semuanya. Ia sampai terbayang wajah Sang Mama yang merupakan pecinta tanaman. “Wah. Mamaku kalau aku ajak kemari, ditanggung sejuta persen, pasti nggak mau diajak pulang deh. Soalnya Mamaku itu suka sekali sama tanaman. Aku sama Papaku saja sering cemburu kalau Mamaku sudah asyik ‘bercengkrama’ dengan semua tanamannya itu. Seakan-akan semua tanamannya itu bisa diajak berbincang sama dia,” Windy setengah bergumam. Bagas memalingkan wajah. Ia bagaikan mendapatkan sebuah informasi besar dan amat berharga. Wajah Bagas terlihat sangat cerah. “Oh, ya? Berarti kamu juga sangat suka sama tanaman, ya?” tanya Bagas. Windy malah tertawa geli. Kemudian Ia menekan dalam-dalam rasa malu yang mengusiknya. “Sayangnya, sama sekali enggak. Aku bahkan nggak tahu dengan pasti jenis-jenis tanaman. Memalukan sekali, ya? Secara, aku ini kan Perempuan. Masa nggak paham nama-nama tanaman, kesannya gimanaaa, gitu. Nggak sepantasnya,” kata Windy lirih. Mendadak Bagas menyentuh lembut pundak Windy dan berkata, “Lho, siapa bilang? Jangan sampai punya pemikiran begitu. Nggak ada keharusan kok, bagi Seorang Perempuan untuk paham dan menyukai tanaman. Sebaliknya, juga nggak ada larangan bagi seorang Lelaki untuk menggeluti bidang usaha yang bersangkutan dengan keindahan begini.” Otomatis, Windy mengerling ke arah pundaknya. Sejujurnya, hatinya berdebar kian kencang. Dan entah mengapa, dia merasa nyaman disentuh macam itu. Dia merasa keakraban yang sejatinya mengalir lumayan cepat ini tidak ada salahnya. Malah baginya, ini sebuah jembatan yang baik untuk lebih mengenal Sosok Bagas lebih jauh lagi. Bagas menyadari kerlingan mata itu. Ia tergeragap. Buru-buru ia menyingkirkan tangannya dari pundak Windy. “Oh. Eh. Maaf, maafkan kekurang ajaranku. Sungguh, aku minta maaf. Itu tadi gerakan spontan. Tidak ada maksud sama sekali untuk berpikiran atau berlaku tidak sopan terhadap Pengunjung toko bunga ini. Tolong dimaafkan,” kata Bagas penuh sesal, disertai dengan gerakan menjauh satu langkah dari posisi berdirinya Windy. Ia bahkan sampai terbungkuk-bungkuk, menjadikan permintaan maafnya terkesan dramatis dan begitu tulus dari dasar hati. Lucunya, Windy justru menyayangkan hal itu. Hati kecil Windy berbisik, “Ya elah. Santai aja kali. Cuma sentuh pundak, kok. Aku juga bisa merasakan, kamu itu nggak ada niatan sedikit pun buat melecehkan aku. Aku malah merasa diperlakukan sebagai Teman, bukan sekadar Pengunjung toko. Tenang saja. Aku nggak sekolot dan se-negative thinking itu.” “Aku tahu kok, kamu tidak sengaja melakukannya. Santai saja. Eh, tapi anggap saja tadi itu sebuah kesalahan dan menjadi credit point buat aku. Bagaimana kalau kamu menebus kesalahanmu itu dengan sedikit menerangkan tentang bunga-bunga yang ada di foto itu? Dilanjutkan dengan tanaman hias yang ada di sini? Supaya aku nggak terlalu minder, kalau ada yang mengobrol denganku tentang bunga, tapi aku malah nggak bisa menimpali. Terus nanti, kamu juga kasih aku saran yang bagus, ya, mana tanaman hias yang sebaiknya aku pilih untuk memenangkan perlombaan di kantorku? Ya, setuju, kan?” cerocos Windy dengan semangat. Bagas  mesem-mesem kecil. Mendadak saja dia merasa, Windy sudah ada ‘dalam genggaman’nya. Ia merasakan bahwa Windy senang berada di dekatnya. “Kok malah mesem saja?” tanya Windy. “Ooh..., itu tadi. Aku berterima kasih karena kamu memafkan kesalahan yang tidak sengaja aku lakukan kepadamu. Itu membuatku mrasa lega. Tapi kan permintaan yang kamu sebutkan barusan lumayan banyak, jadi agak bingung mau menanggapi yang mana dulu. Tapi jangan takut, aku akan kabulkan semua. Kamu tinggal bilang saja, mau mulai dari yang mana dulu,” seloroh Bagas. Windy langsung tersipu mendengar keterus terangan Bagas. Dan dalam pandangan mata Bagas, Gadis di depannya ini lumayan menarik dalam keadaan macam itu. “You are so beautiful,” ucapan Bagas yang setengah bergumam itu tertangkap pula oleh indra pendengaran Windy. Tak urung itu membuat Windy semakin tersipu saja. Pipinya terasa panas. Ia bahkan curiga, jangan-jangan pipinya sudah memerah bak kepiting rebus sekarang ini. Namun begitu dia tidak hendak menyangkal alangkah hatinya berbunga-bunga mendengar ucapan Bagas. Dipikirnya, sama dengan dirinya, Bagas juga sudah mendapatkan kesan yang mendalam atas dirinya, pada perjumpaan pertama ini. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama rupanya. Bagas sudah langsung menanyainya, “Oke. Mau yang mana dulu? Mau tanya-tanya soal foto bunga atau tanaman hias di depanmu?” Windy terpana. Oh. Sejujurnya, itu sudah tidak terlalu penting lagi. Kamu tuh..., bikin aku serasa melayang. Aku curiga, jangan-jangan kamu ini memiliki ilmu sirep, ya? Kamu bikin aku terbelit pesonamu. Walau aku nggak tahu secara pasti pesona apa dan yang mana? Apakah sikap hangatmu? Tutur katamu? Penampilanmu? Ataukah karena kamu adalah Seorang pengusaha muda yang sukses? Wow! Aku nggak kebayang kalau ke depannya nanti kita akan menjalin hubungan, pikir Windy. Tak tercegah, Windy membayangkan seperti apa reaksi Sang Mama jika suatu sat ia mengajak Bagas ke rumah dan memperkenalkannya secara resmi sebagai Kekasihnya. Pikirnya, pasti Sang Mama langsung akan memberikan restu. Malahan bisa jadi, Sang Mama bakal membuatnya cemburu, lantaran akan lebih nyambung berbicara tentang tanaman dengan Bagas, dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia jadi mesem-mesem kecil. “Nah, silakan. Mau dimulai dari yang mana,” suara Bagas membuyarkan lamunan singkat Windy. Windy berusaha keras menyembunyikan rasa gugupnya. Telunjuknya terarah ke dinding, menunjuk secara asal sebuah foto bunga. “Nah, ini bunga apa? Dan adakah maknanya? Coba, tolong ceritakan secara rinci, kalau kamu nggak keberatan,” kata Windy sembari menunjuk pada foto tanaman yang tampak unik. Pada foto itu terlihat dedaunan dari tanaman itu tampak dalam posisi menggulung. Bagas manggut kecil. “Oh, ini. Ini namanya tanaman Marantas. Ia kerap disebut juga sebagai tanaman doa. Bentuk daunnya itu seperti cerminan dari ucapan syukur setiap harinya,” terang Bagas. “Wow! Dalam sekali maknanya,” komentar Windy. “Benar. Sebetulnya hampir setiap tanaman itu mempunyai maksan tersendiri. Karenanya, misal kalau kita memberikan tanaman atau bunga tertentu, sebaiknya berhati-hati dan mencari tahu terlebih dahulu, supaya tidak keliru,” tambah Bagas. Windy kian kagum pada keterangan Bagas. “Tanaman Marantas ini juga bagus untuk dihadiahkan kepada Seseorang, sebagai sarana untuk mengucapkan terima kasih, Windy. Dan bagusnya, dia juga punya corak warna yang beragam pada daunnya,” kata Bagas lagi. Sampai di sini, Windy sudah tidak terlaly mendengarkan keterangan Bagas. Seolahitu tidak penting baginya. Ia hanya merasa hatinya tersentuh kala Bagas mengucapkan namanya dengan lembut. Pikirannya sampai melayang-layang. Rasanya nikmat sekali. “Oh, begitu. Eng..., ngomong-ngomong, kira-kira kamu tahu nggak, kenapa Orang suka berbicara kepada tanaman?” mendadak pertanyaan Windy beralih ke hal lain. Bagas hampir tertawa, namun ia merasa itu sangatlah tidak sopan. Karenanya, dia hanya tersenyum maklum. “Begini. Tanaman itu juga makhluk Tuhan. Apa bedanya Seseorang mengajak berbicara tanaman, dengan Seseorang mengajak bicara binatang peliaharaan kesayangannya? Kucing, misalnya, atau burung. Iya kan?” Bagas melemparkan kalimat retoris yang mudah dipahami oleh Windy. Gadis itu menganguk-angguk dan menyahut, “Iya juga ya.” Dia jadi teringat Sang Papa yang juga suka mengajak bicara burung peliharannya. Klop deh, Papa sama Mama. Yang satu ngajak ngomong burung, satunya ngobrol asyik sama tanaman. Ha ha ha, batin Windy geli. Kini Windy melayangkan pandangannya kepada beberapa macam bunga mawar. Ia brdecak kagum. “Aku nggak pernah menyangka, bunga mawar itu banyak variannya, ya. Cakep. Ada yang warna kuning, biru, hijau, hitam, peach, pink, putih, juga merah. Selama ini hanya beberapa yang aku sering lihat. Mawar pink, putih, merah dan kuning. Selebihnya..., boleh dibilang jarang,” ungkap Windy kemudian. “Nah, itu juga artinya berbeda-beda. Ada yang untuk mengungkapkan perasaan kepedulia. Ada juga yang dipergunakan untuk sarana meminta maaaf. Ada yang mengekspresikan rasa hormat terhadap Seseorang yang diberikan mawar tersebut. Ada juga yang maknanya adalah keanggunan. Ada pula yang melambangkan cinta pertama, bahkan ada yang melambangkan cinta yang mendalam,” sahut Bagas dengan lancar.   Lucu. Windy tidak terlalu tertarik dengan uraian Bagas yang lumayan panjang. Pusat perhatiannya menyangkut pada ‘melambangkan cinta yang mendalam’. Dan hatinya tergelitik. Dan aku nggak keberatan kalau kamu kasih bunga mawar yang melambangkan rasa cinta yang mendalam, terlepas dari apa pun warnanya. Hm, tampaknya aku bisa belajar kok, untuk menyukai warnanya. Itu perkara kecil saja buatku. That's not a big deal at all, batin Windy malu-malu.                                                                                                                       $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD