CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (3)

1681 Words
Episode  : Tantangan Perlombaan Yang Merepotkan Windy Briastuti (3)   Melihat Windy hanya menghentikan langkah kakinya di dekat pintu kaca yang baru saja dilaluinya dan belum juga memberikan respons kepadanya, Si Gadis manis itu tetap dalam posisi semula, tersenyum penuh keramahan. Seolah dirinya telah lulus suatu kepelatihan dan mengantungi sertifikat ‘Hospitality’. Sikap yang ditunjukkan oleh Gadis manis tersebut ternyata ampuh untuk menerbitkan rasa tak enak hati Windy. Tak enak hati untuk mengabaikannya begitu saja. Karenanya, ia mendekatkan juga dirinya ke meja tinggi yang tampaknya merupakan meja resepsionis itu. “Ya, Mbak, data apa yang diperlukan sama Mbak?” tanya Windy. “Maaf, yang pertama. Boleh tahu siapa nama Mbak?” tanya Gadis manis yang memakai name tag bertuliskan Diandra Mustika itu. Windy langsung terdiam. Keraguan tampak terbias di parasnya. Tampak ia menimbang-nimbang. “Eng.., itu harus, ya?” tanya Windy lirih. Semacam usaha untuk melepaskan diri dari ‘kewajiban’ yang mendadak disodorkan kepadanya. Dipikirnya, masa mau cari tanaman bunga saja, pakai harus repot segala? Mesti ‘membocorkan’ data pribadi segala. Kalau nanti digunakan untuk tujuan yang kurang baik, bagaimana? Boleh curiga, dong, Seorang Windy yang terbiasa memegang data-data penting dari mulai level Staf sampai Management dan menjaga kerahasiaannya? Diandra tersenyum ramah. “Sekadar untuk mendata Pengunjung saja, Mbak. Yang diperlukan sebatas nama dan tanggal lahir, kok. Kalau nomor telepon dan tahun, tidak wajib diberikan. Terkadang, ada yang keberatan untuk mencantumkannya,” jelas Diandra santun. Windy mulai mencerna perkataan Diandra. Dia menimbang, tampaknya takkan terlalu berbahaya. Diandra ini toh melakukan tugasnya saja. Tak ada salahnya dibantu, bukan? Itu yang ia pikirkan. Hanya nama dan tanggal lahir, apa susahnya? Tanpa tahun, pula! Ya kasih saja deh. Ada banyak sekali orang yang bernama windy dan mempunyai tanggal lahir sama, kan? Ini Bos-nya dia lucu juga, kasih perintah begini, batin Windy yang langsung yakin bahwa Diandra bukan bertindak atas kemauan pribadinya, melainkan atas perintah dari Sang Pemberi kerja. “Oke, di mana nulisnya?” tanya Windy kemudian. Nada bicaranya amat ringan, seringan hatinya, usai mempertimbangkan baik-baik di dalam diamnya. Diandra tertawa kecil menanggapi Windy. Dan kali ini, Windy melihat gigi gingsul Gadis manis itu. Gigi gingsul yang menambah pesonanya. Kalau saja dirinya adalah Seorang Laki-laki, boleh jadi sudah jatuh hati kepada Diandra, pada pandangan pertama. Iyalah, sore-sore begini, setelah seharian bekerja keras memeras otak dan mencurahkan tenaga, disapa dengan lembut dan ramah, lalu mendapatkan ‘sajian pemandangan’ yang menyegarkan begini. Dia saja, yang Wanita, bagai terhipnotis. Buktinya, pada akhirnya ia tidak keberatan lagi untuk diajak ‘bekerja sama’. “Tidak perlu ditulis. Mbak cukup sebutkan saja. Saja yang akan mengetik di data kami,” jawab Diandra. “Oh, oke kalau begitu. Nama saya Windy Briastuti. Tanggal lahir saya 8 Agustus. Cukup, kan?” jawab Windy diakhiri kalimat tanya, untuk mengkonfirmasi keterangannya sendiri. “Itu sudah cukup, Mbak Windy. Terima kasih banyak atas data yang diberikan,” ucap Diandra disertai anggukan santun. Kini, justru Windy yang ragu untuk segera melangkah dari sana dan meninggalkan Diandra begitu saja. Seperti ada rasa tak enak hati kalau tidak memberikan juga nomor teleponnya sekalian. “Nomor telepon sekalian deh Mbak. Silakan dicatat. Nomornya 081XXXXXXX,” ucap Windy, tanpa diminta. Mata Diandra mengerjap. Dia senang, karena pengunjung satu ini akhirnya mau juga memberikan data yang ia minta. Ya, data yang dia tahu sering sekali dilihat oleh Bos-nya. Diandra juga ingat, Bos-nya selalu memujinya, bila dia sampai berhasil mendapatkan data begitu lengkap, dari nama, nomor telepon serta tanggal lahir. Dan dia bagai mendapatkan durian runtuh, karena Windy yang berinisiatif memberikan nomor telepon genggamnya. Itu membuat dirinya dilanda euforia sesaat. “Oh, maaf. Boleh tolong diulangi sekali lagi, Mbak Windy?” tanya Diandra, yang masih tak menyangka Windy mau menyebutkan nomor teleponnya. Nomor telepon kan, bukan termasuk sesuatu yang diminta oleh sang Bos, untuk ditanyakan kepada para pengunjung, sejatinya. Kali ini dia sengaja menyebutkan pula nama Windy. Sebab, Bos-nya pernah berpesan, setiap orang itu akan senang jika dipanggil dengan namanya sendiri. “Nama adalah sesuatu yang paling merdu di telinga Pemiliknya,” begitu yang dikatakan oleh Bos-nya. Sesuatu yang kerap dipraktekkan oleh Diandra, dan sejauh ini terbukti kebenarannya. Kali ini terori itu juga tidak meleset. Buktinya, Windy tersenyum. Di sisi Windy, karena berharap urusannya lekas selesai, Windy pun menyebutkan kembali nomor telepon genggamnya dengan lancar. “Terima kasih banyak, Mbak Windy,” ucap Diandra. “Sama-sama,” sahut Windy. “Mari saya antar, Mbak Windy mau cari kembang apa?” tanya Diandra seusai mengetik dan menyimpan data pribadi Windy yang baru didapatkannya. Dia sudah bersiap akan turun dari kursinya, untuk mengantarkan Windy ke dalam. “Saya kemari bukan mau cari kembang. Saya mau cari tanaman hias,” jawab Windy. “Hallo, selamat sore. Mbak mau mencari tanaman hias? Boleh saya bantu? Yang sebelah sini, Mbak,” sapa sebuah suara bariton. Windy memalingkan wajah ke asal suara. Seketika ia terpana. Di dalam diam ia mencermari Sosok yang menyapanya. Windy melihat, Sosok itu adalah Seorang Laki-laki yang ditaksirnya berusia di pertengahan tiga puluhan. Sosok itu tengah menatap kepadanya sembari mengulas sebuah senyum yang  sungguh simpatik. Windy langsung terbuai. Dia bertanya-tanya dalam hati, entah dari mana datangnya makhluk berparas menawan ini, kenapa langkahnya saja nyaris tak terdengar? Apakah saat tadi aku bercakap-cakap dengan Diandra, sebenarnya dia sudah ada di belakangku dan memperhatikanku? Tanya Windy dalam diam. Untuk menyembunyikan kesan betapa ia sesungguhnya tersipu, Windy memberanikan diri membalas tatapan Laki-laki tersebut. Windy terus mencermati setiap detailnya. Sisiran rambut yang demikian rapi, wajah yang tampak kalem, tatapan mata yang dalam serta sanggup membius lawan jenisnya, alis lebat bak kanopi yang melindungi sepasang matanya, garis rahang yang tegas. Ya ampun! Itu semua gabungan yang sempurna untuk dinikmati mata, kan? Satu-satunya yang mengusik perasaanku saat ini, hanyalah bentuk hidungnya dia yang sedikit bengkok. Bentuk hidung yang demikian bagaikan tokoh nenek sihir di cerita kartun. Terkesan jahat. Ah, tapi itu hanya noktah kecil. Untuk apa dihiraukan? Mungkin saja itu bawaan lahir. Memangnya ketika lahir Orang bisa memilih-milih mau mempunyai bentuk hidung macam apa? Atau..., bisa jadi.., dia ini pernah mengalami benturan saat kecil dan tidak bisa direkonstruksi oleh Dokter, pikir Windy.  Ya, Sosok di depannya amat sempurna di mata Windy. Membuat dirinya memutuskan untuk tidak menghiraukan bentuk hidung Si Lelaki itu. Apalagi, suaranya saja sudah mendayu-dayu seperti penyanyi k-pop begini, Windy belum meleleh saja, sudah bagus sekali. Dan Windy sungguh mengapresiasi ‘ketahanan’ dirinya saat ini. “Oh, Pak Bagas yang mau mengantar Mbak Windy? Tadinya saya mau minta tolong ke Mbak Ningrum untuk menemani Mbak Windy ini mencari tanaman yang dia perlukan,” kata Diandra, yang rupanya juga baru tersadar bahwa Bos-nya itu ternyata telah berada di dekatnya. Sudah barang tentu, Sang Bos sempat memerhatikan juga cara kerjanya tadi. Ah, untung saja dia melakukan semua sesuai Standard Operating Procedures yang ditetapkan oleh Sang Bos. Dia tidak memaksa, tetapi tetap mendapatkan data yang diperlukan, sesuai arahan Bos-nya. Untuk itu, dia juga yakin bahwa itu akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi kinerja kerjanya di mata Sang Bos, kelak. “Iya, Diandra, nggak apa. Saya juga lagi sempat, kok,” kata Bagas, menyahuti Diandra. Diandra mengangguk-angguk. Dia menoleh kepada Windy dan berkata, “Silakan, Mbak. Ini, ditemani Pak Bagas Effendy langsung. Beliau adalah Pemiliknya toko bunga All Ocassion ini. Jadi nanti Mbak Windy bisa bertanya lebih rinci mengenai tanaman yang Mbak Windy cari.” Bibir Windy sontak membentuk huruf O. Entah mengapa, mendadak saja hatinya kok jadi deg-deg an tak beraturan begini. Matanya langsung iseng menelusuri jemari Bagas yang masih bersih dari cincin. Pikiran liar melompat dari kepalanya. Iyalah, ketemu Cowok dengan penampilan fisik lumayan, memiliki usaha sendiri, kalau masih single dan available, sah-sah saja toh, untuk didekati? “Windy,” ucap Windy seraya mengulurkan tangannya. Ia tergerak untuk memberikan senyum termanis yang dimilikinya kepada Pria di depannya ini. “Bagas,” sambut Bagas, mengucap namanya sembari menyalami Windy. Senyum ramahnya terulas di bibir, membuat hati Windy tergetar karenanya. Rasanya hati Windy ingin bersorak kala telapak tangan mereka saling bersentuhan. Ia dapat merasakan dan memastikan, tidak ada satu benda logam bulatpun, yang melingkari jari-jemari Bagas. Wow! Wow! Wow! Bisik hati Windy. Takjub luar biasa. “Yuk, silakan ke sebelah sini,” Bagas menunjuk dengan ibu jarinya. Gerakan yang simpel saja. Tapi itu membuat tubuh Windy seolah melemas. Apalagi kedua lututnya. Ia tak habis pikir, di jaman modern begini, ada Pria yang bukan hanya tutur katanya, tapi juga bahasa tubuhnya, sesantun ini? Sudah begitu, dia tk lain merupakan Pemilik usaha ini, pula! Daaan..., kemungkinan besar, seperti harapannya yang membersit kala matanya menelusuri jemari Bagas yang bersih tanpa cincin dan dengan sadar sengaja mengajak bersalaman untuk membuktikan dugaannya. Hei! Bukannya itu berarti Bagas ini masih single serta available? Wah, kurang sempurna apa, coba? What a perfect day for me! Mantap, sungguh menyenangkan? Keterlaluan benar kan, kalau yang model begini tidak aku syukuri? Tanya Windy dalam hati. Terkenanglah dia akan sebuah quote favoritnya : When it is too good to be true, maybe it is true. Nyaris senyumnya mengembang tanpa tercegah. Hati Windy langsung menghangat, lantaran harapan yang menyembul malu-malu. Harapan yang menurutnya bisa saja menjadi sebuah kenyataan, A Dream come true! Diam-diam, Windy berterima kasih dalam hati, atas lomba yang diadakan oleh kantornya, juga Sang Penjual tanaman hias yang memberinya info tadi pagi, yang menyebabkan langkahnya sampai kemari sore ini. Windy berjalan bersisian dengan Bagas. Pada setiap ayunan kakinya, sesungguhnya ia juga dibuat sibuk oleh debar-debar yang begitu kencang di hatinya. Tambahan pula, dia juga harus membujuk hatinya untuk tidak terlalu cepat melambungkan angan setinggi langit. Dia ini memang sedang tidak mengenakan cincin pernikahan. Tapi bukan berarti dia belum menikah juga, kan? Ya, bisa saja, kan, ada Lelaki yang sudah menikah tetapi tidak mengenakan cincin kawinnya? Kalau aku menilik dari usianya, dan bisnisnya yang oke ini, kok rasanya mustahil dia belum memiliki Seseorang. Minimal, Tambatan hati? Ya, bisa jadi dia sudah mempunyai Seorang Tunangan. Atau minimal, Seorang Kekasih? Tengok saja penampilannya yang pas. Masa iya, dia nggak punya Seseorang untuk memberikan pendapat, untuk ‘mengurusi’nya? Rasanya agak mustahil, pikir Windy yang terus saja menelisik dan mengagumi penampilan Bagas yang tampak santai dan sedap dipandang dalam pakaian kasualnya.                                                                                                                                 * * Lucy Liestiyo * * 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD