CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (1)

1708 Words
Episode  : Tantangan Perlombaan Yang Merepotkan Windy Briastuti (1)   Lampu merah  yang terletak di perempatan jalan Halimun itu kembali menyala, tepat ketika Windy baru saja memajukan kendaraannya sedikit, masuk ke dalam antrian panjang menuju perempatan jalan yang setiap pagi dilaluinya tersebut. Ia langsung berdecak gemas. “Gileee! Kalau setiap kali lampu hijau menyala terus yang berhasil melewati perempatan jalan ini cuma dua kendaraan, mau sampai kapan gue terbebas dari ini perempatan keramat? Hadeeeeh! Bisa keburu nambah nih uban di kepala, gue” keluh Windy Briastuti. Ia menyebut perempatan jalan itu ‘keramat’ saking dia kesal. Pasalnya, setiap hari dia harus menghabiskan waktu antara lima belas menit hingga dua puluh menit lamanya untuk melewati lampu merah yang satu itu demi mencapai kantornya. Dan malangnya, itu terbilang rute yang tersingkat. Artinya, jika ia berniat menghindari lampu merah tersebut, ia harus menempuh jalan alternatif lain, yang memutar, atau bahkan yang disebut ‘jalan tikus’ Dan jaraknya..., nyaris dua kali lebih jauh dibandingkan dengan rute yang tengah ia tempuh sekarang. Demi mengusir rasa bosan, dipasangnya ear phone ke telinganya. Ia memutar lagu lawasnya Ace Of base yang berjudul ‘It’s A Beautiful Life.’ Maksud hatinya, tentu untuk mengundang aura positif dan semangat yang terpancar dari alunan lagu up beat tersebut. Lumayan, untuk beberapa saat lamanya, kepalanya ikut bergoyang-goyang ke kanan serta ke kiri, menikmati ritme musik yang mengalun. Di beberapa bagian yang dihafalnya, Windy juga ikut bersenandung, melafalkan lyric lagu tersebut. Ada kalanya, dia juga bersiul-siul kecil pada bagian yang tidak dihafalnya dengan baik. Maka, menunggu lampu hijau kembali menyala juga tak terlalu berat dirasakannya.  Perlahan namun pasti, posisi mobil yang dikendarai Windy maju dan maju, sedikit demi sedikit. Hingga pada akhirnya ia tiba persis di perempatan lampu merah tersebut. “Yuhuuuu! Sedikit lagi bakalan sampai di seberang deh. Setelah itu, praktis jalan ke sananya tidak semacet dan sepadat ini. Paling sedikit, di dekat kantor nanti, biasa rada antri panjang tuh, dekat danau. Tapi kan sudah agak legaan kalau sudah dekat kantor,” sorak Windy senang. Sorak senang Windy berganti menjadi senyum lebar, sesampainya dia di seberang jalan. Embusan napas leganya terdengar tatkala ia melirik sekejap ke penunjuk waktudigital yang ada di atas dashboard mobilnya. Hm..., masih cukup waktu nih, kalau aku singgah sebentar beli bubur Singkawang yang dekat sama kantorku. Rada lapar nih, gara-gara tadi bangun tidurnya kesiangan dan terburu-buru. Akibatnya, nggak bisa sekadar menyiapkan sarapan oatmeal deh, pikir Windy. Saat itulah, musik yang mengalun di telinganya tiba-tiba saja berhenti, membuat dirinya sedikit bertanya. “Eits, ada apa nih?” gumam Windy. Pertanyaannya langsung terjawab. Ternyata ada panggilan telepon masuk.  Dengan ekor matanya, Windy mendapati kontak ‘Nek Yeslin’ di layar telepon genggamnya. “Hm. Dia. Untung bukan Orang kantor. Wah, kalau Orang kantor yang telepon sepagi ini, bisa-bisa aku kasih bonus omelan sedikit,” gumam Windy lagi. Ia langsung menggulir ikon telepon berwarna hijau, tanpa berpikir apa-apa, lalu mengarahkan lagi pandangannya ke jalan raya di depannya. “Hallo Nek. Good pagi selamat morning,” sapa Windy pada Sang Sahabat yang tengah menghubunginya. “Hallo, hallo! Good pagi selamat morning juga. Elo lagi di mana, Nek?” tanya Yeslin Priyandhini, secepat panggilan mendapatkan respons dari  Sang Sahabat, Windy Briastuti. “Gue lagi otewe kantor, nih, seperti biasa. Elo tumben banget, Nek, sepagi ini kok sempat telepon ke gue? Memangnya elo lagi nggak ada liputan pagi apa, jadi nggak grubag-grubug buat persiapan ke lokasi?” Windy balik bertanya. Sebagai sahabat kental, mereka berdua memang terbiasa saling memanggil ‘Nenek’ ke satu sama lain. Panggilan sayang sih, kalau kata mereka, biarpun sebetulnya enggak keren-keren banget, kalau didengar oleh telinga Orang lain. Malah lebih sering mereka diolok sama sekitar mereka kala mengetahui ‘panggilan sayang’ yang kurang umum itu. Namun toh, mereka tidak peduli apa kata Orang. Tetap saja mereka mempertahankan panggilan sayang itu buat mereka berdua. Dan faktanya, baik Yeslin maupun Windy, senang-senang saja, mendengar diri mereka dipanggil demikian oleh satu sama lain. ... “Kita kan nggak hidup dari apa kata Orang ya Nek? So what gitu lho.., kita juga nggak ngerugiin siapa-siapa dengan panggilan itu,” kata Yeslin suatu kali, ketika beberapa Teman mereka mencemooh panggilan itu. “He eh. Para Nenek yang punya hak paten untuk dipanggil Nenek aja nggak pernah komplain tuh, ke kita. Santai aja mereka,” timbul Windy pula, kalau Yeslin sudah berkata begitu. Alhasil, keduanya biasanya tertawa bersama. ... “Gue justru lagi mati gaya tahu nggak Lo?” ungkap Yeslin. “Mati gaya kenapa? Seorang Yeslin gitu lho, masa bisa mati gaya. Kurang bisa dipercaya nilai kebenarannya. Secara..., Yeslin kan paling aktif dan energik, gesit bagai sebuah gangsing. Lari ke sana, lari ke sini, demi mengejar kisah hidup manusia untuk diberitakan,” goda Windy diiringi derai tawanya. Tawa yang begitu renyah. Yeslin ikut tertawa beberapa saat. Lalu yeslin menyahut, “Nah itu dia, Nek! Gue nih lagi nungguin nara sumber gue yang belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Gara-gara gue sendiri. Kepagian banget, nih, nyampe ke lokasi wawancara.” “Kepagian banget? Kok bisa? Biasanya seorang Yeslin itu paling cermat memperhitungkan waktu. Ya kalau kepagian, mustinya nggak pakai embel-embel banget, iya kan?” timpal Windy. “Dasar lo! Iya, ini kepagiannya pakai banget. Maklum, gue enggak begitu paham daerah sini. Akibatnya karea gue terlalu well prepared, ya gue spare waktu-nya kebanyakan. Udah gitu, tandem gue juga belum nyampek ke sini pula. Iseng banget, kan, nggak ada Teman buat ngobrol,” cetus Yeslin. “Oooh..., ya elo main game, lah. Atau lo baca ulang daftar pertanyaan yang sudah elo buat. Tambah-tambahin kek, atau apa kek. Biasanya elo paling kreatif tuh, soal yang begitu-begitu,” balas Windy.  “Biasanya. Biasanya! Ini lagi nggak biasa. Kan tadi elo sendiri bilang, tummm.... been! Nah elo, tumben juga, hari gini kok masih di jalan, belum sampai kantor? Biasanya bukannya elo tuh nyaingin pak Eman, office boy elo itu, bantuin dia ngebuka pintu kantor?” Yeslin balas menggoda. Windy tertawa kecil. “Dasar, lo Nek! Ngeledek gue aja, kerjanya! Udah gitu, baru keisengan banget neleponin gue pas mati gaya. Huh! Jenis Sahabat macam apa, itu. Nggak disarankan sama sekali!” Windy berlagak tersinggung. Kemudian katanya menyambung, “Eh, ngomong-ngomong, Nek, gue lagi pusing, nih, cari pohon.” Di seberang sana, Yeslin yang mendengarnya langsung terperanjat. “Hah? Cari pohon, Nek? Serius, elo lagi cari pohon? Atau gue salah dengar, barusan ini? Waduh! Kayaknya gue harus ke Dokter THT secepatnya. Entar gue sambil cek jadwalnya, ah, di rumah sakit THT yang dekat kantor gue,” olok Yeslin lagi. Windy berdecak. “Reseh ah lo Nek! Serius kok, gue lagi cari pohon nih. Nggak perlu gue ulang sampai tiga kali kan? Nggak bakalan dapat hadiah piring cantik juga dari elo,” jawab Windy. “What? Uh! Batal deh janjian sama Dokter THT ganteng. Jadinya gue enggak salah dengar, tadi itu!” Yeslin pura-pura menyesali keadaan. “Oiii! Serius dong, Nek! Udahan kali bercandanya! Masih pagi begini juga,” sela Windy. “Ya lagian...! Sejak kapan, elo ikut-ikutan senang bercocok tanam, seperti Nyokap elo? Atau jangan-jangan, elo baru tersadar sekarang, kalau ngelihatin aneka kembang itu bikin mata elo jadi segar? Juga, mendatangakan ketenangan jiwa?” timpal Yesin. Lalu lekas ditambahnya dengan kalimat yang diucapkan demikian ringan, “Yaaa.., maksud gue, di samping ngelihatin Cowok cakep, sih, yang pakai label ‘single and available’, he he he.” Windy menepuk jidatnya sendiri. “Ampun deh! Dasar lo ya! Enggak, sih, Nek, bukan terpengaruh Nyokap. Nggak ada hubungannya sama itu malahan. Ini, sebentar lagi mau ada lomba antar Department, di kantor gue. Nah, setiap ruangan department head, itu harus ada pohonnya. Dan sejujurnya, selain kebersihan, kerapian, penataan file dan ruangan yang baik serta kreatitifas tiap bagian untuk memanfaatkan barang daur ulang sebagai hiasan atau apa pun, poin keasrian ruangan kepala bagiannya itu punya porsi lumayan. Nggak tahu deh, mereka mau menilai asrinya doang, atau pakai segala macam falfasah gitu,” urai Windy panjang lebar. Mendengarnya, Yeslin manggut-manggut. “Penting banget ya itu lomba?” Yeslin melemparkan kalimat retoris. Seolah tidak tahu kalau Seorang Windy Briastuti itu pasti takkan mau mengerjakan hal yang sia-sia. “Ya iyalah! Ya bukan sekadar masalah hadiahnya, sih. Hadiah uangnya nggak seberapa, tapi kan Anak buah gue senang kalau dapat hadiahnya. Lumayan tahu, buat makan siang bareng selama seminggu penuh. Tapi yang terpenting itu adalah gengsinya. Keren kalau bisa menang. Management juga bakalan kasih penilaian positif,” jelas Windy, Lantas Sang Wanita yang cukup sukses dalam kariernya di perusahaan tempatnya berkarya itu segera menyebutkan lomba rutin di kantornya yang juga ditandai dengan pemberian semacam piala bergilir bagi yang mendapatkan predikat ‘Terbaik’ serta ‘Terburuk’. Nah Tentu saja pantang bagi Seorang Windy untuk mendapatkan predikat ‘Terburuk’. Malunya bakal sampai setengah tahun, hingga lomba yang sama diadakan kembali dan piala dengan katergori ‘Terburuk’ itu dapat berpindah ke bagian lainnya. Itupun, kalau berpindah. Kalau predikat ‘terburuk’ itu masih betah bertempat di bagian yang ia pimpin, alamat akan memperpanjang lagi masanya untuk menanggung malu. Kira-kira seperti itu. “Ooh..,  jadi begitu ternyata! Ngerti, ngerti! Terus, elo mau cari kemana itu pohon?” tanya Yeslin pula. “Ini, gue mau lihat-lihat di sekitar pinggiran danau buatan, setelah tikungan jalan di depan gue. Kalau dari sini sih kelihatannya lagi macet tuh, jadi rasanya gue bisa melipir nanti. Kebetulan yang sempurna, kan? Seingat gue, di sepanjang pingiran danau buatan itu kan, ada dua atau tiga penjual tanaman hias. Atau..., bisa jadi lebih,” terang Windy. “Oh, iya, iya. Inget gue, udah lumayan dekat dari kantor elo itu. Jadi elo sudah hampir sampai ke sana?” timpal Yeslin. “Ho oh, dekat sih. Lagi menuju ke sana. Tapi justru itu Nek. Gue rada bingung mau pilih pohon apa yang cocok buat ditaruh di ruangan gue nanti,” ungkap Windy. “Laaah...! Kenapa pakai acara bingung segala? Yang penting kan, pohonnya bagus, enak dilihat,bungkus lah, bawa pulang!” komentar Yeslin. “Ih, Si Nenek! Enteng banget tuh ngomongnya. Tadi pagi sarapan lauknya Cuma kerupuk nih, jangan-jangan! Nggak sesederhana itu juga, tahu!” sela Windy. “Memangnya serumit apa, Nek? Bilang dong! Gue kan bukan Cenayang yang bisa nebak-nebak dan merangkai sendiri omongan elo yang secuil-secuil itu!” Suruh Yeslin.                                                                                                        $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD