CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (2)

1660 Words
Episode  : Tantangan Perlombaan Yang Merepotkan Windy Briastuti (2)   Windy menurut. “Jadi begini ceritanya, Nek. Gue tuh ada dengar-dengar dari Anak buah gue kemarin. Orang Marketing katanya mau taruh pohon Wijaya kusuma. Eh, by the way benar nggak, tuh, namanya. He he.., ini gue rada ragu juga sih? Jadi kata Anak buah gue, itu pohon, rencananya  mau ditaruh di ruangan Kepala bagian Marketing, Si Pak Rory Tandiono. Katanya sih, lambang kejayaan atau apa, yang intinya yang bagus-baguslah. Benar nggak sih, Nek? Biar Marketing terus berjaya. Begitu sih, ngomongnya,” cetus Windy. “Oh, gitu,” sahut Yeslin. “Kok oh gitu? Benar, nggak? Nah Elo kan jurnalis, tukang cari info. Benar nggak, itu?” tanya Windy. “Apanya?” Yeslin malah balik bertanya. “Arti dari pohon Wijaya kusuma, Nenek,” kata Windy serius. Diam sesaat. Padahal ini giliran Yeslin bicara. “Oiii! Tidur?” tegur Windy bernada mencemooh.  “Enggak lah. Gila kali, nungu nara sumber sambil tidur. Itu tadi, arti Wijaya kusuma? Bisa jadi. Elo cek aja di internet. Masa mentang-mentang gue jurnalis, apa-apa harus tahu. Dan mentang-mentang punya teman jurnalis, terus seenak jidat nanya apa saja ke gue. Please deh, itu kuota lo nganggur tahu, keburu paketnya habis. Setiap bulan buang-buang percuma sisa kuotanya. Ngapain begitu coba? Enggak bikin kaya provider-nya juga,” elak Yeslin, berkelit dengan lihainya. Windy mencebik. “Hm, dasar. Nggak asyik, lo Nek! Eh, terus, si Virny Pujianto, kepala bagian keuangan itu, gue lihat ada beli pohon bambu yang kecil-kecil itu lho, kemarin. Tepatnya pas jam makan siang. Dia taruh itu di ruangan dia. Visualnya cakep banget. Dipakein pita merah pula, jadi kontras. Katanya dia sih, bambu kan melambangkan kemakmuran, biar cashflow perusahaan lancar dan surplus melulu katanya. Yang ini sih, menurut gue, oke, ada benarnya juga. Nah sekarang, gue yang bingung, pohon apa yang cocok, buat departement gue, yang bermakna gitu Nek,” komentar Windy. Terdengar tawa renyah Yeslin dari seberang sana. “Heh! Malah ketawa! Bukannya bantu mikir biar departemen gue menang pas penilaian nanti. Ayo, pohon apa yang cocok, buat department General Affair?” tegur Windy kepada Sang Sahabat. Penuh harap. “Ha ha ha...! Honestly, I have no idea, Nek. I’m so sorry then. Malahan nih menurut gue pribadi, karena departement elo itu kan departemen yang umum, mending elo fokus ke penampilan kembangnya aja, juga warnanya. Bukannya pusing-pusing mikirin ari pohon dan hubungannya dengan departemen elo. Biar memperbesar kemungkinan menang,” saran Yeslin akhirnya. “Ah, nggak memecahkan masalah,” protes Windy. Ia mulai merengut. “Lhaaa..., memang nggak ada masalah, ngapain juga dipecahin? Piring beling kali, dipecahin!” goda Yeslin. “Ih! Nyebelin!” sahut Windy. “Eh, Nek, ada telepon masuk. Kameraman gue, nih, kayaknya. Sori, entar deh, kita sambung lagi. Selamat berburu pohon. Asal jangan pohon kamboja ya, entar serasa ruangan kerja elo itu kuburan. Yang ada, suansanya mencekam, horor dan bikin merinding. Entar Anak buah elo pada nggak betah, lagi. Talk to you later, Nek! Hhave a nice day! Daagh...” tanpa menunggu persetujuan Windy, Yeslin menutup pembicaraan melalui telepon itu. Selalu saja seperti itu pembawaan Yeslin kalau sudah ‘mencium’ aroma pekerjaan yang harus segera dia eksekusi. Wajar. Apalagi tadi dirinya juga sudah menyatakan mati gaya karena tidak melakukan apa-apa. “Huh, dasar kutu kupret si Nenek satu itu!” dumal Windy. Klakson mobil di belakangnya terdengar nyaring. Windy menggerutu. “Sabar, kali. Namanya macet, ya jalannya pelan, lah,” kata Windy sembari menatap ke kaca spion. Setelah melewati satu jalan yang berbelok, Windy segera melambatkan laju kendaraannya. Lantas setelah memastikan jalanan di belakangnya tak akan terganggu, dia melipir ke sisi jalan, tepat di dekat penjual bunga yang pertama. Enggan membuang waktu secara percuma, Windy segera turun dari mobil dan melihat-lihat berbagai tanaman dalam pot besar maupun kecil itu. Semuanya tampak indah di matanya, meski dia tak mengerrti satu persatu nama-nama tanaman tersebut, apalagi maknanya. “Cari tanaman hias apa, Mbak?” tanya Sang Penjual tanaman hias dengan ramah. Windy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sedikit kebingungan harus menjawab apa. Tapi Sang Penjual tanaman hias sabar menantinya. “Eng.., saya mau cari pohon untuk diletakkan di dalam ruangan. Yang bentuknya kecil, indah, dan mudah perawatannya,” jawab Windy kemudian. “Untuk di rumah, ya Mbak?” tanya Sang Penjual tanaman hias. Windy lekas menggeleng. “Untuk ditaruh kantor, sih, Pak. Rencananya, mau diletakkan di dalam ruangan. Sebetulnya, saya suka sama tanaman bambu itu, macam-macam, ya ternyata. Ada yang lurus, ada yang agak bercabang,” Windy menunjuk ke deretan tanaman bambu dalam pot, yang dibentuk demikian menarik. Ah, andai saja Virny belum membelinya! Kan nggak lucu, kalau dalam satu kantor, ada yang tanaman bunganya sama. Kesannya nyontek, nggak kreatif! Pikir Windy. “Oh, boleh, nih, Mbak. Silakan dilihat-lihat dulu. Saya sambil siapkan pesanan yang mau diambil sebentar lagi, ya. Nanti kalau butuh bantuan atau ada yang mau ditanyakan, panggil saya saja,” kata Si Penjual tanaman hias padanya.  “Oh, ya, silakan, Pak,” sahut Windy. Windy menatap dengan mata berbinar, deretan pohon bambu di depannya. Ada yang super mungil, ada yang sedang, ada pula yang sebesar pohon bambu yang dibeli oleh Virny kemarin. Ah, kurang cepat sih, keduluan Virny deh, pikir Windy setengah kecewa. Lantas Windy melihat-lihat sejumlah tanaman hias lainnya, tetapi tidak ada yang menarik minatnya. Maka, dia pun mohon diri. “Belum ada yang cocok, ya?” tanya Sang Penjual tanaman hias, masih seramah semula. “Iya. Maaf ya, Pak. Nggak apa-apa, kan?” kata Windy, tak enak hati. “Nggak masalah, Mbak,” katanya. Sang Penjual tetap tersenyum ramah, meski Windy tidak jadi membeli, alias masuk kategori ‘lld’- lihat-lihat doang. Windy langsung berjalan kaki dan mengunjungi dua Penjual tanaman hias lainnya. Sama seperti pada Penjual tanaman hias yang pertama, dia pun meminta maaf karena belum ‘sreg’ dengan tanaman yang ada. Mereka berdua bereaksi biasa saja. Tidak cemberut. Malah, Penjual tanaman hias yang ketiga, berlaku super baik padanya. “Mbak, kalau Mbak datangnya siangan, Mbaknya bisa mengunjungi toko bunga yang ada di perempatan jalan sana. Itu lho, kelihatan dari sini kan?  Yang besar itu, tokonya, yang di hook,” kata Penjual tanaman hias yang ketiga. Windy tidak antusias mendengarnya, padahal Sang Pemberi arahan sudah begitu semangat sampai menunjuk-nunjuk toko yang dia maksudkan supaya Windy tidak salah alamat. Seperti Seseorang yang mendapatkan komisi dari toko bunga itu saja, tingkahnya. Windy menggeleng. “Eng..., tapi saya carinya bukan kembang, Pak. Maksudnya, bukan rangkaian bunga macam itu. Saya butuhnya pohon bunga, Pak. Yang mirip-mirip dengan ini. Lagian, perempatan jalan itu lumayan jauh dari sini. Mungkin sekitar satu setengah sampai dua setengah kilometer jauhnya. Benar, kan, perempatan yang di maksud Bapak, perempatan yang dekat Super market ‘Apa Saja Ada’?” sahut Windy. Yang ditanya mengangguk mantap. “Betul, perempatan jalan yang itu yang saya maksudkan. Memang itu perempatan jalan yang terdekat dari sini, kan?” katanya. “Iya,” sahut Windy singkat. Sang Penjual tanaman hias ini mengamati Windy yang tampak tak bersemangat. Ia masih merasakan kalau keterangannya kurang akurat. “Saya mengerti apa kira-kira yang Mbak pikirkan. Tapi setahu saya, toko bunga itu nggak hanya menjual bunga segar dan bunga plastik. Dia juga menjual aneka tanaman hias, Mbak. Jauh lebih komplit dari yang ini. Makanya tokonya besar,” jelas Si Ppenjual tanaman hias kemudian. Kali ini Windy tergugah. Semangatnya bagai terpompa kembali, mengendus sepercik harapan yagn baru. “Oh, ya? Betul itu, Pak?” tanya Windy takjub, sekaligus hendak memastikan keterangan yang barusan didengarnya. Sang Penjual tanaman hias di depannya mengangguk. “Iya, Mbak. Salah satu Pelanggan saya, yang ngasih tahu ke saya soal itu. Jadi, kalau ada tanaman hias yang nggak ada di sini, mereka suka cari ke sana. Kabarnya, Pemiliknya itu punya kebun yang luas, di pinggiran Jakarta dan juga di kawasan Puncak,” urai Sang penjual tanaman hias, secara rinci. “Oh, ya?” Windy mengulang perkataan yang tadi. “Iya, karena toko bunganya juga nggak cuma satu, Mbak. Ada di Bogor juga,” tambah Sang Penjual tanaman hias. Sekarang Windy bagai melihat harapan yang besar sekali. Matanya langsung berbinar. “Oh, oke, oke kalau begitu. Terima kasih banyak atas informasi Bapak. Nanti siang atau sore saya sempatkan singgah ke sana. Nama tokonya apa, Pak?  Kalau sekarang, saya sudah agak kesiangan. Lagi pula tokonya belum kan, jam segini?” kata Windy. Yang ditanya garuk-garuk kepala dan menjawab, “Aduh sayangnya nama tokonya agak susah diingat, Mbak. Pakai bahasa Inggris begitu. Tapi Mbaknya tanya saja toko bunganya pak Bagas, semua tahu kok, besar sekali, itu. Dan mungkin satu-satunya toko bunga di sana. Kalau pagi begini belum buka, Mbak. Nanti sekitar jam setengah sepuluh ke atas, coba.” Windy manggut tanda mengerti. “Oh, baik kalau begitu. Sekali lagi, terima kasih banyak atas informasinya, Pak. Mari, saya permisi dulu,” sahut Windy. “Silakan, Mbak,” sahut Si Penjual tanaman hias. Windy berjalan cepat menuju ke mobilnya, dan sesegera mungkin melajukan kendaraan pribadinya itu menuju ke kantor. Bayangan nikmatnya bubur Singkawang sudah menerbitkan air liurnya. * “Selamat sore, selamat datang di toko kami,” Sebuah suara terdengar lembut dan riang, menyapa Windy bersamaan dengan terbukanya pintu kaca toko bunga dan tanaman hias “All occassion” itu. Sapaan yang menurut Windy bakal mujarab untuk membuat Siapa saja yang berkunjung untuk tergerak hatinya dan pantang keluar dari toko tersebut dengan tangan kosong. Alias, pasti berbelanja! Windy menoleh dan membalas senyum Sang Empunya Suara. “Maaf, boleh isi data sebentar, Mbak?” Sapa seorang Gadis manis yang duduk menghadapi monitor komputer. Dialah Sang Empunya Suara yang tadi menyapa Windy. Betapapun Suara itu begitu lembut dan sopan, serta terdengar bersahabat, tetap saja membuat Windy terheran mendengarnya. Seumur-umur masuk ke toko bunga, apalagi ya memang baru pertama kali begini, baru sekali ini dirinya diminta untuk melakukan semacam registrasi. Alangkah lucu dan menggelitik bagi Windy. Tak terhindar, ada gerakan halus di sudut bibir Sang Kepala Bagian General Affair di perusahaan tempatnya bekerja ini.                                                                                                              $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD