Tangisan Davin seketika berhenti saat botol s**u telah berada di mulut. Bayi yang sedang dalam masa belajar tengkurap itu menyusu dengan kuat hingga satu botol penuh s**u itu perlahan tinggal separuh.
Shakila menatap wajah mungil bayi dalam dekapannya itu dengan seksama dan baru menyadari bayi itu terlihat sangat tampan.
“Buah jatuh memang tak akan jauh dari pohonnya,” gumam Shakila. Meski sebelumnya sempat panik bahkan kebingungan, di saat Davin diam, tenang, dirinya ikut merasakan kedamaian.
Shakila menghela nafas berat membuat Davin melepas isapan dan hendak menangis. Terkejut, Shakila segera membenarkan letak dot s**u dan Davin pun kembali menyusu.
“Aku ada urusan. Saat aku pergi, jangan berani menyusuinya lagi,” ucap Julian tegas kemudian melangkah pergi meninggalkan Shakila yang duduk di tepi ranjang di kamarnya.
Shakila hanya diam dan menatap punggung Julian yang mulai menjauh. “Apa dia gila? Mana mungkin aku menularkan penyakit pada anaknya? Aku belum punya ASI!” pekik Shakila di akhir kalimat setelah yakin Julian telah menjauh.
Nafas Shakila terengah karena masih kesal. Dirinya reflek menyusui Davin karena berpikir Davin akan diam jika menyusu meski tak keluar ASI. Otaknya sudah buntu bagaimana cara membuat Davin berhenti menangis di saat ia harus membuat s**u.
Shakila kembali menatap Davin dengan sorot mata sendu. Entah kenapa ia kembali teringat anak dan istri Arga. Mengingat betapa lembutnya istri Arga bertutur kata membuatnya yakin wanita itu tak tahu apa-apa. Satu-satunya yang salah, dan memang harus disalahkan adalah Arga.
Shakila menggeleng keras. Untuk apa ia memikirkannya? Ia sudah memutuskan melupakan Arga. Selama satu bulan ini dirinya berjuang untuk tetap waras dan menjalani hidupnya tanpa Arga yang sebelumnya mengisi singgasana hatinya.
“Kau kuat Shaki, buktikan pada si b******k itu kau juga bisa berhasil tanpa orang tuamu," ucap Shakila pada diri sendiri teringat Arga menghinanya yang hanya akan jadi beban karena kabur dari rumah dan lepas dari orang tuanya.
Jarum jam terus berputar dan tak terasa hari sudah gelap saat Julian sampai di rumah. Ia segera melangkah menuju kamarnya melihat keadaan Davin dan apa yang babysitter barunya lakukan. Dan saat membuka pintu kamarnya, ia melihat Shakila tertidur pulas di samping Davin yang juga terlelap. Melihat itu, ia kembali menutup pintu dan menuju dapur melihat apakah sudah ada makan malam atau belum. Dan benar saja, belum ada apapun di atas meja.
Julian kembali ke kamarnya dan membangunkan Shakila menyuruhnya membuat makan malam.
“Bangun!” Julian menepuk bahu Shakila namun wanita itu masih terjaga bahkan terdengar dengkuran halus darinya.
Julian berdecak dan mendesis kasar. Ia menggoyangkan tubuh Shakila agar wanita itu cepat membuka mata. “Cepat bangun!”
“Ngh … ada apa, Bu? Shaki masih ngantuk,” igau Shakila yang tengah bermimpi indah. Ia bermimpi mandi di tengah kolam uang dari hasil kerjanya dan menyumpal mulut Arga dengan segepok uang. Tawa kecilnya pun terdengar berpikir mimpi itu adalah kenyataan.
Julian yang melihatnya merasa muak. “Aku menggajimu bukan untuk tidur!”
Seketika Shakila membuka mata lebar. Ia pun seketika bangun dan melotot saat melihat Julian berdiri menjulang di sisi ranjang dan menatapnya tajam.
Shakila buru-buru turun dari ranjang. “A– ada apa, Tuan?” tanyanya gugup seraya mengusap liur di sudut bibirnya.
“Ada apa? Apa kau tak melihat jam berapa sekarang?! Cepat buat makan malam!”
“Ah! Ya! Ya! Baiklah!” Shakila segera berlari keluar kamar di mana ia nyaris terhuyung saat akan melewati pintu karena nyawanya seakan belum terkumpul sepenuhnya.
Sesampainya di dapur, Shakila membuka kulkas dan menemukan beberapa bahan makanan. Mengikat rambutnya tinggi dengan asal dan memakai celemek, ia bersiap memasak.
Sementara itu Julian masih di kamar menjaga Davin. Ia duduk di tepi ranjang mengamati wajah Davin yang terlelap dengan pulasnya. Ada satu alasan mengapa dirinya menerima Shakila begitu saja sebagai babysitter Davin meski ia tahu Shakila sama sekali tak memiliki pengalaman menjaga anak sebelumnya. Salah satunya karena Shakila masih muda. Sejak awal dirinya mencari babysitter sekaligus pembantu rumah tangga. Dan wanita muda pasti tak akan cepat lelah saat mengerjakan tugas bukan hanya menjaga Davin tapi juga membereskan pekerjaan rumah. Selain itu dirinya dapat melihat Shakila wanita yang jujur meski juga terlihat jelas Shakila menerima pekerjaan darinya hanya karena uang. Sebelumnya ia sengaja pergi meninggalkan Shakila dan Davin sendiri dengan meninggalkan segepok uang di atas meja kamarnya dan uang itu saat ini tetap utuh. Jika Shakila memiliki niat buruk, pastilah ia sudah kabur membawa uang itu dan meninggalkan Davin sendiri atau parahnya membawa Davin pergi. Tapi, Shakila tetap di sana meski ia menemukannya dalam keadaan tidur. Selain karena beberapa alasan itu, juga karena Shakila adalah orang tercepat yang sampai rumahnya dan ia tak ingin pusing dengan melakukan seleksi jika ada pelamar lain. Dan satu poin penting yang lain adalah, Shakila cukup menarik. Kecantikannya bisa dibilang memenuhi kriterianya.
Tiba-tiba Julian mencium bau sesuatu. Ia bangun dari duduknya dan mengikuti asal aroma aneh yang menusuk hidung. Dan langkahnya membawanya ke dapur di mana Shakila tengah berkutat dengan penggorengan yang berapi.
“Tuan! Tolong!”
Julian begitu terkejut dan segera mengambil APAR untuk memadamkan api. Sementara Shakila dengan wajah cemong hanya berlindung di balik punggungnya.
Beberapa saat setelahnya api berhasil padam dan menyisakan penggorengan Julian yang berlubang. Nafas Julian terengah dengan wajah dipenuhi keringat. “Apa yang kau lakukan?! Kau mau membakar rumahku?!” teriak Julian hingga urat-urat lehernya terlihat.
Shakila hanya menunduk sampai tiba-tiba tangisnya terdengar. “Maafkan aku … aku tidak sengaja … maaf, maaf,” racaunya dengan memeluk kaki Julian. Sebenarnya dirinya tidak bisa memasak. Saat masih tinggal dengan kedua orang tuanya, dirinya bahkan tak pernah menyentuh dapur. Ibunya selalu menyiapkan makanan untuknya. Dan saat ia tinggal mandiri, dirinya selalu membeli makan di luar, membeli makanan jadi. Itu lah salah satu alasan lain kenapa tabungannya cepat menipis.
Julian menggoyangkan kakinya agar Shakila melepaskannya. Ia bahkan bisa merasakan celananya basah oleh ingus Shakila yang membuatnya jijik. “Lepaskan!”
Shakila mendongak dengan wajah basah karena air mata. “Aku akan melepaskannya tapi tuan harus berjanji tidak akan memecatku!”
“Tsk! Lepaskan!” Julian berusaha menarik kakinya tapi Shakila kian menguatkan pelukannya.
“Tidak! Tidak mau! Tidak mau!” rengek Shakila.
Di saat bersamaan tangisan Davin terdengar membuat Julian dan Shakila menghentikan tingkah mereka. Shakila melepas pelukan kuatnya dari kaki Julian dan segera bangun untuk melihat Davin.
“Hei! Tunggu wanita gila!” cegah Julian namun langkah Shakila begitu cepat. “Jangan sentuh bayiku dengan tangan kotormu!” teriaknya dan segera menyusul Shakila sebelum Shakila menyentuh Davin dengan tangannya yang kotor juga wajah cemong.
Sesampainya di kamar, teriakan Julian menggema membuat Davin yang sebelumnya diam saat melihat Shakila, kembali menangis dengan tangisan lebih kencang dari sebelumnya.
Nafas Julian terengah dan segera menghampiri Shakila. “Ja– jangan sentuh bayiku! Bersihkan dulu tangan dan wajahmu!” teriaknya dengan mengatur nafas.
Shakila menatap Julian dengan wajah innocent. “Ta– tapi, Tuan … anda juga ….”
Julian menunduk menatap kemejanya warna putihnya yang telah kotor kemudian menoleh pada lemari kaca yang membuatnya dapat melihat pantulan wajahnya di cermin. Sama seperti Shakila, tangan dan wajahnya pun sama cemongnya dengannya.