He's Gone

1072 Words
Elkan menghentikan mobil sport hitamnya di carport. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun ini memiliki paras yang luas biasa tampan. Ia juga memiliki banyak tato di tubuhnya, yaitu disepanjang tangan kanan, lalu di d**a bergambar dua burung kecil, dan dipunggung bergambar sepasang sayap cukup besar. "Papa mana, Bu?" Elkan bertanya begitu saat melihat ibu sambungnya sedang menyiapkan sarapan di meja. "Lho, El? Kamu ke sini. Ayo duduk, Nak. Kita sarapan sama-sama." Desty terlihat senang melihat kedatangan Elkan. Alih-alih menuruti ucapan Desty, justru Elkan pergi ke arah kulkas untuk mengambil minuman kaleng di sana. "Papa belum turun, masih siap-siap di kamar," lanjut Desty berucap. Kemudian Milka muncul dari balik tembok. Gadis berambut ikal panjang itu terlihat buru-buru. "Ma!" Melihat keberadaan kakak tirinya sedikit mengejutkan Milka. Elkan sangat jarang menunjukkan batang hidungnya di rumah ini. "Ada Kak El juga ternyata." "Ada apa, Nak?" Desty bertanya kepada putri semata wayangnya. "Aku ke rumah Sissy ya, Ma. Semalam kita main bareng tapi Sissy ngilang gitu aja. Tadi ditelponin juga gak aktif-aktif. Aku mau mastiin kalo dia ada di rumah dan baik-baik aja," ucap Milka seraya mengulurkan tangannya kepada Desty. "Gak mau sarapan dulu?" "Enggak. Udah ya, Ma. Aku berangkat sekarang." "Iya. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," pesan Desty. "Iya, Mamaaa!" Karena mabuk berat Milka dan yang lain tidak terlalu lama mencari Sissy. Mereka sudah kehilangan konsentrasi dan berpikir positif kalau Sissy sudah pulang lebih dulu. Apalagi tas dan handphone gadis itu tidak ada di sana. Melihat kekhawatiran Milka membuat senyum smirk terbit dari bibir Elkan. "Kamu di sini El?" Suara Fandy menyadarkan Elkan dan Desty. "Nah, karena Papa udah di sini, sekarang kita sarapan," ucap Desty. Fandy mengangguk. Tapi ia tidak menemukan keberadaan Milka. "Lho, ini Milka belum turun, Ma?" "Udah, Pa. Tadi buru-buru pergi mau ke rumah temennya, Sissy." "Anak Pak Tama itu ya?" Desty berdeham. "Oh iya, Pa, Mama dengar-dengar mantan istrinya Pak Tama sekarang menjalin hubungan sama brondong lho." "Ah yang bener Mama," balas Fandy menganggap ucapan istrinya lelucon. "Iya bener, Pa. Teman arisan Mama itu tantenya si brondong." Fandy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Udah ah. Gak usah ngurusin hidup orang lain. Sekarang ayo makan." Kemudian ketiganya sarapan bersama. Setelah selesai, Elkan bicara berdua bersama Fandy mengenai perencanaan bisnis yang akan diperbesar. Elkan bukan seorang yang malas bekerja, justru pemuda itu sangat ambisius dalam pekerjaan. "Kamu udah ketemu sama Om Teddy?" "Belum. Rencananya baru hari ini." Fandy mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu harus banyak belajar sama Om kamu itu. Dia hebat dalam segala hal." Elkan tersenyum geli. "Termasuk menikahi banyak wanita maksudnya?" "Kamu ini. Kalo Om Teddy sampe denger, bisa dibotakin kepalamu," tegur Fandy lalu tertawa bersama Elkan. *** Milka mengetuk-ngetuk pintu kamar Sissy. Tadi asisten rumah tangga sudah mengatakan tentang pertengkaran Sissy dengan papanya. "Sy? Buka pintunya!" Milka berdecak pelan. Tidak biasanya Sissy mengunci pintu kamar seperti ini. "Lo pergi aja, Mil. Gue mau sendiri dulu!" Sahutan dari dalam kamar membuat Milka khawatir. Pintu kamar di kunci dan kedatangannya di tolak. "Kok lo ngusir gue sih? Gue khawatir sama lo, Sy! Semalam kenapa lo balik duluan tanpa bilang-bilang sih? Gue sama yang lain panik nyariin lo!" Tidak ada jawaban dari dalam. Milka menghela napas. "Ya udah deh kalo emang lo mau sendiri dulu. Gue gak bakal paksa lo. Tapi lo harus tahu kalo gue sama temen-temen selalu ada buat lo, kapan pun lo butuh kita, okay?" Masih tidak ada jawaban. Milka mengembuskan napas panjang. Sambil melangkah pelan, ia mengetikkan pesan di grup chatting bersama teman-temannya dan mengatakan kalau Sissy ada di rumah. Tiba-tiba saja terdengar suara pecahan yang cukup keras dari dalam kamar Sissy. Milka yang panik pun langsung berbalik arah dan menggedor-gedor pintu berwarna putih itu. "SY! ITU SUARA APA, SY? LO BAIK-BAIK AJA KAN?! SISSY JAWAB GUEEE!!!" Teriakan Milka mengundang kedatangan Asri. "Non Milka! Ada apa, Non?" "Bi! Kunci serep kamar Sissy, Bi! Buruan!" Tanpa bertanya lagi Asri segera pergi untuk mengambil kunci serep kamar Sissy. Sementara itu, Milka segera menghubungi Fabian karena perasaannya tidak enak. "Ke rumah Sissy cepetan!!!" teriak Milka begitu sambungan telepon terhubung. "Ini, Non!" Milka segera mengambil kunci tersebut dari tangan Asri dan segera membuka pintunya. "SISSY!" Milka menjerit terkejut begitu melihat Sissy menangis dengan kondisi tangan berlumuran darah. Serpihan kaca berserakan di atas lantai. Sepertinya Sissy telah meninju cermin di meja riasnya tadi, lalu dia menggunakannya untuk menggores tangannya. "Astagfirullah, Non Sissy!" Milka segera melepas blazer-nya lalu melilitkannya di tangan Sissy yang terluka. "Ambil P3K, Bi! Buru!" Asri mengangguk panik. "Lo kenapa sih, ha? Ini bahaya tahu gak! Bego banget sih lo! Gue khawatir sama lo, Sy! Gue gak suka lo kayak gini!" Milka berteriak sedih dengan air mata mengalir deras. Asri datang dengan kotak P3K ditangannya. Milka segera membawa Sissy agar duduk di sofa dan dia mulai membersihkan luka tersebut dan mengobatinya. Milka mengusap kasar air mata di pipinya setelah selesai menutup luka tersebut menggunakan perban. Milka menatap sendu kedua mata Sissy yang meneteskan air mata. Sissy tidak membalas tatapan Milka, pandangannya lurus ke depan. "Lo anggep gue apa sih, ha? Berulang kali gue bilang sama lo, sedihnya elo berarti sedihnya gue, dan bahagianya elo juga bahagianya gue. Gue sakit liat lo kayak gini, Sy. Lo ngerti gak sih?" Milka terpejam sejenak. Mengatur emosinya. Lalu menarik pundak Sissy dan membawanya ke dalam pelukan. Asri mengusap air matanya yang ikut menetes. Lalu suara bel yang berbunyi membawanya turun ke bawah untuk melihat siapa yang datang. Fabian tidak datang sendiri, melainkan juga bersama Gerald yang semalam menginap di rumahnya. Suasana kamar hening tanpa suara. Tidak ada yang berani bertanya lagi tentang alasan Sissy melakukan tindakan berbahaya tadi. Mereka tidak ingin memojokkan gadis itu. Walau dalam hati Fabian sudah bertanya-tanya ketika menemukan bekas merah samar di bawah telinga Sissy. "Gue baik-baik aja. Kalian jangan khawatir." Sissy membuka suara setelah lama bungkam. Milka menggelengkan kepala. "Gue gak percaya arti kata baik-baik aja dari mulut lo." Sissy menunduk. Ia belum siap mengatakan yang sebenarnya terjadi semalam pada dirinya. "Kata Bi Asri lo belum sarapan. Sarapan dulu ya, Sy? Gue yang suapin," bujuk Gerald yang dibalas gelengan oleh Sissy. Milka mendengus kesal. "Masih mau bilang baik-baik aja lo? Suruh sarapan aja kagak mau," protesnya. Fabian merangkul pundak Milka. Memintanya untuk sabar. Lalu terdengar suara telepon masuk dari handphone Fabian. Nama Zaidan tertampil di layar tersebut. "Halo?" Keterkejutan dari wajah Fabian membuat Gerald dan Milka bertanya-tanya. "Gue sama yang lain ke sana sekarang," ucap Fabian lalu menutup sambungan telepon. "Kenapa?" Milka bertanya. Fabian menatap satu persatu wajah sahabatnya. Lalu jatuh lama menatap wajah Sissy. "Galang meninggal."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD