"Lepasin gue b******k!"
Sissy tahu kemana Elkan akan membawanya. Lorong sempit dan gelap yang mereka lewati ini akan membawanya ke tempat dimana orang-orang melakukan hubungan terlarang. Sissy tahu dari Gerald dan Fabian yang terkadang membooking wanita penghibur di sini.
"Lepasin gue! Lepas!"
Merasa terganggu dengan teriakan dan aksi berontak Sissy, tiba-tiba saja Elkan menghentikan langkahnya lalu mengurung Sissy dengan tubuh besarnya di tembok.
"Kenapa lo berisik banget sih? Sakit kuping gue dengernya."
Sissy memukul-mukul d**a bidang Elkan. "Minggir lo! Berani macem-macem sama gue, gue bisa laporin lo ke Om Fandy!"
Elkan tertawa mengejek. Ia semakin menangkis jarak di antara mereka. "Jadi ceritanya lo lagi ngancem gue sekarang? Terus lo pikir gue bakal takut dan lepasin lo gitu, hmm?"
Sissy menggeram marah menatap Elkan. "Gue pernah ada masalah apa sih sama lo, Kak? Kenapa lo bersikap kayak gini sama gue, ha?!"
Elkan menjilat bibirnya terlebih dahulu. Tangannya terangkat hendak memegang dagu Sissy, namun gadis itu berhasil menepisnya.
"Lo gak sadar kalo lo punya masalah sama gue?"
"Gue gak pernah ada masalah sama lo."
Tatapan Elkan kembali jatuh menatap bibir Sissy. Ah, bibir itu sudah lama mencuri perhatian Elkan. Merasa terganggu dengan tatapan berkabut gairah Elkan, Sissy menampar pipi laki-laki itu hingga wajahnya berpaling memutus pandangan Elkan dari bibirnya.
"Tai lo! Dasar otak m***m sialan! Jangan liatin gue dengan penuh nafsu kayak gitu!"
Secara mengejutkan Elkan memegang kedua tangan Sissy, lalu menahannya di atas kepala gadis itu menggunakan satu tangan.
"Mau ngapain lo?! Gue bilang jangan macem-macem!"
Elkan menggunakan satu tangannya lagi untuk memegang kedua pipi Sissy. Tatapannya kembali jatuh pada bibir gadis itu.
Elkan meringis. "Masalah lo sama gue ada di sini. Di bibir ini. Lo punya bibir yang indah. Dan gue mau selalu merasakannya."
Sissy terpejam seiring dengan menetesnya air mata saat mulut penuh dosa Elkan mencuri ciuman pertamanya.
Elkan menarik bibir bawah Sissy lalu melumatnya dengan brutal. Ia bahkan menggunakan lidahnya untuk masuk ke dalam mulut gadis ini.
Senakal-nakalnya Sissy, dia tidak pernah membiarkan tubuhnya di sentuh oleh laki-laki. Meski keintiman sering Sissy saksikan di klub malam, ataupun sekedar di film yang ia tonton, Sissy tetaplah anak awam yang tidak tahu bagaimana rasa dan caranya. Dan sekarang, Elkan Guevara mengambil ciuman pertama Sissy tanpa rasa malu sedikitpun.
Elkan melepaskan ciumannya. Mengusap bibir Sissy menggunakan ibu jari tangannya. Sementara gadis itu masih terpejam dengan air mata yang masih menetes.
"Lo harus tahu kalo lo punya bibir yang manis," ucap Elkan menyeringai jahat.
"b******k lo, Kak," lirih Sissy.
Tangan kasar Elkan mengusap pipi lembut Sissy. "I know. Dan gue mau selesain kebrengsekan gue malam ini sama lo," bisiknya dengan suara berat.
Lalu secara tiba-tiba Elkan mengangkat tubuh Sissy ke atas bahunya, seperti membawa karung beras.
Jeritan serta berontakan Sissy berakhir sia-sia. Tanpa belas kasihan Elkan melepas hasratnya pada gadis tak berdosa. Di tengah gelapnya malam, sesuatu yang selama ini Sissy jaga dengan baik akhirnya terenggut dengan paksa oleh laki-laki yang tak punya hati, Elkan Guevara.
***
Sissy terbangun dengan kondisi memprihatinkan. Tubuhnya hanya tertutup selimut putih. Rasa sakit serta bercak darah di atas sprei menampar Sissy kalau kejadian semalam bukanlah mimpi buruk, melainkan kenyataan yang begitu menjijikan.
Sissy mencengkeram kuat selimutnya. Bayangan semalam begitu kuat dalam ingatkan Sissy. Saat Elkan dengan leluasanya menyentuh tubuh Sissy tanpa permisi. Lalu sekarang dimana laki-laki itu? Tidak ada orang lagi selain Sissy di kamar ini.
"Brengsek."
Marah, kecewa, benci, semua bercampur menjadi satu dalam hati Sissy. Bahkan sakit di tubuhnya masih kalah dengan sakit di hatinya. Sissy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir seperti ini. Banyaknya bekas merah yang tercipta di tubuhnya membuat Sissy jijik.
Sissy mencoba bangun meski harus meringis menahan sakit di bagian bawah tubuhnya. Ia melihat ada sebuah kertas tertulis di atas nakas.
=Gue pikir bibir lo yang paling gue suka, tapi ternyata gue salah. Karena semua yang ada di tubuh lo gue suka.=
Sissy meremas kertas itu dengan kuat. Rasanya sakit sekali diperlakukan seperti wanita penghibur seperti ini. "Lo orang tergila yang pernah gue temuin. Sampai kapanpun gue gak akan pernah sudi nerima maaf dari lo."
Ah, bahkan Sissy sampai lupa kalau orang seperti Elkan tidak tahu caranya untuk meminta maaf.
***
Sissy berjalan memasuki rumah dengan pandangan kosong. Bahkan ia tidak menyadari keberadaan papanya di sofa depan.
"Kamu baru pulang?"
Langkah Sissy terhenti seketika. Dari nada suaranya, Sissy tahu kalau Tama sedang marah.
"Papa juga baru pulang kan?"
Tama menyimpan korannya di atas meja, lalu melangkah mendekati Sissy. Aroma alkohol langsung tercium dari tubuh putrinya ini.
"Kapan kamu mau dengerin Papa? Berhenti datang ke tempat itu. Di sana bahaya, gak aman buat kamu. Dan gak seharusnya kamu mabuk-mabukan seperti ini!"
Air mata menetes begitu saja. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah apa yang menimpanya semalam, sekarang Tama memarahinya tanpa bertanya 'apa kabar' setelah setengah tahun tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan Sissy.
"Sissy! Kamu dengar gak tadi Papa bilang apa? Berhenti dugem dan jadilah anak yang baik! Anak yang penurut! Papa gak mau punya anak yang bandel seperti ini!"
"Papa pikir aku jadi kayak gini karena siapa? Aku kehilangan pegangan! Papa sama Mama sibuk dengan dunia kalian sendiri, sampe gak inget kalo ada aku yang butuh perhatian kalian! Aku kesepian! Aku bingung harus gimana!" Tangis Sissy pecah seketika.
Setelah resmi bercerai, Tama menetap di rumah lain bersama istri dan anaknya. Begitu juga dengan Niken yang memilih tinggal di apartemen. Mereka mengabaikan Sissy di dalam rumah besar berjuta kenangan ini, dengan alasan membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan hati dan pikiran.
"Jangan bicara seperti itu. Berulang kali Papa ajak kamu buat tinggal sama Mama Kinanti dan adik kamu. Tapi kamu selalu menolak."
"Papa pikir aku bakalan sanggup tinggal seatap sama wanita yang udah membuat keluarga kita hancur?! Aku gak akan sanggup, Pa!"
"SISSY!" Tama kehilangan kontrol. Ia mengangkat satu tangannya seperti akan menampar Sissy.
"Oh, bagus. Sekarang Papa mau nampar aku cuma buat belain wanita itu. Silahkan, Pa! Silahkan tampar aku!" teriak Sissy sambil menepuk-nepuk pipinya dengan keras.
Tama mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu tanpa berucap lagi ia memutar tubuh, mengambil langkah pergi dari rumah.
Sissy menutup wajahnya sejenak menggunakan telapak tangan. Kemudian ia melanjutkan langkah pergi ke kamar. Di bawah guyuran air shower, Sissy menekuk kakinya, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut. Sekarang apa yang harus Sissy banggakan? Tidak keluarga, harga diri, semuanya menghancurkan Sissy.
"Mbak, aku sakit, Mbak...."