8. Debat Kecil

1073 Words
Davin menutup pintu ruangannya dengan sebal, tak lupa menguncinya supaya tidak ada seorang pun yang dengan tidak sopan nyelonong masuk nantinya karena mencurigai dirinya dan Luna. Sedangkan Luna justru duduk dengan nyaman di kursi kebesaran Davin lalu menatap keluar jendela, tidak ia sangka, ternyata pemandangan dari sini cukup indah, padahal ini masih siang. Bagaimana jika malam hari, pasti jauh lebih indah dengan kemerlap lampu dari gedung lain dan juga kendaraan yang lalu lalang. "Cukup Luna, jangan bikin saya tambah pusing. Mulai sekarang, jangan lagi kerja di sini, dan habiskan semua uang saya di rumah. Saya bakal kasih kamu uang bulanan lebih banyak lagi, habiskan untuk apapun yang kamu mau. Belanja, nyalon, dan jalan-jalan kemanapun yang kamu mau." Greget Davin dengan frustrasi. Ia duduk dengan lemah di kursi tepat di hadapan Luna, jarak mereka hanya terpaut meja kerja Davin yang cukup besar. Luna menatap suaminya dengan datar, ada beberapa hal yang telah ia pikirkan selama satu hari ia bekerja di sini. "Lo tahu, gue baru sehari kerja di sini, tapi berasa setahun jalanin semua ini." Ucap Luna dengan suaranya yang merendah. "Ternyata, hidup di dunia luar itu menakutkan ya? Di mana jabatan dan derajat sosial menjadi faktor utama seseorang tidak bisa di terima dalam lingkungan pertemanan. Gue pikir, ini kayak masa SMA gue, di mana gak ada yang tahu siapa gue sebenarnya dan jabatan apa yang di milikin sama bokap. Berteman tanpa memikirkan latar belakang dan bisa saling menghargai satu sama lain. Dulu gue sama Angela sama-sama gak tahu kalau berasal dari keluarga berada, sampai akhirnya di suatu pensi gue lihat dia pakai dress mahal yang gue tahu dari desainer terkenal. Dan di sana juga, dia lihat gue pakai beberapa aksesoris yang mewah, sampai akhirnya kita tahu, bahwa kita sama-sama berasal dari keluarga kaya." "Di sini juga, gue merasa bersalah sama Angela. Kenapa tidak menceritakan tentang pernikahan kita waktu itu. Walaupun kita sahabat dekat, gue waktu itu masih gak iklas nikah sama lo. Jadi, buat cerita semua ke dia, gue masih belum siap." Curhat Luna dengan panjang lebar. Davin juga ikut diam, sebelumnya ia tidak tahu bahwa menikah dengannya bisa menjadi hal seberat itu bagi Luna. Selama ini, ia merasa percaya diri bahwa dirinya adalah pria sempurna dan tepat untuk Luna. Di jaman sekarang ini, siapa yang tidak bisa menolak pesonanya? Dirinya cukup tampan, mapan dan kaya raya serta memiliki segalanya. Tapi ternyata, Luna tidak begitu memperdulikan semua hal itu. Apa mungkin, karena keluarga nya sudah memiliki segalanya? "Gue gak mau berhenti bekerja, gue mau tahu seberapa jahatnya di dunia luar. Selama ini, gue cuma tahu tentang kenyamanan. Dan gue bakal jadiin ini sebagai pembelajaran buat gue." "Tapi, kamu di sini cukup ngerepotin." Balas Davin dengan menahan semua amarah yang saat ini ia rasakan. "Sebenarnya, yang ngerepotin itu Antika. Dia yang gak suka sama gue. Dan lo tahu, kenapa dia gak suka sama gue?" Davin menggeleng pelan. "Karena dia suka sama lo." Terang Luna yang membuat Davin langsung bungkam seketika. "Antika suka sama lo, dia cemburu lo terlihat peduli sama gue. Jadi, kalau lo pengen semuanya aman, nyaman dan tentram, jangan terlalu peduliin gue di sini. Anggap aja gak kenal." "Gimana bisa aku gak peduli, mereka nyakitin kamu." Balas Davin tidak Terima. "Dan Antika gak suka sama aku, dia hanya gak pengen ada orang asing deketin bosnya karena dia gak percaya sama kamu. Udahlah, kita selesain aja masalah ini. Kamu berhenti kerja, atau aku bakal kasih tahu semua orang yang ada di sini, kalau kita sudah menikah." "Eh jangan!" Seru Luna dengan cepat. "Pokoknya gue gak mau ke duanya. Gak mau berhenti kerja, dan gak mau orang-orang tahu kalau kita udah nikah." "Mau kamu apa, sih?" Greget Davin sembari menjambak rambutnya dengan kesal. Sedangkan Luna yang melihat bagaimana raut wajah suaminya terkekeh pelan, ini adalah pembicaraan ke duanya terpanjang yang pernah mereka alami. Tak pernah sebelumnya ke duanya berdebat cukup lama, dan Luna akui bahwa Davin ternyata memiliki sabar yang lebih menghadapi dirinya yang ia akui cukup menyebalkan ini. Namun di sisi lain ia juga puas telah membuat Davin seperti ini, ia merasa seperti dendamnya pada pria itu selama ini terbayar. Sosok yang dulu sering mengacuhkannya saat bicara, kini tengah pusing karena perbuatannya. "Kamu kenapa senyum? Ada yang lucu?" Sinis Davin kembali serius. Luna mengangguk membalasnya, membuat Davin langsung mengernyitkan dahinya keheranan. "Lo lucu juga ya kalau marah, dan mungkin kalau orang lain lihat lo kayak gini, mereka bakalan takut. Tapi karena ini gue, jadinya gak papa." "Aku gak marah, cuma kesal. Dan kamu belum pernah lihat aja, gimana kalau aku marah, aku jamin kamu bakalan ketakutan. Jadi, jangan pernah buat aku marah sama kamu." "Gak takut, malah penasaran. Gimana sih, pak Davin yang jadi idaman mbak Antika itu kalau marah." Ejek Luna yang membuat Davin menutup matanya menetralkan semua rasa kesalnya. "Oke cukup, gak usah di bahas lagi. Kali ini, aku bakalan ngalah sama kamu. Tetap bekerja di sini, namun jangan ada masalah lagi, oke?" "Lo tahu gak, masalah berawal semuanya dari lo?" "Kamu malah nyalahin aku?" "Kenapa lo minta gue jadi pelayan pribadi? Lo mau yang bersihin tempat kerja lo itu gue, lo pengen yang selalu buatin teh dan siapin segalanya itu gue. Serasa kayak pelayan pribadi lo kan?" "Mereka iri karena sebelumnya gak ada yang dapat permintaan itu khusus dari lo. Seneng banget sih, kalau bikin gue susah. Gue tahu ya, niat lo pasti buruk. Pengen ketemu sama gue tiap waktu supaya bisa ngejekin kapan aja. Ngaku deh," "Aku kayak gini pengen jaga kamu, biar kamu gak keseringan di suruh sama mereka buat ngelakuin banyak tugas." "Halah sok, palingan nanti lo mulu yang selalu merintahin gue." "Cukup, kamu bener-bener cerewet banget, ya?" Gemas Davin mulai lelah, ia adalah tipe orang yang malas bicara, sebab itu ia sering mengacuhkan orang lain, tapi kali ini ia justru berdebat panjang lebar dengan Luna, Benar-benar sangat melelahkan. "Kan emang gue punya mulut buat ngomong, gak kayak lo yang kadang bisu dan suka ngancuhin orang lain." "Lama-lama mulut mungil kamu aku bungkam dengan mulut aku." "Ciuman dong?" Seketika wajah Luna langsung memerah, dan beberapa saat kemudian ia tersenyum kecil. "Ngapain kamu senyum-senyum?" "Coba cium? Gue belum pernah ciuman sama sekali." Pinta Luna yang cukup membuat Davin langsung syok seketika. "Gak ada cium-ciuman. Sekarang keluar dari ruangan, capek aku ngomong sama kamu." "Murah banget sih gue, minta cium segala." Gumam Luna merasa cukup malu sembari berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Davin yang sebenarnya mendengar gumamannya tersebut. Tidak hanya Luna yang belum pernah berciuman, ia juga belum pernah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD