Kinta memutar bola matanya malas, ini orang tidak ada kapok-kapoknya apa?
"Benaran Kaffa pindah kerja, Ayya jadi merasa bersalah banget." .
"Bodoamat." gumam Kinta malas.
"Tapi katanya, Kaffa bakal kesini kalau misalnya nanti dapat cuti dari atasan sana. Sepi tau, Kin. Kan biasanya ada Kaffa yang meramaikan jam makan siang kita, ngasi candaan lucu pasti setelah ini bakal beda lagi."
Sekali cerewet tetap saja cerewet, sahabatnya satu ini memang udah dari sananya. Padahal Kinta sudah berulang kali mengingatkan berhenti berurusan dengan lakilaki atau mereka akan berkahir dengan amukan Zam, si bucin akut itu.
"Apa Ayya ajak video call aja kali ya?"
"Terserahmu,"
Ayya tidak ambil pusing dengan perkataan ketus sahabatnya, malahan benar-benar mengubungi Kaffa,orang Setia yang selalu datang ke restorannya setiap siang hari, katanya pekerja kantoran.
"Assalamualaikum Ayya, makin cantik aja sekarang."
Ayya tertawa kecil, duh pipinya bersemu merah hanya karena dipuji cantik.
"Lanjut teroos," Ayya menatap sebal kearah sahabatnya, punya masalah hidup apasih?
"Wa'alaikumussalam, Kaffa. Kamu juga makin ganteng deh, jadi kangen."
Sabar Kinta, sabar. Sahabat kamu itu mudah mengeluarkan gombalan jangan sampe kamu benar-benar mengamuk padahal sedang mengemudi.
"Kamu bisa aja. Kabarnya gimana nih? Maaf ya aku pindah mendadak engga bilang-bilang, soalnya buru-buru."
"Engga papa kok, hanya saja Ayya merasa sepi tanpa Kaffa, hampa kata-kata anak jaman sekarang."
Kali ini Kaffa yang tertawa,laki laki mana yang tidak senang ketika diberikan balasan kata seperti itu? Mana dikatakan oleh perempuan cantik lagi.
Mobil terhenti, Kinta Turun tanpa mengatakan apapun, enek melihat sahabatnya yang terlalu welcome pada semua orang.
"Ehh Kinta! Duuuh Kaffa, nanti lanjutin lagi ya, Ayya udah sampe." tanpa mengatakan apapun ia mematikan sambungan teleponnya.
Mengambil tasnya cepat dan menyusul sahabatnya masuk kedalam, emang ya Kinta tuh kadang lupa, lupa sahabatnya sendiri.
"Kin, ka-"
"Eits! Jangan ngaco. Mana catatannya?" dengan wajah kesal, Ayya membuka tasnya memberikan apa yang sahabatnya minta, menyebalkan bukan?
"Kin, ha-"
"Mas, ini coklatnya nanti langsung kirim aja ya. Terus untuk bahan lainnya, tunggu lengkap dulu habis itu baru kirim ke tempat kami."
"Baik Mba."
"Kin, Ay-"
"Teruus, untuk bahan makanan yang kami lingkarin itu di pisahin ya, jangan di gabungin dengan bahan lainnya."
Sahabat kurang kerjaan, Ayya memilih duduk di kursi disediakan, menatap sebal kearah Kinta yang sedang memilih bahan.
***
"Ini laporannya engga salah? Masa gini?"
"Mana?" Ayya mendekatkan berlembar-lembar kertas pada Kinta.
"Kemarin kan kita buka menu baru lagi, makanya pengeluarannya banyak banget. Kan kamu yang minta gratisan untuk hari pertamanya."
"Tapikan engga sampe sebanyak ini juga kan?"
"Kemarin juga, kan kamu buat minuman terbaru daaaan, kamu minta gratisin juga."
Ayya memijat pelipisnya pelan, duh! Kayaknya kebaikan hatinya terlalu banyak deh.
"Aku kan sudah peringatin tapi situ selalu bilang, engga bakal dan katanya itu tuh trik biar resto makin rame, dahlah! Lagian kan menu baru diterima dengan baik nanti juga bakal balik lagi."
Kinta melanjutkan acara makannya, kalau meladeni Ayya terus menerus acara makannya tidak akan selesai sama sekali. Ayya itu terlalu baik, saking baiknya sampai engga peka dengan perasaannya sendiri, ehh engga ding. Dia peka hanya saja terima-terima saja saat Zam memilih mengambangkan perasannya.
Dengan perasaan kesal setengah mati, Ayta menatap tajam Kinta dibalas tatapan masa bodo, memang benar apa kata orang semakin lama persahabatan kalian maka semakin menyebalkan juga kesehariannya.
"Ayya jadi pengen coklat, tapi kak Zam lagi otewe ke benua lain."
"Gayamu benua lain, orang dianya pamit ke kantor, ngaco!" Ayya tertawa,
"Kamu punya masalah hidup apasih Kin? Tiap ngomong sama Ayya ngengas mulu, mau nikah? Perlu Ayya bilang sama Arsel untuk lamar kamu?" tidak ada tanggapan,apa perlu ya Ayya membicarakan soal ini?
"Ehh, mau kemana kamu? Jangan aneh-aneh deh Ay. Kan Kak Zam mau kemari sebentar lagi."
Males menjawab, Ayya masuk ke dapur menatap Arsel yang sedang sibuk memeriksa bahan didepannya.
"Arsel, Ayya mau ngomong."
"Hmm."
"Kamu jangan Gantungin Kinta terus dong, Ayya tau loh kalau kalian semalam habis jalan-jalan. Beberapa hari ini Kinta ngegas mulu kalau bicara sama Ayya, mungkin dia mau di lamar kamu kali ya?"
Tawa Kanaira terdengar tetapi kembali ia perbaiki, takutnya Arsel marah.
"Hubungannya sama gue dan cara bicaranya sama lo apaan?"
Ayya bersandar di lemari kayu tempat bahan makanan, menatap Arsel dengan mimik wajah serius.
"Bisa aja kan ya, dia kesal sama kamu terus lampiasinnya ke Ayya? Benarkan? Kinta itu sudah cukup umur untuk menikah, yang kamu tunggu apalagi? Kalian sudah dekat selama bertahun-tahun, apa engga capek ngambang terus? Ayya aja capek liat kalian ngambang terus."
Arsel ikut menatap Ayya, perempuan cerewet sayangnya adalah bosnya sendiri.
"Gue juga capek liat lo sama si Zam itu ngambang terus." balasnya telak, Suara tawa Kanaira kembali terdengar. Duh! Mereka berdua makin lama makin saling balas kata aja.
Tanpa mengatakan apapun, Ayya keluar dapur duduk di hadapan Kinta yang sedang menikmati minumannya, mereka berdua sama saja, sama-sama menyebalkan.
Apa yang salah sih dengan hubungannya?
"Kenapa tuh muka?"
"Gebetanmu, masa Ayya minta ngasi kepastian malah bahas Ayya dan kak Zam sih." adunya, menopang dagu di meja menatap malas kearah Kinta.
Kinta itu cantik, cantik banget malahan. Sayangnya, perkataannya selalu pedas sebelas dua belas dengan Arsel pantas saja Allah mendekatkan mereka berdua karena sikapnya tidak beda jauh. Terus Ayya dan Zam? Apanya yang sama coba? Malahan sikap mereka berdua berbanding terbalik sekali.
"Aku yakin, dalam otakmu sedang memikirkan hal yang tidak perlu sama sekali."
"Engga, Ayya cuma mikir. Kamu kan sama Arsel punya kesamaan, sama-sama punya perkataan yang nyakitin perasaan. Terus kalau Ayya sama Kak Zam apa dong? Sikap kami aja berbanding terbalik. Apa engga jodoh?"
"Emang pertanda jodoh itu harus punya kesamaan sikap gitu?"
"Tau ah, Ayya pusing."
Kinta berdecak malas, dasar sahabat kurang kerjaan.
"Aku mau pulang, nanti yang antar kamu kak Zam aja ya?"
Ayya hanya mengacungkan jempolnya dan Kinta berjalan pergi, restoran masih ramai memang buka sampai pukul 9 malam, tapi Kinta selalu pamit saat jam 6 sore karena dirumahnya ibunya sendiri, dan tidak bisa berjalan sama sekali.
Restoran impian Ayya sejak dulu, dan Ada Kinta yang mendukungnya setiap waktu hingga berada di titik ini. Segala hal yang berhubungan dengan coklat itu menyenangkan, sangat-sangat menyenangkan.
"Selamat sore Bu Ayya."
"Selamat sore juga Bu, silahkan duduk."
"Kita langsung mulai aja ya, takutnya kemaleman nanti."
Perempuan itu mengangguk, tidak selamanya sikap Ayya akan terus kekanak-kanakan, jika sudah berhubungan dengan klien ataupun pekerjaan maka ia akan bersikap profesional seperti kebanyakan orang.
Orang tidak akan mengira ataupun rekan kerjasamanya tidak akan mengira jika di balik keseriusan Ayya dalam bekerja, perempuan itu aslinya cerewet dan sangat suka akan coklat.
"Nah, kemarin kami baru saja membuat menu baru. Mungkin ibu minat untuk mencobanya yaitu dessert dan minuman, minat?"
"Boleh, sambil menunggu jemputan juga."
Ayya kemudian memanggil salah satu pelayan dan memintanya menyajikan menu terbaru pada kliennya, orang ini termasuk penting bagi Ayya karena dia selalu memesan dessert setiap mempunyai acara dan katanya akan mempunyai acara dalam waktu dekat.
Banyak orang yang suka restoran Ayya, katanya langka menemukan restoran yang mempunyai menu utamanya coklat semua, karena itulah setiap saat Ayya selalu mencoba menemukan menu baru untuk restorannya.
20 menit kemudian kliennya pamit pulang bertepatan dengan datangnya Zam untuk menjemputnya. Banyak orang mengiranya pacaran dengan Zam padahal mereka berdua hanyalah adik-kakak saja, katanya lebih oke disebut begitu.
Dekat sih ya, sangat dekat malah. Tapi gimana ya, Ayya juga merasa nyaman jalan seperti ini daripada harus diumumkan punya pacar tetapi ujung-ujungnya putus juga, kan tidak seru.
Setelah berpamitan pada semua orang, Ayya pamit masuk kedalam mobil Zam yang disambut dengan wajah manis Zam, vitaminnya.
"Gimana hari ini?"
"Lumayanlah, hanya saja laporan keuangan hari ini bikin kepala Ayya puyeng. Butuh liburan keknya,"
"Mau kemana? Besok kita kesana. Kamu jangan terlalu banyak berpikir, nanti kalau sakit gimana?"
"Hmm kak Zam?"
"Ya, kenapa?"
"Nikah yuk, capek gini terus."
"Nanti."
Jika biasanya Ayya membantah maka kali ini ia diam membuat Zam bingung, tidak seperti biasanya.
***
"Kamu pikir, saya akan mengurusmu?" Langkahnya terhenti, menatap seseorang yang baru saja berbicara, memangnya ia peduli?
"Jangan pikir, karena kamu menjadi ibunya anak-anak, saya akan berubah pikiran?" lanjutnya kembali.
Tidak menanggapi, akan lebih baik ia memasak sesuatu mengingat anak-anak akan segera kembali. Malas rasanya membahas topik yang sama setiap harinya, memangnya kenapa kalau suaminya itu tidak mau mengurusnya sama sekali? Apa ia memikirkannya? Tentu saja tidak bukan.
"AYYA PULANG!"
"JANGAN TERIAK, MAMA ENGGA SUKA!"
Ayya tertawa pelan, rumahnya itu tempat paling nyaman di dunia. Begitu harmonis sesuai dengan apa yang orang-orang pikirkan.
"Hayoo! Papa kok cepat pulang? Kangen mama ya?" goda Ayya.
"Jangan banyak bicara, mana coklat untuk papa? Kamu mana mungkin pulang tanpa coklat dari Zam-mu itu bukan? Mana?"
Senyum Ayya memudar, menatap sebal papanya. "Masa bodo," lanjut berjalan ke kamar memilih mandi tanpa memperdulikan jam semakin larut.
"Memuakkan bersikap begini terus menerus, kenapa juga aku harus mempertahankan rumah tangga yang sangat berbanding terbalik dengan kenyataannya? Ke-"
"Panjii! Mama selalu bilang sepatunya disimpan pada tempatnya." Kenan membulatkan matanya, menatap kebelakang ternyata ada di ambang pintu, tanpa sadar Kenan bernapas lega. Untungnya baru disana, tidak mendengar apa yang ia katakan.
"Ups! Sorry," menyimpan sepatunya pada tempatnya, Panji duduk disamping Papanya menatap Kenan dengan senyuman senang.
"Pa, aku mau izin."
"Izin kemana?" sahut Tessa dari arah dapur.
"Aku ajak papa bicara loh, bukan Mama. Pa! Izin ya?"
"Izin kemana dulu?"
"Nanjak, bisa kan pa?"
"Engga! Apaan Nanjak terus, kamu harusnya fokus sekolah bukan main terus."
"Hmm boleh, asal pas kamu pulang nanti beliin papa coklat."
"Makasih papaku, emang paling terbaik." dengan senang hati Panji berjalan masuk kedalam kamarnya tanpa memperdulikan larangan Tessa sama sekali, yang penting baginya adalah izin dari papanya.
Tessa berjalan mendekati Kenan, menatapnya dengan wajah marah.
"Kamu bisa saja benci sama aku, Mas. Tapi jangan membiarkan anak-anak begitu bebas, ingat Mas. Bisa saja mereka melakukan hal yang tidak kita inginkan."
Kenan berdiri, menatap tajam kearah Tessa.
"Aku percaya dengan anak-anakku,kalaupun mereka berbuat salah itu pastinya sudah takdir mereka. Jika aku melarangnya itu berarti aku meragukan didikanku sendiri." setelah mengatakan itu, ia berjalan meninggalkan Tessa.
Perempuan gila.