"Ada apa? Ada masalah di perusahaan?" Zam membuka pejaman matanya,menatap ayahnya.
"Engga, pusing saja."
"Kalaupun punya masalah, pastinya ada Ayya yang selalu bantuin. Mau sebesar apapun masalah perusahaan kalau Ayya minta coklat, pasti langsung kesana. Iyakan?" perempuan cantik dengan umur tak lagi muda datang dari dalam, membawa dua gelas jus.
"Kalau itu pastinya nyata dong, Ma. Kenapa tidak melamar dia saja? Daripada ngambang terus selama bertahun-tahun?"
"Nanti Yah,"
"Nantinya kapan? Pas Ayya udah sama laki-laki lain di pelaminan?"
Zam menegakkan duduknya, menatap mamanya dengan pandangan tajam. Perkataan mamanya membuatnya tidak bisa membayangkan Ayya bersama laki-laki lain, menikah? Ayya dengan orang lain? Tidak akan Zam biarkan.
"Hari ini aku bermalam disini, mau main sama Keisya." ia meninggalkan kedua orangtuanya, masuk kedalam kamar yang memang di peruntukkan untuknya.
Meira,mama dari Zam menatap sendu putranya.
"Zam itu kuat,jangan menatapnya seperti itu."
"Aku hanya sedikit khawatir padanya, Mas. Bagaimana jika sebenarnya dia mempunyai masalah yang tidak ia bicarakan pada kita sama sekali?"
"Rasa khawatirmu berlebihan sayang, kamu kebelakang aja." istri cantiknya menurut, mengambil sisa minuman kemudian masuk kedalam.
Baskara, ayah Zam menggelengkan kepalanya melihat betapa khawatirnya istrinya pada anaknya itu.
Didalam kamar Zam sibuk bermain dengan adik kesayangannya, sang adik sedang main masak-masak sedang Zam hanya mengamati.
"Tunggu ya kak Zam, nasinya masih dimasak, laparnya ditahan dulu." Zam mengamati adiknya, ada kesamaan wajahnya dan adiknya.
"Jusnya juga baru Keisya masak, kak Zam tunggu dulu jangan pergi. Chef Keisya masih masak tauuu."
"Ehh, buah-buahannya belum di potong. Mana pisaunya?" adik kecilnya berdiri, mengedarkan pandangannya mencari pisau mainan yang terbuat dari plastik itu, warnanya pink.
"Ini?
"Ini dia, kak Zam sukanya buah apa? Jangan bilang terserah Keisya soalnya Keisya juga tidak tau sukanya makan buah apa." dengan pakaian princessnya, anak perempuan berambut lurus sepunggung itu mendekati kakaknya, mengambil pisau plastik kesayangannya dan kembali duduk dihadapan kumpulan mainannya.
"Bagaimana kalau coklat?"
"Coklat? Kan cuma kak Ayya yang suka coklat bukan kak Zam, kok ikutan?" protesnya kesal,menatap kakaknya dengan mata tajam seolah marah. Bukannya takut Zam tertawa pelan, menggemaskan.
"MAMA! KAK ZAM IKUTAN SUKA COKLAT SEPERTI KAK AYYA!" Zam dengan cepat menutup telinganya, suara adiknya sangatlah cempreng.
"Zam, really? Kamu suka coklat juga?" Meira datang, berdiri di ambang pintu.
"Bercanda Ma, dek! Kamu kenapa susah sekali sih diajak bercanda." Meira tertawa, kembali ke dapur menyiapkan makan malam.
"Kenapa kak Ayya tidak diajak kemari? Kan Keisya kangen."
"Nanti Dek, kak Ayya-nya lagi sibuk banget ngurus restorannya."
"Gitu ya?"
"Iya, kamu lanjut main. Kakak mau mandi dulu."
Ia berdiri, semua keluarganya telah mengenal Ayya, benar-benar telah mengenalnya. Ayya malahan sering kemari sesekali, bermain dengan adiknya, atau memasak sesuatu dengan mama tercintanya.
"Kak Zam kebanyakan nantinya." gumam Keisya yang hanya mampu ia dengarkan sendiri.
***
"Mas, Caila menelponku sore tadi, katanya Adela tidak bisa dihubungi akhir-akhir ini, bagaimana? Apa aku perlu ke kost'annya saja?"
Baskara menyimpan koran bacaannya, meraih ponsel dan mencoba menghubungi putrinya dan benar. Ponselnya tidak aktif.
"Aku tanyakan ke Zam dulu, setelahnya kita baru kesana."
"Baik Mas."
Zam mendengarnya, tadinya ingin ke dapur untuk membuat minuman malah mendengar perbincangan kedua orangtuanya. Adela, kenapa lagi dengan adiknya itu?
"Mas, bukannya kemarin Adela minta dimodalin tapi maunya Caila yang kasi bukan kita, apa Caila tidak memberikannya?"
"Kamu jangan banyak pikiran sayang, coba kamu cek Keisya sudah tidur atau belum."
"Tapi, Mas. Mungkin Derax tidak akan membiarkannya, mengingat Adela hanyalah anak tirinya, aku kesana saja ya besok?"
"Meira sayang, kamu tau watak Adela seperti apa? Jika dia tau ada salah satu dari kita ke sana pastinya dia akan langsung pindah tempat setelahnya, menghilang tanpa kabar. Kamu periksa Keisya, aku akan membahas ini dengan Derax."
Zam mengurungkan niatnya, kembali masuk kedalam kamarnya. Adiknya itu, kenapa begitu keras kepala sekali? Yang paling dekat dengan Adela hanyalah Ayya, apa Zam minta perempuan itu bertemu dengan adiknya saja?
"Aku engga suka tinggal dengan mereka, iyasih mama Meira itu baik, baik banget. Hanya saja aku yang tidak nyaman, Keisya itu butuh kasih sayang, takutnya malah kebagi kalau ada aku. Lebih-lebih kalau tinggal bareng mama Caila, males aku liat muka sinisnya si Derax itu."
Perkataan adiknya beberapa waktu lalu membuat Zam murung, kenapa keluarganya harus serumit ini? Kenapa tidak bahagia saja seperti kebanyakn orang?
"Mama dan Papa tidak bisa bersama lagi, kami memilih berpisah dan akan menikah dengan pilihan kami masing-masing. Kami juga tidak akan membahas tentang hak asuh, kalian sudah besar dan paham kemana akan pulang sesuai keinginan kalian."
Merasa pikirannya semakin kalut, Zam meraih ponselnya membuka room percakapannya dengan Ayya tanpa pikir panjang ia langsung mengubungi perempuan cerewet itu.
"Yailah kak Zam, kenapa harus sekarang sih neleponnya, kan lagi seru main gamenya."
"Kamu tidak suka kalau saya telepon?"
"Dahlah, orang kak Zam mana paham. Kenapa telepon malem-malem? Ehh tunggu-tunggu. Kak Zam bukan dirumah ya? Warna chatnya beda, iya beda. Memang beda."
Zam membaringkan tubuhnya, menatap wajah Ayya yang masih menggunakan mukena padahal waktu isya sudah berlalu sejak sejam yang lalu.
"Lagi dirumah mama."
"Mama siapa? Caila apa Meira?"
"Kamu pikir aku ikhlas kerumahnya Mama Caila?"
"Kan siapa tau, sore tadi Adel telepon aku loh. Dia bilang mau minta bantuan dicariin kost'an baru, mumpung aku punya apartemen yang engga kepake, aku suruh dia tinggal disana dulu, kenapa sama Adel? Suaranya kayak sedih banget."
Nah kan, lihat saja. Bukannya menelponnya adiknya itu malah memilih menelpon Ayya.
"Tumben kamu video callnya hanya sebatas muka aja, biasanya simpan hp didepan."
"Mau coba hal baru ajasih, kenapa belum tidur? Kangen Ayya ya? Makanya lamar Ayya dong jadinya engga perlu LDR kayak gini."
Zam duduk kembali, memikirkan apa yang Ayya katakan.
"Kenapa kak? Mau lamar Ayya besok?"
Lakilaki itu menggeleng, "nanti, lagian aku belum jatuh Cinta sama kamu."
"Beneran? Bagus dong. Besok Ayya bisa minta Daniel untuk ketemu sama Papa, bahas soal kapan bagusnya hari lamaran."
Wajah Zam mengeras, menatap tajam Ayya. "Jangan sampai kamu melakukan itu, aku matiin." setelah mematikan sambungan telepon, Zam berusaha menetralkan jantungnya. Kenapa hatinya terasa terbakar sekali? Daniel itu, kalau sampai bertemu dengan Kenan, akan Zam buang ke tempat paling jauh.
"Kamu kenapa? Itu bantal bukan samsak." Zam tersentak, menunduk dan benar ia meninju bantal tanpa ia sadari sama sekali.
"Kenapa Ma?"
"Kamu coba sesekali telepon Adelia ya, takutnya dia lagi kesulitan tapi kita malah engga tau apa-apa."
"Kata Ayya, Adel tinggalnya di apartemennya untuk sementara ingin pindah kost. Besok aku akan kesana, bertemu dan menyampaikan jangan terlalu membuat mama dan papa khawatir."
Meira mendekati Zam, "bukan gitu. Kalau bisa, bujuk saja untuk tinggal bareng mama dan Keisya. Lagian Keisya selalu senang kalau ada Adel, dia punya teman bermain."
"Ma, Adel itu keras kepala banget. Umur baru 18 tahun lebih tapi gayanya sudah seperti anak terbuang, gayanya pake kaos usang terus padahal kedua keluarganya kayaknya kebangetan."
"Ush! Dia adik kamu loh. Besok mama mau ketemu sama Caila, kenapa tidak begitu peduli dengan anaknya, katanya sudah seminggu Adel susah dihubungi tapi dia baru bilang sekarang."
Mamanya berlalu, Zam menghempaskan tubuhnya di kasur, kenapa kehidupan sehari-harinya begitu pelik.
Mempunyai Mama tiri yang begitu baik, tapi sayangnya tidak membuat adiknya luluh, memilih tinggal sendirian, enggan mnerima uang dari mereka, hanya uang dari Zam.
Mempunyai ibu kandung, tapi hanya memikirkan harga diri terus menerus. Ayah tirinya, bukannya saling bekerja sama malah terus ingin menjatuhkan perusahaannya, menganggapnya saingan.
Zam lelah, keluarganya selalu dipandang baik oleh masyarakat padahal aslinya sangatlah berantakan. Mana mungkin Zam berani meminang Ayya, jika keluarganya serumit ini? Bagaimana jika Zam gagal seperti Papanya? Gagal membina rumah tangga dan akhirnya bercerai.
Tidak mudah terus menerus seperti ini, setiap malam dibayang-bayangi kegagalan akan rumah tangga. Zam membenci pernikahan, karena pernikahan membuat hidupnya seperti sekarang, sangatlah berantakan.
***
"Pokoknya, Ayya engga mau lagi disuruh berbohong, dag dig dug banget rasanya." itu benar, rasanya saat sedang video call tadi Jantung Ayya berdebar terus.
"Memangnya kak Ayya rela liat calon adik iparnya kena marah?"
"Ya enggalah, mana tega. Kamu mau tinggal selama apapun pasti bakal aku setujuin kok, tapi aku engga tanggung bakal bisa sembunyikan lama banget."
"Iya kak Ayya, makasih."
Sore tadi, Adelia datang padanya meminta untuk tinggal sementara waktu dirumahnya.
"Tolong kak, aku udah tiga bulan engga bayar bulanan kost jadinya diusir, boleh ya?"
Ayya mana bisa menolak, Adel ini sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri sudah ia kenal selama bertahun-tahun tapi Adelia ini beda dari yang lain. Katanya ingin hidup mandiri, tapi malah hidup miskin sekali. Kuliah aja harus ditunda tahun ini.
"Padahal ortu kamu kayanya kebangetan, bakal bisa bungkam mulut teman-teman kamu yang selalu bully kamu, ngatain kamu miskin, kurang kasih sayang, anak yatim piatu, katanya engga cantik. Kenapa sih?"
Adelia termenung, menurutnya semenjak kedua orangtuanya memilih bercerai maka saat itu semuanya sudah berbeda, tidak akan sama lagi.
"Padahal kamu cantik, hampir mirip sama kak Zam."
"Dih, kak Zam engga gentle. Kebayakan nantinya, selalunya dipancing tentang cowok lain baru panas sendiri. Kok betah kak?"
Ayya menatap langit-langit kamarnya, ia dan Zam sudah berjalan sangat lama malahan sama-sama berjuang membangun mimpi masing-masing, Zam dengan perusahaannya sedang Ayya dengan restoran yang bagusnya lebih disebut cafe.
"Gini loh Del, menurutku lebih baik begini daripada harus pacaran. Kalau pacaran dan ada fase dimana aku butuh dia sedang dia lagi meeting pastinya aku bakal kecewa kerana dinomor duakan, kalau engga pacaran, aku engga kecewa terkesan biasa saja."
"Tapikan kak, menurutku mau sepenting apa pun urusan kak Zam, keknya tetap kak Ayya deh yang nomor satu."
"Iya juga sih, tapi lebih bagusan kayak gini. Kami sama-sama terbebas dari yang namanya ikatan, lagian bukannya Bagus ya? Semuanya terasa aman."
Adelia mungkin, tidak ada yang bisa menebak bagaimana pemikiran setiap orang.
"Tapi Aku baik-baik saja, selama Zam masih posesif sama aku, melarangku berhubungan dengan orang lain. Walaupun terkadang aku harus cemburu setiap model itu datang."
"Fighting kak, aku akan mendukung kalian 100%." keduanya sama-sama tertawa, beginilah kedekatan.
"Kak, bantuin bayar kostanku ya. Bulan depan setelah gajian bakal ku bayar lunas."
Ayya menatap kesal, ini orang kenapa terlihat miskin sekali? Padahal kakaknya punya banyak uang, mungkin bisa membayar tagihannya 5 tahun penuh.
"Aku tanya Zam aja ya?"
"Jangan dong kak, inikan rahasia sesama kita. Boleh ya?"
Dengan wajah nelangsa, Ayya mengangguk membuat Adelia memeluknya sangat erat.
"Calon kakak iparku memang paling terbaik di dunia ini."