"Kamu mengunjungi makam Arinka lagi? Kamu ingin membuat anak-anak tau semuanya? Kamu sengaja?"
"Engga capek apa pulang kerja terus ngajak debat? Lagian aku kesana cuman berkunjung seperti biasanya. Memangnya salah?"
"Kamu engga sadar kalau akhir-akhir ini pergerakan kamu lagi dipantau sama anak-anak? Mereka pastinya merasa ada yang beda dengan mamanya."
Tessa memilih tidak menjawab lagi, fokus memotong kangkung untuk makan malam nanti. Terlalu malas berdebat, kepalanya terlalu pening.
"Mama juga tidak akan berhenti mengawasi kamu, entah apa perjanjian kalian berdua hingga membuat mama begitu percaya sama kamu."
Suara pisau yang sedang memotong terhenti, Tessa menatap Kenan yang juga sedang menatapnya. Apakah sesulit itu mempertahankan rumah tangganya lagi? Apakah kebahagiaan awal-awal pernikahan kini tak bisa ia dapatkan lagi?
"Mama selalu mendesakku untuk membahagiakan Ayya, memberikan dia kasih sayang yang cukup."
"Anak kamu bukan cuman Ayya."
"Ya, aku tau. Mama bilang Ayya adalah pewaris utamanya sedangkan Panji akan mewarisi semua usaha yang aku miliki."
Tessa kembali melanjutkan kegiatannya, "lalu? Kamu setuju kalau misalkan Panji yang menerima hartamu? Tidak memberikan pada Ayya sama sekali?" tanyanya dengan mata fokus ke kangkung.
"Ya, Panji telah kupilih dan dia akan menjadi penerus semua usahaku. Jaga sikapmu Tessa, Ayya itu sudah bersamamu sejak ia berumur belia, jika perubahan itu trus terjadi dia pasti bisa merasakannya sendiri."
Helaan napas Tessa terdengar keras, menyimpan pisaunya dengan sentakan.
"Mas, aku capek. Pikirkan perasaanku juga, kamu pikir gampang membesarkan seorang anak suamimu bersama dengan perempuan lain? Kamu pikir segampang itu melupakannya?"
"Kecilkan suaramu, Tessa. Ini adalah jam-jam anak-anak pulang dari kegiatannya masing-masing. Bukankah saat Ayya datang kemari, aku memberimu kesempatan dan kamu mengatakan siap merawatnya."
Tessa tertawa pelan, tanpa mengatakan apapun kembali melanjutkan kegiatannya. Ia memindahkan kangkung yang telah ia potong-potong tadi kedalam wadah dan mencucinya di wastafel, membelakangi Kenan yang sejak tadi memperhatikan kegiatannya.
"Kamu bisa mengajukan cerai kalau kamu mau." Kenan kembali bersuara, "aku tidak pernah melarangmu untuk pergi kalau misalkan ini semakin menyakitimu. Aku yang akan menjelaskan kepada anak-anak yang sebenarnya terjadi."
"Kamu pikir, segampang itu menjelaskan kepada mereka? Ayya tersayang kita memangnya akan cepat mengerti mengingat betapa riangnya dia dan percayanya dia tentang kita yang saling mencintai? Kamu siap melihat kebenciannya mengarah padamu?"
Tessa kembali ke meja dapur, kini meraih beberapa bumbu dan mengupasnya.
"Anak mana yang tidak hancur ketika melihat kedua orang tuanya yang awalnya harmonis kemudian mengumumkan perpisahan mereka? Anak mana yang rela melihat kedua orangtuanya berpisah padahal mereka kira orangtuanya adalah panutannya untuk pernikahannya."
Kenan mematung mendengar hal itu.
"Kamu pernah mengalaminya, papa kamu pergi demi perempuan lain. Rela meninggalkan perempuan seluar biasa mama Flora demi Cinta butanya pada rekan bisnisnya yang hanya sesaat. Coba kamu kembali ke masa itu Mas, bagaimana rasanya melihat kedua orangtua berpisah?"
Kenan dengan lemah mendudukkan tubuhnya di kursi, melonggarkan dasinya yang terasa sangat mencekik.
"Aku? Mamaku pergi karena tidak tahan hidup dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Apa yang kurasakan? Aku membenci mereka, rasanya mengingat mereka saja membuatku sakit hati. Kita sama-sama korban perceraian orangtua. Kamu ikhlas membiarkan anak-anak merasakan apa yang dulunya kita rasakan?"
Ayah dua anak itu belum bersuara sama sekali.
"Aku hanya mengatakan pada mertuaku, aku rela mengorbankan hatiku untuk terus sakit demi sebuah keluarga impian. Aku benci perceraian Mas, aku ingin rumah tanggaku bahagia tanpa harus adanya perpisahan. Mungkin ini yang dirasakan ibuku saat itu, sayangnya aku memilih bertahan sedang dia tidak."
Dengan tangan terus mengaduk masakan, Tessa terus bersuara.
"Untuk apa aku merasa tertandingi dengan perempuan yang sudah lama mati? Aku hanya lelah, Mas. Walaupun kita berhasil membuat mereka merasakan apa yang dulunya kita rasakan tapi beda. Kita mengorbankan hati kita demi tawa mereka."
"Mungkin nanti, nanti jika aku telah berada di titik paling lelah. Maka aku akan mengajukan apa yang telah lama kamu nantikan. Aku tau, kamu membayangkan Arinka-lah yang ada disini bukan aku. Tapi Mas, hargai aku. Hargai."
Setelah memindahkan masakan ke mangkuk berukuran sedang, Tessa membuka kulkas dan mengeluarkan Ayam yang sudah ia potong-potong kemarin.
"Mama Flora memberikan apa yang aku inginkan, penghargaan. Aku tidak peduli mau dia mengawasiku atau tidak, tapi dia menghargaiku terus memberikan ucapan terimakasih karena telah membahagiakan kedua cucunya."
Setelah melumuri bumbu pada potongan Ayam, Tessa mengambil wajan baru dan mengisinya dengan minyak, menyalakan kompor.
"Kita hanya perlu bekerja sama, Mas. Anak-anak masih Butuh kita untuk bertumbuh."
Tanpa mengatakan apapun, Kenan berdiri dan berjalan masuk kamar.
Selepas kepergian suaminya, satu tetes air matinya jatuh tetapi segera Tessa hapus. Ini adalah pilihannya sendiri. Lagian akan ada satu titik nantinya dimana ia akan pergi dengan sendirinya.
Sebenci apapun Tessa pada Ayya, ia akan tetap berusaha untuk pura-pura. Berita tentang Panji yang akan mewarisi semua milik Kenan memberinya semangat baru, Tessa akan bersabar sedikit lagi, hatinya sudah lama mati lalu untuk apa memperdulikannya?
Setelah merasa minyak panas, ia memasukkan ayamnya memasak dengan pikiran bercabang. Tessa adalah perempuan paling bodoh, tapi siapa yang tau bagaimana jalan pikirannya setiap waktu bukan?
"Kita akan liburan setelah kamu kembaii lusa." suara Kenan kembali terdengar, Tessa mendongak ternyata pergi berganti pakaian.
"Berdua?"
"Berempat, kita ke mama."
Badan Tessa mematung sesaat kemudian kembali fokus ke penggorengannya.
"Ki-"
"AYYA PULANG!"
Keduanya langsung memasang senyum bukan lagi wajah menegangkan seperti berbalas menit yang lalu. Saling melempar candaan hingga Ayya masuk ke dapur memandang keduanya dengan ekspresi meledek.
Beginilah keseharian Tessa, terkadang lelah tapi tidak ada waktu untuk mengeluhkan keadaan. Yang dia lakukan hanyalah menyambut setiap sakit hatinya, pilihan yang telah ia buat bersama mertuanya berpuluh tahun lalu.
Tidak akan ada yang mengerti keadaanmu kecuali dirimu sendiri ataukah mereka pernah merasakannya dahulu. Hanya saja, untuk apa menangisinya?
***
"Kamu harusnya didik mereka dengan baik, bukan malah membiarkan mereka berbuat tidak baik dengan keluarganya." Adela menutup telinganya dengan bantal disampingnya, menyebalkan.
"Jangan pernah menyalahkan mereka, Caila. Sikapku adalah sikapku, itu adalah anakmu. Harusnya kamu mendukungnya bukan malah memberinya tuduhan seperti ini."
Adela melempar bantal yang ia tarik tadi, berjalan kelaur kamar memandang mama kandungnya yang tengah menatap angkuh Baskara, papanya.
"Selama ini mereka tinggalnya sama kamu, pastinya sikap mereka turunnya dari kamu. Zam mengirim psk ke hotel suamiku, dan membuat hotel itu harus ditutup. Kamu yang memberikan saran ini kepadanya?"
Adela maju kedepan, berkacak pinggang menatap Caila tajam.
"Kalau mama kesini cuman mau ngata-ngatain papa, mending papa pergi." ketusnya,
"Sayang, jangan sperti itu. Kamu kedalam saja bareng Keisya." tegur Baskara lembut, ia tidak ingin mama dan anak itu saling berdebat.
"Lihatkan? Dasar anak tidak punya sopan santun. Coba kamu tinggalnya bareng mama, pasti bisa lebih baik."
Bukannya rasa kesalnya reda, Adela makin menatap tajam perempuan berpakaian mewah itu. Memangnya Adela mau hidup dalam bayang-bayang kemewahan entah apa artinya itu? Iyasih banyak uang, tapi kasih sayang?
"Mending sama Mama Meira, diperhatikan dan disayang. Kalau tinggalnya bareng Mama, bukannya bahagia malah terus ditekan karena numpang." setelah mengatakan itu dengan nada meledek, Adela masuk ke dapur sempat berpas-pasan dengan Meira, tetapi ia tetap melangkah ingin bertemu dengan Keisya.
Hati Meira menghangat mendengar perkataan Adela, ia merasa bahagia karena Adela lebih memilih hidup bersamanya daripada orang lain.
"Apa bagusnya perempuan dari panti asuhan itu?" masih dengan suara sindirannya, dan mata merendahnya.
"Jaga bicara kamu, ini adalah rumahku. Zam tidak tinggal disini, jika ingin bertemu dengannya maka datanglah langsung ke kantornya bukan menganggu waktuku."
Meira datang dengan membawa dua gelas minuman, menyimpan salah satunya tepat didepan Caila.
"Apa yang telah kamu katakan pada putriku? Kenapa rasa bencinya padaku begitu besar?"
"Aku tidak mengatakan apapun, Adela hanya mengatakan apa yang ia pikirkan. Bukankah Adela sudah dewasa, memangnya ada orang sedewasa itu mudah dipengaruhi?"
"Dia bersamamu sudah lama, lebih memilih datang kemari daripada kerumahku. Kamu memberinya apa?"
Meira tersenyum lembut, "aku memberinya kasih sayang bukan uang yang berlimpah. Mau sebesar apapun seorang anak dia akan tetap membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtua. Memberinya nasehat ketika salah langkah bukan uang."
"Adela, sejak kamu pergi pastinya dia kesepian. Sebagai ibu sambung, tugasku hanyalah memberinya perhatian." Caila mencebikkan bibirnya, apa pentingnya kasih sayang?
"Assala- ngapain mama kesini? Gangguin Keisya?"
"Ternyata kalian semua tinggal disini? Mama selalu berusaha memanggil kalian kerumah tetapi lebih memilih kerumah kecil ini?"
Baskara mengepalkan tangannya erat, Meira yang duduk disampingnya membuka kepalan itu, memberikan senyuman lembut pada suaminya, "sabar, Mas." bisiknya lembut.
"Ada baiknya mama pergi dari sini, kalau memang mama tetap kukuh menuduhku melakukan itu semua maka berikan padaku buktinya, kumpulkan apa saja yang bisa mama jadikan alasan untuk membawa kasus ini ke pengadilan."
"Zam!" sentak Caila.
"Masalah kita berdua adalah masalah kita, jangan menganggu keluarga papa apalagi merendahkan mama Meira. Mama tidak punya hak apapun disini dan jangan membuat kebencian Adela pada mama semakin besar."
"Kamu makin kesini makin kurang ajar Zam, ini yang kamu ajarkan padanya?" matanya menatap Baskara,
"Ma! Selama kalian berpisah. Aku selalu tinggal sendirian, kemari hanya bermalam beberapa hari. Tidak pernah sekalipun Papa membahas tentang mama kepadaku, mama tidak malu berada disini? Tidak diinginkan sama sekali kehadirannya."
"Sikapku adalah keinginanku sendiri, Mama hiduplah dengan laki-laki yang tidak bisa menerima anak mama sama sekali. Mana mungkin aku dan Adela kesana, sedang kami tidak pernah disambut dengan baik."
Caila memegang ditempatnya.
"Laki-laki yang mama banggakan uangnya itu, mana pernah menyambutku dengan baik, selalu merendahkan Adela setiap kali Adela datang kesana. Selalu menganggap kami adalah benalu, mending disini. Ada mama Meira yang memberi apa yang kami butuhkan dari seorang ibu."
Dengan mata berkaca-kaca, Meira menatap Zam yang masih berdiri di ambang pintu. Merasa sangat berharga karena bisa dibela sebegini bedsrnya.
"Mama tau mama lebih memilih harta daripada kalian, tapi mama tetap peduli sama kalian." setelah mengatakan itu, Caila meraih tas mahalnya dan berlalu pergi.
Meninggalkan ketiganya dalam keheningan, dan Zam tanpa mengatakan apapun masuk ke kamarnya membiarkan Baskara dan Meira berdua di depan sana. Keduanya saling berpandangan dan saling melempar senyum.
"Kamu menyesal menikah dengan saya?" tanyanya pada perempuan disampingnya, perempuan yang rela menikah dengannya,menemaninya membuka usaha hingga sebesar sekarang.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Mas. Kamu tidak menyesal menjadikan perempuan sepertiku menjadi istrimu? Pengusaha sukses yang memiliki istri biasa saja dan hanya berasal dari panti asuhan?"
Baskara menggeleng, "bagiku, kamu itu perempuan luar biasa, Mei. Kamu menemani saya hingga sebesar sekarang, mana mungkin saya melupakan dan membuang perempuan seluar biasa kamu? Yang dengan sabarnya menunggu saya. Terimakasih Mei, telah menerima kedua anakku dengan baik."
"Aku hanya ingin menutupi kesedihan mereka, Mas. Melihat kedua orangtua berpisah itu bukan hal mudah, atau bahkan tumbuh tanpa orangtua itu rasanya hampa dan aku pernah merasakannya. Mana mungkin aku membiarkan mereka berdua merasakannya? Walaupun sudah besar, bukankah setiap orang tetap butuh perhatian?"
Baskara tak akan berhenti bersyukur, mana mungkin ia menelantarkan perempuan sebaik Meira? Hanya karena harta yang kini telah menjadi miliknya. Harta bisa dicari selama apapun itu sedangkan orang seperti Meira? Mana ada perempuan spertinya.
"Kamu habisin dua minuman itu, Mas. Aku pengen cek Keisya. Tadi dia makan coklat puding di dapur ditemani Adela sepertinya." Meira melempar senyum manis pada suaminya dan berjalan masuk kedalam dapur.
Andaikan Baskara mau, mungkin sudah lama ia membeli rumah mewah bak istana hanya saja Hidup sperti ini menyenangkan, kebahagiaannya sangatlah sederhana.
"Mau kemana?" tanyanya setelah melihat Zam telah berganti pakaian.
"Mau jemput Ayya, Pa. Katanya pengen ditemani beli baju."
"Duduk dulu, papa mau bicara."
Zam mengikut, duduk dihadapan papanya.
"Kamu tau pelakunya siapa? Kerugiannya tidak main-main,Zam."
"Oma Flora, Omanya Ayya atau bisa dikatakan mamanya Om Kenan. Dia tidak suka ketika ada orang yang menyakitiku sedang suami mama itu? Dia menusukku dari belakang. Padahal tinggal menandatangi kontrak, sudahlah. Basi membahas hal itu terus menerus membuat moodku tidak baik sama sekali."
"Papa hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan mereka, Derax itu orang licik, Nak. Tetap awasi perusahaanmu karena apapun akan dia lakukan demi menjatuhkanmu, tidak peduli kamu anaknya atau bukan karna baginya kamu adalah benalu, musuhnya."
Itulah Derax, papa tirinya. Bukannya bekerja sama dengannya malah menjatuhkannya.
"Aku tau, tapi aku berharap tidak ada pengkhianatan lagi setelah ini. Aku sangat membenci hal seperti itu, di mata mama kita akan selalu salah. Uang adalah segalanya baginya."
"Nak, mama kamu hanyalah hasil dari keegoisan orangtuanya. Sejak kecil selalu diajarkan bermanja, menghamburkan uang."
"Sudahlah, aku berangkat dulu, Pa. Takutnya Ayya ngomel lagi karena terlambat dijemput."
"Beli baju? Tumben Ayya pengen beli baju biasanya kalau diajak mama kamu selalu ditolak katanya engga suka belanja, sama Adela juga sperti itu."
"Kalau engga salah inget, dia ingin menghadiri acara party temannya lusa. Katanya pengen pilih baju Bagus agar tidak dipandang sebelah mata. Berangkat dulu, Pa."
Setelah melihat papanya mengangguk, Zam berlalu tanpa pamit pada Meira atau pun Adela. Beberapa bajunya memang ada disini, sengaja ia simpan. Jadinya kalau mau berganti pakaian tidak perlu pusing-pusing lagi.