Tadinya ingin membeli banyak baju tapi laki-laki disampingnya malah mengatakan hal seperti ini.
"Untuk apa kamu beli baju banyak? Mau pamer sama teman-teman kalau kamu sudah sukses sedang mereka masih jadi kaum rebahan?"
Ayya langsung mengurungkan niatnya, akhirnya memilih satu pakaian saja. Itupun saat memilih Zam akan banyak komentar, membuat Ayya menyesal karena meminta Zam menemaninya.
"Jangan yang itu, warnanya terlalu mencolok, pilih baju yang sederhana saja."
"Tidak, ganti yang lain. Kalau yang itu kurang cantik."
"Jangan deh, bajunya terlalu panjang takutnya pas kamu jalan bajunya malah keinjek dan kamu jatuh."
"Ehh ganti."
"Engga, ganti."
Dan masih banyak lagi ocehan Zam yang rasanya membuat Ayya malas mengingatnya kembali. Mall sore ini cukup ramai, pasangan muda-mudi mendominasi lantai satu sepertinya karena hari ini menjelang weekend.
"Kalau engga salah ingat, hari ini mama kamu berangkat ke luar kota." tanya Zam, keduanya sedang berjalan ke lantai atas, ingin makan katanya.
"Iya, tadi udah packing katanya diantar papa. Pasti papa bakal kesepian pas mama pergi, soalnya mama terakhir kali keluar kota pulangnya harus ngurusin papa yang demam, kangen mungkin."
Zam tidak berbicara lagi, memilih fokus mengamati. Mana restoran yang akan ia masuki bersama Ayya, masalahnya adalah ia belum sempat makan tadi apalagi harus berdebat panjang dengan mamanya, yang kurang kerjaan itu.
Padahal niatnya sebelumnya, ingin makan dulu baru keluar tetapi teurungkan gara-gara kedatangan mamanya yang sangat tiba-tiba.
"Disini tuh hanya ada 3 restoran, mau pilih makanan apa sih? Kayaknya semua makanan sama saja apanya yang beda?"
"Tetap ada bedanya dong, Ay. Kamu berhenti ngoceh dulu ganggu konsentrasi." Padahalkan Ayya baru buka suara tetapi sudah dikatakan merusak konsentrasi.
Zam berhenti melangkah, menarik Ayya turun kembali ke lantai satu.
"Loh kok turun lagi?"
"Kamu diam aja deh, terlalu banyak tanya seperti perempuan."
"Lah, akukan memang perempuan."
Oh iya, Zam lupa.
Habisnya Ayya itu kebanyakan bertanya padahal Zam sedang memikirkan menu makanan apa yang bisa membuatnya semangat kembali, kedatangan mamanya benar-benar membuat moodnya anjlok.
"Kak Zam sperti perempuan tau, terlalu banyak pemilih."
"Apaan, aku engga seperti itu."
"Memang gitu kok, kayak Ayya dong tinggal tunjuk selesai deh."
"Itukan karena memang kamu doyan makan."
Ayya diam, malas berdebat. Padahalkan yang sedang kedatangan tamu bulanan Ayya lalu kenapa Zam yang sensi? Harusnya Ayya dong yang marah-marah, seperti perempuan pada umumnya.
"Ehh, kita kayak orang pasangan yaa?" Zam menghentikan langkahnya, menatap sebal kearah Ayya.
"Kenapa mukanya? Kayak perempuan yang lagi ngambek. Harusnya yang kesal tuh aku loh, soalnya lagi kedatangan tamu bulanan kok malah kak Zam yang bawaannya kesal terus. Tau gini mending Ayya pergi beli baju sendiri,"
Zam kembali menatap kedepan, kembali melanjutkan langkahnya ke parkiran.
"Kita cari diluar aja."
Mobilnya meninggalkan pekarangan mall menuju tempat yang entah dimana Zam inginkan, Ayya hanya duduk dalam diam dengan tangan memeluk erat paperbag-nya, berisi baju yang ia beli.
Matanya menatap keluar, mendung.
"Kak Zam bawa payung kan?"
"Engga."
Ayya kembali diam, singkat amat.
"Kayaknya Daniel lupa kirim pesan deh, dari semalam kutunggu malah engga ada."
Ciiiiiitttt.
"Aduuh! kak Zam, kok berhenti mendadak sih, jidatku yang Malang." kesalnya, pasalnya Zam tiba-tiba saja berhenti mendadak membuat jidat Ayya terbentur di dashboard mobil, Ayya lupa memasang seatbelt.
"Daniel? Kamu dekat sama siapa lagi?" Ayya tidak menjawab, sibuk mengusap jidatnya yang terasa ngilu.
"Ay, aku bertanya. Siapa Daniel?" ulangnya dengan kesal.
"Kak Zam punya masalah apasih? Kalau punya masalah sama orang lain jangan lampiaskan ke aku dong." kesalnya dengan suara agak bergetar, matanya berkaca-kaca.
Zam tertegun, ia mengacak rambutnya frustasi. Ini semua gara-gara mamanya hingga Ayya jadi kena imbasnya.
"Kalau sejak awal mood kak Zam lagi engga baik yaudah berusaha kendalikan dong, semarah apapun kita pada seseorang ya itu masalah Kak Zam sama dia jangan bawa-bawa kesini." lanjut Ayya lagi, mengusap kasar pipinya karena airmatanya malah turun.
"Harusnya kak Zam bilang jangan kayak gini, aku engga suka." Ayya membuang muka kearah luar membuat Zam makin bersalah.
"Maaf, aku hanya sedang kesal karena tadi Mama Caila datang kerumah Papa. Padahalkan masalahnya sama aku tapi dia malah kerumah."
Ayya masih diam, membiarkan Zam dengan rasa bersalahnya sendiri.
"Yaudah, aku antar pulang aja ya." tidak ada tanggapan, Zam membalikkan mobilnya mengurungkan niatnya ingin membawa Ayya makan bersamanya.
Mobil berjalan dalam keheningan, Ayya hanya kecewa. Ya kecewa dengan sikap Zam padanya, Ayya kan tidak bersalah sama sekali tapi kenapa harus kena imbasnya segala? Kalau memang mama kandungnya datang, terus hubungannya sama Ayya apa? Kenapa dia harus kena kesalnya?
Sampai depan rumah Ayya-pun, perempuan itu tanpa mengatakan apapun langsung turun membuat Zam memandangnya kecewa. Ia kecewa, harusnya Ayya berusaha mengerti posisinya yang sedang dilanda masalah bukan malah egois seperti ini.
Zam hanya ingin Ayya di sampingnya, berusaha memahami posisinya yang tidak mendukung sama sekali. Jika biasanya sebelum pergi Zam akan membunyikan klakson mobilnya maka sekarang tidak lagi, mobilnya hanya berlalu meninggalkan Ayya yang mematung didepan pintu.
Selepas mobil itu pergi, Ayya membalikkan badannya. Matanya semakin memancarkan kekecewaan, kenapa Zam begitu kekanakan? Padahalkan harusnya turun membujuknya, tapi ini? Ia malah pergi tanpa kata sama sekali.
Rumah sepi, ya iyalah sepi papanya pasti masih dalam perjalanan mengantar mamanya ke bandara sedang Panji katanya mulai tinggal bersama temannya di kostan, lebih mudah ke kampus katanya.
Masih dengan ekspresi murung, Ayya duduk disofa menyimpan paperbag dengan sentakan hingga menciptakan bunyi yang cukup keras.
Apa susahnya turun dari mobil lalu minta maaf? Membujuknya, menawarkan coklat maka Ayya akan memaafkannya.
Meraih barang belanjaannya, Ayya masuk kedalam kamarnya.
Sesampainya didalam kamar tangisnya pecah tepat setelah pintu tertutup rapat. Ayya hanya ingin Zam membujuknya, kenapa terasa menyesakkan sekali didadanya? Apa ini alasan mengapa orang-orang tidak ingin punya pasangan sama sekali?
"Kak Zam nyebelin." ujarnya dengan suara serak.
"Egois, sukanya lampiaskan marahnya sama Ayya." lanjutnya kembali, melempar paperbag di tangannya ke ranjang, rebahan di ranjang dengan Mata memandang keatas.
"Marah-marah terus, padahalkan yang salah mamanya lalu kenapa Ayya yang harus dimarahin?" gumamnya lirih, mendudukan tubuhnya dan meraih bantal.
"Pokoknya aku kesal sama kak Zam."
Satu tinju ia layangkan pada bantal itu.
"Kak Zam egois."
Dua tinju.
"Ayya benci sama kak Zam."
Tiga tinju.
"Mau dikasi coklat satu gudang pun, Ayya engga bakal maafin."
Empat tinju.
Merasa sedikit lega, Ayya berjalan kearah meja riasnya menatap ngeri pantulan wajahnya yang ada dicermin.
"Ihhh! Gara-gara kak Zam mataku jadi bengkak, jidat memar, terus hidung merah kayak badut. Kak Zam emang nyebelin."
Ayya menoleh kearah ranjang, ponselnya berbunyi.
Dengan wajah kesal, ia berjalan menumpahkan semua isi tasnya dan meraih ponselnya yang terus bergetar minta diangkat.
Adik lucu.
Ayya mendengus kesal, pasti Panji yang sudah mengubah nama kontaknya di sana.
"APAA?" teriaknya kesal, suaranya bahkan menggema di dalam kamarnya sendiri, Ayya mengerjap pelan. Ehh apa tidak berlebihan?
"Astagfirullah, jahat banget. Telingaku sampai berdenging dengernya."
Ayya terkikik, sedikit melupakan kekecewaannya pada Zam.
"Kenapa? Tumben nelepon?"
"Mama udah berangkat?"
"Udah kayaknya, soalnya pas aku sampe rumah udah sepi." jawabnya tenang, berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, dengan satu tangan.
"Suara kak Ayya kek habis nangis, kenapa?"
"Ohh itu, kamu kayak engga tau aja. Biasalah nonton drakor."
"Ish! Yaudah teleponnya aku matiin."
Ayya kembali melempar ponselnya di ranjang setelah keluar dari kamar mandi, menatap nanar wajahnya yang terlihat menyedihkan karena semua Cinta. Dasar mantan senior menyebalkan, liat saja Ayya akan ngambek padanya berhari-hari kedepan.
***
Tessa menatap Kenan yang duduk disampingnya, dikursi tunggu.
"Kamu kali ini dapat perempuan itu darimana, Mas?" tanyanya tenang, matanya sesekali melirik kearah perempuan yang ada disamping suaminya.
Ya, tanpa anak-anaknya tau. Kenan itu suka main perempuan dalam sehari pasti akan menghabiskan waktu dengan perempuan dan itu berbeda setiap harinya. Bagaimana bisa Tessa bertahan? Bisa. Selagi ia masih mau.
"Kamu berangkatnya jam berapa?" bukannya menjawab pertanyaan istrinya, ia malah menanyakan hal lain.
"Mama pasti sudah tau ini sejak lama, tapi mau sampai kapan, Mas? Apa respon anak-anak kita setelah mereka tau jika ayah yang mereka jadikan panutan ternyata aslinya sperti ini."
Kenan tertawa pelan, matanya teralihkan dari tabnya kini menatap Tessa.
"Meraka tidak akan tau kecuali kamu yang memberitahunya. Mama tidak pernah mengungkit hal ini padaku, mungkin dia sengaja membiarkan putranya menghabiskan waktu dengan caranya tersendiri."
Perempuan itu diam, menatap kawasan bandara yang mulai ramai padahal sudah menjelang magrib.
"Sesampainya disana telepon aku, takutnya anak-anak bertanya aku malah jawabnya engga tau kan bisa membuat mereka curiga."
"Mas, mereka sudah dewasa. Bukan anak smp yang masih bisa kita kelabui."
"Aku selalu mengatakannya padamu, mereka tidak akan tau selama kamu masih tutup mulut, lagian aku membebaskanmu juga. Banyak lakilaki yang kurasa ingin bersamamu."
Tessa masih menatap sekitar, "aku bukan perempuan serendah itu, Mas."sangkalnya.
"Yaudahlah, terserah kamu. Aku mau Pergi, ada urusan." Kenan berdiri, berjalan menjauh meninggalkan Tessa yang menatapnya dengan pandangan Sendu. Istri mana yang tidak sakit hati melihat suaminya berjalan dengan perempuan lain?
Ya itulah Kenan Arloka.
Melamarnya dan katanya mencintainya, awal pernikahan yang begitu Indah hingga akhirnya kesalahan satu malam itu terjadi membuat rumah tangganya berantakan, kepergian Arinka yang meninggalkan Ayya bersamanya. Miris dan tragis.
Sejak rumah tangganya berantakan, bukannya berusaha memperbaiki dan memulihkan malahan Kenan semakin menjadi-jadi.
"Kalau sudah terlanjur roboh, bukannya kita bakar aja sekalian?"
Bermain dengan banyak perempuan, itulah suaminya yang entah kenapa selalu berhasil bersandiwara didepan anak-anaknya.
Perkataan berpuluh tahun lalu membuat Tessa tertawa pelan ditempatnya,membuat sebagian orang menatapnya aneh.
"Sakit banget ya Mba?" tanya orang disamping Tessa.
Perempuan yang masih remaja, menyodorkan tissue padanya.
"Tanpa sadar, Mba tertawa sambil mengeluarkan air mata juga."
Dengan cepat Tessa meraba pipinya, ternyata benar.
"Duluan Mba."
Tessa kembali tertawa kecil, ia memang sudah gila. Ia harus cepat melakukan keinginannya atau sesuatu akan terjadi padanya, Tessa lelah menjadi orang baik, ia lelah menjadi orang sabar terus menerus. Ia ingin berubah menjadi orang jahat mulai sekarang, ia akan memperlihatkan bagaimana seorang orang jahat bertindak.
Ia tidak peduli setelah ini akan bagaimana, karena baginya akan terasa sangat berbeda lagi. Firasat Tessa mengatakan setelah kepulangannya semua tidak akan sama lagi, keadaan akam berbeda.
Ia menggeret kopernya setelah mendengar pengumunan, kesabarannya telah menipis seiring waktu. Dengan langkah anggun ia berjalan dengan percaya diri, senyum mengembang dan kepalanya dipenuhi oleh banyaknya kemungkinan.
***
Zam menatap makanan didepannya tanpa minat sama sekali, memakannya dengan enggan. Didalam restoran yang ia pilih asal-asalan ini hanya dirinyalah yang duduk sendirian sedang yang lainnya mempunyai pasangan ataupun teman makan.
Ayya itu egois, hanya memikirkan keinginannya sendiri.
Padahal makanan ini enak, buktinya banyak yang memesan makanan yang sama dengannya. Bedanya mereka mempunyai teman bicara, teman makan dan teman hidup. Sedang Zam?
Merasa kenyang, ia berdiri dan menyelipkan uang di bawah piring pertanda bayarannya. Berjalan keluar restoran dengan wajah nelangsa, biarlah orang menilainya aneh, Zam tidak peduli sama sekali.
Mengemudikan mobil dalam keadaan hening, sengaja tidak menyalakan radio sama sekali. Ia benar-benar sudah seperti laki-laki yang baru saja diputuskan, ditinggal pergi perempuan yang ia cintai padahalkan Ayya hanyalah adik tingkatnya sewaktu sekolah dulu.
Memangnya salah kalau Zam marah karena Ayya malah membahas laki-laki lain yang bernama Daniel itu, Ayya kan sedang bersamanya lalu kenapa harus membahas orang lain? Lakilaki pula.
Wajah Zam makin tidak enak dipandang.
Setelah memarkirkan mobilnya, Zam masuk kedalam rumahnya. Ya, Zam memilih pulang ke rumahnya alih-alih ke rumah papanya. Zam malas ketika nantinya malah ditanya tentang kenapa wajahnya murung?
Harus Zam jawab apa?
Mengatakan jika sedang kesal karena Ayya sedang menunggu pesan dari laki-laki lain, mengatakan jika Ayya sedang ngambek padanya karena Zam malah bersikap tidak adil padanya. Begitu? Zam terlalu malas menjelaskannya.
"Begitu saja marah, padahalkan bisa mengerti keadaanku." kesalnya, meraih handuk sesampainya di kamar.
Dengan handuk di lehernya, Zam berjalan kehadapan cermin menatap wajahnya sendiri.
"Apa aku kurang tampan untuknya makanya dia memilih mencari laki-laki lain? Masa iya aku kurang tampan?" gumamnya, mengacak-acak rambutnya.
"Bodoamat, terserah Ayya mau ngambek berapa hari engga bakal aku bujuk. Ngasi dia coklat satu bungkus pun engga bakal ku kasi, mending sibuk kerja nanti kalau capek datang ke saya sendiri."
Dengan langkah malas, Zam berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian keluar dari sana, memakai pakaian dan wajahnya terasa segar kembali, tetapi tidak dengan hatinya. Terasa masih hampa sekali.
Setelah menggantung handuknya pada tempatnya, Zam membaringkan badannya di ranjang sembari menunggu Adzan maghrib berkumandang. Zam akan melihat seberapa lama Ayya marah padanya, berapa lama perempuan itu menciptakan dinding untuknya.
Zam tertawa pelan, lucu juga sih.
Ayya itu lucu, mungkin karena itulah ia bisa nyaman berteman dengan Ayya sampai sekarang. Tawanya kembali hilang mengingat wajah murung Ayya, Zam berdecak kesal. Itu bukan salahnya sama sekali, itukan urusan Ayya bukan urusannya sama sekali. Nanti bakal sembuh sendiri juga.
Zam memilih abai, menunggu Adzan lebih baik untuknya.