Ruangan ini terasa hening sekali membuat Ayya mati kebosanan, bukannya ada alunan musik malah ketikan keyboard yang menggema. Untungnya Dita sudah kembali bekerja jadinya Ayya tidak perlu makan hati seharian.
Rencananya memang ingin membeli bahan dengan Kinta,tapi sayangnya ia malah berakhir disini berada ruangan Zam, sedang yang punya ruangan sedang sibuk bekerja. Apa gunanya coba Ayya dipanggil kemari?
Ruangan Zam ini adem, sayangnya warna catnya terlalu membosankan dalam sekali pandang,harusnya Zam memilih warna yang ceria bukan hitam seperti sekarang.
"Kak Zam engga ada niatan mau ganti warna cat ruangan?" tanyanya tiba-tiba hingga membuat Zam menghentikan sejenak pekerjaannya.
"Kalau misalkan aku minat ganti, kamu maunya warna apa?"
"Kuning."
"Gila."
Ayya terkikik pelan, kembali membaringkan tubuhnya di sofa dengan mata fokus ponsel. Bukan maunya kemari, tapi katanya Zam lagi butuh teman untuk menemani. Habis kena musibah katanya, kalau ada Ayya, Zam tidak begitu sedih. Bisa gitu ya?
"Alah! Palingan dia kangen sama kamu makanya manggil terus make alasan habis kena musibah segala."
Omelan Kinta beberapa jam lalu kembali Ayya ingat, sahabatnya itu cukup kesal karena harus membeli bahan sendirian. Untungnya Kinta masih ingin berbaik hati membawanya kemari.
"Kak Zam habis kena musibah apasih?" peryamyaan ini sejak tadi ingin Ayya tanyakan, hanya saja butuh waktu yang tepat saja.
"Papa Derax, dia ngambil project yang aku incar selama setahun ini. Kurang lebih gitulah,"
Ayya bangun dari rebahan malasnya, melototkan matanya. Duh! Berabe.
"Lumayan kecewa, tapi apa boleh buat? Mereka sudah tanda tangan kontrak kemarin. Mungkin memang bukan ditakdirkan untuk kami, setelah ini aku mau bakar proposal yang sempat ku garap selama 2 bulan ini."
Ayya mengotak-atik ponselnya cepat.
"Terasa ada yang nusuk dari belakang, walaupun memang dikhianatin sama keluarga sendiri sih. Tau ah, ingat itu lagi buat perasaanku jadi down lagi."
Ayya tidak terlalu memperdulikan apa yang Zam katakan sejak tadi, mencoba menghubungi Omanya tapi malah ditolak.
"Bakal rugi berapa ya?" tanyanya pada diri sendiri, karena Zam sudah kembali berkutat dengan komputernya.
Kedatangan Ayya kemari itu bagai Vitamin untuk Zam, walaupun pertanyaannya kadang diluar nalar tapi engga papa. Ayya makin menggemaskan ketika sedang melucu, tapi itukan bukan melucu ya tapi memang berasal dari pikiran Ayya sendiri.
"Marcel sampai ke bar gegara setres," curhatnya lagi.
Ayam makin penasaran, soalnya omanya pernah bilang padanya. Kurang lebih seperti ini.
"Karena laki-laki itu sudah sangat dekat denganmu malahan yang paling berpotensi menjadi suamimu, maka Oma akan membalas siapapun yang membuatnya sedih atau kecewa."
Tidak mau memikirkan terlalu lama, Ayya kembali merebahkan badannya.
"ZAM! KAMU APAIN HOTEL PAPAMU!!!"
Ayya tersentak bangun dengan cepat, duduk dengan tegak. Menatap kaget kearah mama kandung Zam yang baru saja datang secara tiba-tiba. Pintu memang sengaja dibiarkan terbuka jadinya bisa langsung masuk.
"Hotel? Papa? Apa hubungannya saya sama hotel papa? Harusnya saya yang datang ke kantornya terus maki-maki dia karena menusuk saya dari belakang."
"Mama engga suka dengan cara kamu,papa kamu tidak salah sama sekali. Kalau memang perusahaan itu yang memilihnya terus itu salahnya?"
Zam meninggalkan meja kerjanya, berdiri tepat didepan Caila, mama kandungnya.
"Ma, papa sangat tau sejak setahun lalu selepas peluncuran produk terbaru mereka. Saya selalu berusaha menarik minat mereka, mengajak mereka bekerja sama di peluncuran produk-produk sederhana mereka, dan kemarin adalah Puncak peluncuran utamanya. Saya yang harusnya terpilih harus gagal karena kecurangan papa."
"Apa yang papa kamu lakukan?"
"Papa mengatakan pada mereka kalau saya mengutus perusahaan papa untuk bekerja sama dengan mereka, kerjasama dengan perusahaanku harus ditunda dulu karena alasan yang tidak bisa dijelaskan. Mama pikir saya bisa menerima pengkhianatan ini?"
Bukannya merasa bersalah, Caila malah menatap anaknya angkuh.
"Bukan papamu dong yang salah tapi kamu. Kenapa harus kalah? Mama engga mau tau, kamu harus membayar semua kerugian yang hampir triliunan itu."
Dengan santainya Zam kembali duduk dibalik komputer nya.
"Kenapa saya harus ganti rugi sedang saya tidak melakukan apapun? Sejak semalam hingga sekarang saya terus berada disini, tidak memperintah siapapun untuk melakukan hal yang mama maksud. Saya juga engga tau apa yang sedang terjadi."
"Hotel papa kamu sedang masa jaya-jayanya malah harus gulung tikar karena ada psk didalam sana. Padahal jaminan disana tidak ada tindakan seperti itu sama sekali, media sedang membahasnya sekarang. Yang terlintas dalam pikiran papamu setelah mengetahui adalah kamu, kamu pelakunya Zam."
Zam tertawa pelan ditempatnya.
"Mama pikir, saya ada waktu merencanakan itu semua?"
"Kalau sampai kamu terbukti melakukan ini, mama tidak segan-segan menuntut kamu ke jalur hukum."
"Yaudah, kita akan melihat ibu dan anak yang saling menuntut di meja hakim."
Dengan wajah kesal, Caila berlalu.
Ayya memperhatikan semuanya dan Ayya tau ini semua adalah ulah omanya.
Ting.
Sekertaris Oma.
Maaf karena tidak mejawab telepon anda.
Nyonya sedang meeting tadi, beliau yang meminta beberapa orang untuk mengirim psk kesana untuk membalas rasa kecewa kekasih anda.
Sudahlah, Ayya biarkan saja. Toh Papa tiri Zam memang pantas mendapatkannya.
***
"Apa ada kabar terbaru?" tanyanya dengan suara tegas.
"Tim berhasil Nyonya dan sudah kembali pulih malahan sudah beraktivitas seperti biasanya." jawabnya cepat.
"Kerja Bagus."
"Terimakasih Nyonya."
"Oh iya, apa Ayya menelpon? Kurasa dia akan mengomel padaku setelah ini."
"Saya barusan mengirimkan pesan padanya, memberitahu jika semuanya memang anda yang melakukannya."
"Baik, aku yang akan menelponnya."
Langkah mereka semua terhenti dan hanya Flora yang masuk kedalam ruangan diikuti sekertarisnya dibelakangnya.
"Omaaaaaa, kok gitu." bukan sapaan salam,langsung dihadiahi rengekan kesal dari cucu kesayangannya.
"Ada apa? Memangnya Oma kamu kenapa?"
Flora bisa menebak jika saat ini Ayya sedang berada di kantor Zam, terbukti dari pertanyaannya barusan.
"Ituloh, oma yang ngirim itu ke hotelnya papa kamu. Katanya sebagai balasan karena mereka sudah bikin kamu sedih,"
"Bagus dong, terimakasih Oma."
Perempuan paruh baya itu tersenyum menatap betapa serasinya mereka berdua, rasanya tidak sabar ingin melihat mereka berdua menikah.
"Apaan yang Bagus, tadi kak Zam dimarahin sama mamanya loh Oma karena salah mengira, malah katanya ingin membawa ini jalur hukum." suara Ayya kembali terdengar, mengadu layaknya anak kecil.
"Jalur hukum? Pekerjaan Mama kamu apa Zam? Apa dia sedikit menganggumu juga?" tanyanya, kalau memang mama kandung Zam juga membuat Zam sedih maka Flora tak segan-segan menjauhkannya juga.
"Loh loh, jangan dikasi tau. Ehh, oma jangan bertanya gitu kan sudah tau."
"Oma tau?"
"Taulah, apasih yang oma Flora engga tau."
"Oma engga tau kapan kalian menikah." perkataan secara mendadak itu membuat keduanya sama-sama terdiam.
"Oma, jangan aneh-aneh lagi setelah ini." ujarnya setelah beberapa menit kemudian.
"Oma bakal kesana kalau kalian berniat merencanakan pernikahan." lanjutnya lagi dengan pembahasan masih sama.
Sekertarisnya maju selangkah, "kurasa Nona Ayya tidak suka pembahasan itu Nyonya, takutnya jika anda membahas ini terus menerus dia tidak ingin menerima telepon anda lagi." sarannya dengan suara di pelankan agar Ayya tidak mendengarnya.
Flora mengangguk paham.
"Papa mama kamu baik-baik saja kan?"
"Baik kok Oma, mereka masih harmonis seperti biasanya. Ayya beruntung punya mereka berdua, masih saling mencintai walaupun sudah berumah tangga puluhan tahun, Cinta mereka masih seperti awal ketemu. Iyakan kak Zam?"
"Benar banget."
Flora menanggapinya dengan senyuman, syukurlah Kenan masih memberikan kebahagiaan untuk Ayya.
"Tapi, kemarin Panji mengatakan padaku kalau akhir-akhir ini tante Tessa murung."
"Kok kak Zam engga ngasi tau aku?"
"Lupa Ay, sekarang baru ingat setelah Oma kamu nanya."
"Mungkin sedang banyak pikiran." ujar Flora dengan suara tenang, sepertinya setelah ini dia akan membahas hal penting dengan menantunya itu.
"Yaudah deh, kami matikan ya Oma. Mau keluar makan soalnya."
"Hati-hati, Zam jagain Ayya."
"Siap Oma."
Sambungan telepon terputus, dan Flora kini resah. Mengapa menantunya begitu ceroboh? Perjanjian mereka berdua tidaklah seperti ini.
"Apa perlu saya kesana?"
"Saya rasa tidak perlu, Nyonya. Tessa pasti tau apa yang harus ia lakukan jika ingin terus mempertahankan rumah tangganya."
Ia mengangguk mengiyakan, baiklah. Flora akan tetap mengamati dari sini.
***
Panji duduk dengan wajah murung, kenapa ia merasa ada yang tidak beres dengan rumah tangga kedua orang tuanya. Mamanya selalu saja melamun dalam beberapa hari, Panji selalu mengamatinya dalam diam.
Apakah nantinya keluarganya akan berakhir seperti yang lainnya? Tapi Panji selalu berdo'a semoga itu hanya ketakutannya semata. Akhir-akhir ini ia selalu menolak panggilan temannya untuk menanjak, memilih fokus di perkuliahan dan mengamati mamanya dalam diam.
"Galau banget." teguran temannya ia tanggapi dengan senyuman tipis.
"Tapi kayaknya bukan karena perempuan deh, soalnya lo engga pernah dekat sama perempuan. Padahal yang lirik-lirik banyak, engga minat menjalin hubungan?"
Panji sekali lagi hanya tersenyum tipis, ia terlalu malas memikirkan perempuan.
"Fegi, lo tau dia? Anak terpintar di fakultas sebelah. Keknya sejak tadi dia natap kesini terus, mana mungkin kan dia natap gue?"
Ia mengikuti arah pandang temannya, ada banyak perempuan disana. Mana Panji tau perempuan yang temannya maksud.
"Ituloh yang make baju ijo, pinter. Bukannya lo pengen nemu perempuan yang pinter? Bisa tuh."
Ia pandang sekali lagi.
Cantik dan sederhana. Sayangnya Panji kurang suka dengan perempuan yang memperlihatkan rasa sukanya karena menurutnya ialah yang mengejar perempuan bukan perempuan yang mulai mendekat padanya.
Panji tidak tertarik.
"Gimana kalau kita tinggal dikostan Pan?"
"Ngapain? Kan punya rumah."
"Rumah kayak neraka, tiap hari ortu berantem terus dan saling menyalahkan satu sama lain, puyeng dengernya. Sebenarnya gue udah nemu cuman rasanya sepi tinggal sendirian makanya ngajak lo, mau engga? Gratis deh, tinggal bawa badan aja."
"Tempatnya juga cukup dekat dengan kampus jadinya tinggal jalan kaki, engga bakal telat mah."
Kalau Panji tinggal bersama temannya lalu siapa yang akan mengawasi perubahan sikap mamanya akhir-akhir ini, kakaknya pun pasti tidak percaya malahan akan syok kalau tau mamanya berubah, seperti orang tertekan.
"Gimana? Mau engga?"
"Nanti gue pikiran." jawabnya.
"Nah gitu dong, pengennya ngajak yang lain cuman kelakuan mereka terlalu bebas. Takutnya pas gue sibuk kuliah malah ngajak cewe ke sana kan berabe. Kalau lo? Kenalan sama cewe aja malasnya kek gimana apalagi ngajak ke kost? Hahaha."
Ternyata ada alasan utamanya, tapi Panji senang karena temannya yang satu ini masih ingat dengan namanya batasan dan dosa.
"Gue emang suka gonta ganti pacar, tapi yang gue ajak pacaran pastinya tau sikap gue yang sebenarnya, playboy." temannya tertawa sendirian.
Panji mengamati sekitaran kampus, kebanyakan perempuan disekitar sini.
"Ehh bro, Fegi kesini." tepukan tangan temannya di pundaknya membuat Panji mengamati perempuan yang sedang berjalan ke tempat duduknya.
"Kenapa?"tanyanya cepat setelah perempuan itu berdiri tepat didepannya.
"Belum mau pulang?" Panji mengerutkan keningnya tidak suka, ia semakin tidak suka dengan perempuan ini. Panji lebih suka mengejar bukan dikejar.
"Belum, setelah ini mau ke kostnya Andri dulu." jawabnya dengan suara tenang,sekesal apapun dia pada seseorang Panji akan tetap sopan padanya.
"Oh tinggal bareng ya?" tanyanya lagi.
"Rencananya." jawabnya lagi.
"Oh yaudah, permisi."
Temannya tertawa terbahak-bahak disampingnya setelah perempuan bernama Fegi itu berlalu, Panji tidak terlalu memperdulikanya yang ada dipikirannya hanyalah tentang mamanya.
***
"Mungkin mama benar-benar banyak pikiran kali ya?" tanya Ayya entah kesekian kalinya.
"Engga tau, coba kamu tanya langsung aja nanti." jawab Zam, mereka memasuki restoran dan duduk di dekat pintu. Terasa menjadi tamu padahal itu adalah restoran Ayya sendiri.
"Pacaran terooos." sindir Kinta dengan suara agak sedikit dibesarkan dari arah ruang istirahat.
Ayya memeletkan lidahnya pada Kinta sebagai balasan atas ledekan itu. Memesan makanan kesukaannya dan Zam hanya mengikuti Ayya saja.
"Mama kamu mungkin ingin liburan tetapi tidak sempat karna banyaknya kerjaan yang menumpuk. Coba bahas ini dengan om Kenan, siapa tau setelah ini kalian akan liburan lengkap."
"Mana bisa gitu, Mama selalu ada alasan tiap bahas liburan terus papa malah ikut-ikutan. Yaudahlah, kalau memang mereka berdua ingin liburan biarkan saja." respon Ayya bodoamat, memilih menatap ponselnya sejak tadi.
"Bagaimana kalau nantinya malah terjadi hal yang tidak diinginkan?"
Ayya menyimpan ponselnya, menatap Zam.
"Hal yang tidak diinginkan? Bercerai maksudnya? Meraka kan sudah menikah selama puluhan tahun, sudah melewati banyak hal. Kayaknya mustahil kalau sampai keduanya bercerai." ujarnya enteng kemudian bertepuk tangan senang saat sahabatnya yang datang membawakan makanan langsung padanya.
"Terimakasih chef Bintang."
"Sama-sama tukang rusuh." setelah mengatakan itu, Bintang masuk kedalam dengan tertawa berhasil juga mengejek Ayya.
Ayya menatap kepergian sahabatnya dengan wajah tertekuk. Menyebalkan.
Dalam diam mereka berdua menikmati makanannya, Ayya memang sengaja memesan nasi goreng bukan makanan berbahan coklat seperti biasanya. Memang menu ini tidak ada, hanya Ayya yang meminta secara cuma-cuma makanya Bintang mengatainya Tukang rusuh.
Mungkin setelah mengetahui fakta tentang mamanya, Ayya akan sering memperhatikannya. Mengamatinya dalam diam seperti yang biasa adiknya lakukan.
Ayya yakin, kata 'cerai' tidak akan pernah ada dalam rumah tangga kedua orangtuanya. Lagian mereka saling mencintai lalu apa ada alasan lain yang membuat kata itu ada?
Ya Ayya yakin. Itu hanya beban pikiran pekerjaan saja makanya mamanya sperti itu.
Dan Zam merasa. Ada sesuatu yang kedua orangtua Ayya sembunyikan.
Zam hanya bisa berharap, keadaan Ayya akan baik-baik saja jika seandainya nanti sesuatu terjadi pada keduanya. Tidak ada yang tau bagaimana takdir bukan? Tetapi setidaknya bukankah lebih baik berjaga-jaga?