14 - Kerjaan

2040 Words
Tumpukan kertas berserakan di mejanya, dan hembusan napasnya terus saja terdengar beberapa kali. Matanya mengedar menatap ruangannya yang sudah seperti kapal pecah. Semalam, setelah mengantar Ayya. Bukannya langsung ke kantor. Zam malah pulang dan istirahat dan baru ke kantor pagi ini, tercengang mendengar apa yang sahabatnya katakan. "Kayaknya papa tiri kamu engga main-main jadiin kita saingan, Zam. Project incaran kita selama setahun dia ambil dalam sekejap, padahal dia tau itu ingin kita ambil sejak lama. Entah ada apa dengannya, apa harus bersaingan dengan anak sendiri?" Zam menghempaskan tubuhnya di sofa, Marcel ia minta pulang untuk istirahat dan akan pulang kemari lagi sore nanti. Sejak membangun perusahaan ini, Derax, papa tirinya memang sangat tidak setuju. "Kamua sudah besar, Zam. Kami akan bercerai dan membangun keluarga sendiri-sendiri. Mama engga bisa tinggal dirumah seperti ini, mama ingin mendapatkan pemimpin keluarga yang mempunyai banyak uang." Masa lalu begitu kelam, Zam lelah dengan semua ini. "Katakan mama jahat karena meninggalkan papamu dititik paling terburuknya demi uang. Tapi perempuan mana yang bisa hidup dengan kekurangan sebesar ini?" Ada banyak perempuan yang Setia pada suaminya walaupun suaminya bangkrut sekalipun, sayangnya mamanya tidak bisa bersabar. Memilih pergi dengan tangisan Adela yang menggema tanpa belas kasih sama sekali. Project itu adalah incarannya selama setahun, Zam bahkan rela lembur selama 2 bulan demi membuat proposal yang akan diajukan ke pihak bersangkutan tetapi dengan entengnya orang itu mengambilnya, mematahkan harapan Zam. Perusahaannya memang sudah termasuk perusahaan diincar banyak orang, kerjasama yang lumayan banyak. Tapi Zam membutuhkan perusahaan besar untuk semakin mengembangkan. Sudahlah, Zam akan berhenti berandai. Ia akan mencoba bersabar demi menghargai laki-laki itu sebagai papa tirinya. Dengan wajah lelah, Zam memungut semua kertas yang berserakah menjadikannya satu tempat di meja kerjanya. Ia akan mulai melupakan project itu dan memulai bekerja seperti biasanya. Di dunia bisnis hal seperti ini sudah biasa jadi Zam akan menanggap ini hal biasa. Ia harus mengurus sesuatu yang akan ia luncurkan dalam beberapa bulan kedepan, semangatnya kembali. Ya! Zam harus fokus ke peluncurannya beberapa bulan kedepan. Merasa ruangannya sudah cukup rapi, ia kembali berkutat dengan laptop. Mengurus kerjasama yang masuk dan menandatangi beberapa pembaruan dari para karyawannya. Masih banyak waktu. Masih ada besok,lusa dan masa depan. Kalaupun ada harus gagal lagi maka Zam harus bangkit kembali, mimpinya banyak dan tidak akan pernah menyerah hanya karena satu alasan sepele seperti ini. Ada papanya yang harus ia buat bangga. Ada Ayya yang harus tetap ia buat bahagia. Mengingat tentang Ayya membuat senyum Zam mengembang. *** "Alayya! Mama selalu bilang ka-" "Stop! Aku lagi makan, ngomelnya nanti dulu." Tessa duduk kembali, mencoba meredam amarahnya. Masalahnya, Ayya itu kalau sehabis mandi pakaiannya dibiarkan berserakah di lantai kamarnya, tidak disimpan di keranjang cucian, sikapnya masih kekanak-kanakan sekali. "Kamu juga! Kapan selesainya kuliah kalau kerjaannya nanjak terus." marahnya pada Panji. "Pa, mama sudah papa kasih uang bulanan kan? Kok pagi ini ngomel-ngomel terus." Kenan mengangguk, "sudah, setiap tanggal 1,papa sudah transfer ke rekeningnya. Mungkin mama kamu lagi capek, capek ngurusin dua bayi yang engga mau gede sama sekali. Papa sudah selesai, kalian jangan buat mama makin kesal. Engga dikasi jatah makan. Papa engga nolongin." Setelah menghabiskan kopinya, Kenan meraih tas jinjingnya, dengan sigap Tessa menyalami tangan suaminya dan Kenan mengecup kening istrinya, guna memperlihatkan pada kedua anaknya jika mereka berdua adalah suami-istri yang saling mencintai sampai maut memisahkan. "Kita terasa jadi obat nyamuk." sindir Panji yang diiyakan oleh Ayya. "Papa berangkat dulu," setelah melihat kedua anaknya mengangguk, Kenan berlalu. Tessa kembali duduk, mengamati kedua anaknya. "Kenapa Ma? Ada masalah?" tanya Panji, ia memang sudah selesai makan semenit lalu. "Engga, cuman akhir-akhir ini banyak kerjaan jadinya kepala agak pening." Panji menatap khawatir mamanya, "engga papa sayang, kamu berangkat sana nanti telat." lanjut Tessa lagi. Dengan wajah tak rela, Panji memakai tas ranselnya dan keluar juga. Kini tinggal Ayya dan Tessa di meja makan, dalam diam Tessa mengumpulkan piring kotor dan langsung mencucinya. "Mama kalau capek istirahat aja hari ini, sehari engga ke butik engga papa kan?" "Tidak masalah. Cuman lusa mama harus keluar kota ngurus cabang." Ayya tidak bersuara lagi, memilih pamit karena sejak tadi Kinta memintanya untuk cepat datang, ingin membeli bahan karena persediaannya makin menipis. Selepas kepergian semua orang, Tessa duduk dimeja makan meninggalkan tumpukan piring yang diminta dicuci. Ia muak sperti ini, ia ingin berteriak didepan kedua anaknya bahwasanya rumah tangganya sudah tidak dapat di selamatkan lagi. Tessa kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, setelah semua selesai ia segera bersiap-siap menuju pemakaman. Ya, dia akan mengunjungi makam Arinka. Setelah 15 menit mengemudi, Tessa sampai. Hari yang masih terbilang pagi membuat pemakaman masih sepi padahal biasanya jika Tessa kemari akan ada beberapa orang yang datang bersamaan dengannya, bedanya mereka membawa bunga sedang Tessa tidak sama sekali. Hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk, nama Arinka langsung tertera disana. "Hai, selamat pagi. Seperti biasa, aku selalu datang disetiap tanggal 12 setiap bulannya. Kamu kesepian? Kamu sedih dengan kecelakaan mengerikan itu?" Tidak ada jawaban, Tessa tertawa pelan. "Ayya-mu. Ayya-mu tumbuh menjadi perempuan periang, sederhana dan sangat suka akan coklat. Hahah, aku selalu mengatakan ini setiap datang kemari. Tapi jangan bosan ya Arinka, soalnya yang tau faktanya cuman kamu." "Coba saja kalian tidak melakukan kesalahan malam itu dan Ayya-mu tidak hadir sama sekali, mungkin kamu sudah bahagia dengan keluargamu, dan aku bahagia dengan keluargaku sendiri. Dan aku tidak akan pernah mempermasalahkan persahabatan kalian itu." "Arinka, maaf. Aku hanya ingin egois mempertahankan keluargaku. Lagian, aku merawat anakmu dengan baik, memberinya kasih sayang meskipun sebenarnya aku sangat ingin menyingkirkannya sejak ia datang kerumah kami." "Maaf, jika suatu hari nanti kamu harus bertemu dengannya di sana. Mungkin karena rasa kasihanku sudah diambang batas dan muak melihat wajah bahagianya diatas penderitaanku." Tessa terus berbicara tanpa henti, sudah menjadi kebiasannya terus datang kemari. Bertemu dengan makam Arinka, mengeluarkan isi hatinya. "Kamu itu baik, Arinka. Merelakan Cinta pertamamu demi teman singkatmu. Bagaimana ya, posisi yang harusnya kamu isi malah aku yang merenggutnya. Bukannya merasa terkhianati kamu malah memberikan senyuman padaku, memintaku menjaganya dengan baik." "Arinka, katanya kamu kuat. Hahahah," Tangannya dengan gemetar mengusap ukiran nama Arinka Mardatha disana. Perempuan cantik, anggun, lemah lembut dan begitu besar hati mengikhlaskan Kenan untuknya. "24 tahun, waktu yang sangat lama bukan?" tanyanya dengan suara pelan. Tessa menoleh kebelakang, serasa ada seseorang yang memotret kemari. Ia mencoba acuh, mungkin saja itu hanya ilusinya karena akhir-akhir ini kepalanya cukup pening melihat pesanan gaun yang begitu banyak. "Arinka, nama Indah namun harus berakhir mengenaskan dan meninggalkan anaknya sendirian. Apakah wajah cantikmu berubah menjadi sedih? Apakah wajah cantikmu berubah menjadi jelek setelah kecelakaan itu? Jujur saja, aku menyesal tidak melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya. Apakah tetap cantik terbujur kaku atau berubah karena bersimbah darah?" Merasa pemakaman mulai ramai, Tessa berdiri dan meninggalkan makam Arinka tanpa kata 'selamat tinggal' menurutnya kata itu tidak perlu, karena Tessa akan terus menerus datang di setiap tanggal 12. Membicarakan pembahasan yang sama setiap harinya. Memakai kacamata hitamnya, Ia memasuki mobilnya, tetapi ia terhenti sejenak. Suara potretan kembali terdengar membuat Tessa mengedarkan pandangannya mencari suara itu, yang ada disini cukup banyak orang mengingat pemakaman yang cukup luas dan memang diperuntukkan untuk orang kalangan atas. Bersih dan terawat. Aman dan tidak mencekam sama sekali. Tidak pernah sekalipun dalam sehari makam ini sepi, selalu ada yang datang. Tessa menatap perempuan berpakaian rapi di tak jauh darinya sedang berjalan dengan ponsel ditangannya dan ada beberapa orang di belakangnya. Mungkin tadi itu hanyalah ilusinya saja. Merasa tidak mempunyai kepentingan lagi, Tessa membuka pintu mobilnya dan pergi. Ada banyak pekerjaan yang menunggunya, Kenan memang masih memberinya uang, memberikan berbagai fasilitas mewah padanya. Akan tetapi, ia harus bekerja. Bisa saja Kenan secara mendadak memberikan surat perceraian padanya. Tessa hanyalah korban atas kesalahan dimasa lalu, dipaksa terus menerus kuat padahal aslinya tidak kuat sama sekali. *** "Mama ingin kamu hidup tanpa penyesalan Kenan, Ayya dan Panji butuh jalan pulang. Apa kata mereka berdua jika nantinya tau kalau pernikahan kedua orangtuanya sudah lama hancur." Kenan diam, baginya kebahagiaan kedua anaknya adalah paling utama. "Lupakan sahabat kamu itu, 24 tahun Kenan, 24 tahun dan kamu masih di berada dalam lingkup penyesalan?" Kenan menyibukkan dirinya dengan fokus mengetik di komputer, mengabaikan suara mamanya dari ponsel sana. "Ayya adalah pewaris utama mama disini, walaupun dia perempuan tapi mama akan menjadikannya pewaris atas semua harta yang mama punya dimanapun itu. Kalau sampai mama mendengar Ayya terguncang setelah itu, atau sesuatu terjadi padanya. Mama tidak akan segan-segan membawanya kemari, dan memaksanya lupa dengan keluarganya." "MA! Jangan egois." "Ingat! Ayya adalah berlian yang harus terus menerus kamu bahagiakan apapun caranya. Mama tidak masalah jika memang kamu ingin menggugat cerai Tessa, tapi Ayya. Jangan menyakitinya," Kenan mengabaikan pekerjaannya dan menatap mamanya di layar ponsel mahalnya. "Anak aku bukan hanya Ayya." "Mama yang lebih tau segalanya. Tegas Kenan, lagian kan kamu punya hanya usaha dan suskes semua. Jika itu diberikan pada Panji, tidak akan habis walaupun istrinya 7." Kenan terdiam, menatap kosong dinding yang bercat berwarna coklat itu. "Tessa hari ini datang mengunjungi makam Arinka, kurasa dia benar-benar sudah gila." Kenan memijat keningnya. "Berhenti memata-matai kami, Ma. Biarkan aku yang mengurus keluargaku, lagian mama bisa lihat sendiri betapa bahagianya Ayya sekarang, betapa periangnya dia. Bukankah itu sudah lebih dari cukup membuat mama puas?" "Mama ingin Ayya bahagia, untungnya laki-laki yang dicintai bisa di andalkan. Walaupun keluarga nya benar-benar berantakan tapi otaknya cukup cerdas." "BERHENTI MENCARI TAU, MA." teriaknya kesal, suaranya menggema dalam ruangan dan untungnya ruangan ini kedap suara. "Apapun yang berurusan dengan Ayya akan mama ikut cari tau. Setelah ini mama akan memberikan pelajaran pada Derax karena telah membuat calon mantu mama frustasi. Berani-beraninya dia menyakiti laki-laki yang cucuku cintai." Merasa kelakuan mamanya makin gila, Kenan mematikan sambungan telepon tanpa mengatakan apapun. Ia lelah, lelah dengan sikap mamanya yang selalu saja ikut campur dengan urusannya hingga saat ini. Ya, mamanya segila itu jika sudah menyangkut soal Ayya. Apapun tentang Ayya akan mamanya urusi bahkan tentang Zam sekalipun. Jangkauan mamanya di dunia bisnis cukup luas, dan Kenan tidak tau apa yang akan terjadi pada Derax setelah ini. Oh mungkin, mungkin rugi beberapa miliyar. *** "Kenapa Ay?" tidak jawaban, Ayya malah sibuk menatap kumpulan semut yang ada dimeja, sepertinya yang duduk disana sudah keluar sejak bermenit-menit lalu, dan ada beberapa tetes minumannya yang jatuh ke meja. Merasa tidak pedulikan, Bintang lebih memilih masuk. Pagi ini ia agak terlambat datang karena suaminya memintanya memasakkan makanan untuk dibawa ke kantor, katanya lebih nyaman bawa bekal dari rumah, tentunya dengan senang hati mengiyakan. Ayya masih sibuk menatap semut itu, beberapa menit kemudian memilih menyusul Bintang yang sudah masuk kedalam ruangan bersama mereka. "Kata Bintang kamu liatin semut, apalagi yang ada di otak anehmu itu?" tanya Kinta setelah Melihat Ayya masuk kedalam ruangan. "Kayaknya aku pengen buka peternakan semut deh." Kinta menyesal telah bertanya. Sedang Bintang sibuk meredakan tawanya, memang menyenangkan mempunyai sahabat seperti Ayya, rasanya happy terus. "Mereka kasihan, mau makan aja harus nunggu manusia pergi dulu itupun makanan sisa." Ayya kembali bersuara. "Bodo." ketus Kinta, memilih fokus pada makanannya. Ia memang baru makan pagi, soalnya tadi terlambat bangun. Untung kerjanya nyantai jadi tidak perlu takut dimarahi sama atasan, ehh Ayya kayaknya tidak pernah memarahinya seterlambat apapun dirinya. Bintang masih tertawa kecil, melirik jam. Biasanya pengujung mulai ramai jam segini. "Aku kedapur dulu, kalau mau bahas tentang peternakan semut mending bahasnya sama Zam deh, Ay. Kayaknya hanya dia yang tidak mempermasalahkan apapun yang kamu pikirkan, bucinnya sudah tidak tertolong." tawanya masih terdengar, tapi langkah Bintang sudah menjauh, pikiran sahabatnya memang sangatlah luar biasa sekali. Ayya duduk di samping Kinta, sedang sibuk makan dengan sepiring nasi kuning serta lauk yang begitu menggiurkan, Ayya jadi lapar lagi padahal dirumah tadi ia makannya banyak, masakan mamanya juga sangatlah enak. "Mau?" "Iya dong, lapar lagi." Kinta sedikit menunduk, mengambil kresek hitam dan memberikannya pada Ayya. Bertahun-tahun bersahabat pastinya ia sudah hapal kalau Ayya itu sangat mudah lapar, apalagi kalau makanan seperti ini. "Thank you, Kinta sayang." ujarnya riang, berjalan keluar menuju dapur untuk mengambil piring. Kinta memang ketus, judes dan kadang omongannya bikin sakit hati. Tapi jangan tanyakan padanya tentang betapa banyak ia tau tentang kedua sahabatnya. Ia sangat hapal kebiasaan keduanya, dan hanya Kinta demikian. Sahabatnya kembali dengan piring kosong serta dua gelas minuman dingin yang memamg sengaja Ayya ambil di dapur. Keduanya makan dalam diam, mengisi tenaga karena setelah ini akan sibuk berkutat dengan restoran serta akan keluar membeli bahan yang kurang. Bekerja dengan sahabat itu menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD