Ayya menatap malas perempuan yang ada didekat! Zam, cantik sih cantik tapi kelakuannya dekat terus dengan Zam. Lihatlah sekarang, Zam sedang bekerja tapi dia malah bercerita terus menerus didekatnya.
"Benar Zam, serius. Marcel kemarin bilang sama aku. Gimana? Mumpung aku masih dapat cuti selama seminggu."
Rasanya Ayya ingin pergi dari ruangan ini. Pengap rasanya.
"Zam! Aku pengen kita liburan sekarang. Marcel bersedia menyediakan tiket untuk kita, ikut ya Zam."
Ia memeriksa ponselnya, andaikan Ayya tau ada Sandita disini maka Ayya akan lebih memilih datang ke restoran, menganggu Kinta seperti biasanya.
Sandita, itulah nama panggilannya. Perempuan berprofesi sebagai model itu adalah sahabat Zam, sedang Marcel juga adalah sahabatnya. Coba saja Ayya tidak mengikuti keinginan Zam, Bagus bukan?
"Engga bisa, aku ada janji dengan Ayya."
Dengan cepat Ayya menegakkan badannya, tersenyum manis saat Sandita menatapnya.
"Kalian mau kemana?" dan Ayya tau pertanyaan itu diperuntukkan untuknya.
"Mau jalan ke tempat penting aja sih kak, kalau memang kakak mau habiskan waktu bareng kak Zam mungkin aku bisa nunda aja. Lagian aku engga terlalu buru-buru, masih banyak waktu, beda dengan kak Dita yang harus mengajukan cuti dulu."
Zam berdiri dengan cepat, "engga, aku engga setuju. Kamu mending balik aja, kamu bareng Marcel liburannya nanti aku yang telepon."
"Yaudah, Ayya ikut aja. Mau kan?" boleh engga sih teriakan orang tanpa sungkan sama sekali?
"Makasih kak, aku ada urusan. Yaudah, aku pamit dulu." Ayya menampilkan senyuman manisnya, kemudian berlalu dari ruang kerja Zam.
Pagi tadi, Zam menghubunginya katanya ingin ditemani ke suatu tempat tapi sepertinya harus ditunda karena si Dita sok cantik itu datang kemari, dengan wajah sebal ia berjalan meninggalkan kantor Zam.
"Ayya!"
"Ehh kak Dion, apa kabar?" lakilaki tampan itu refleks memeluk Ayya, hanya sepersekian detik saja.
"Baik banget, tambah baik pas ketemu sama kamu." Ayya tertawa pelan, duh senangnya dipuji.
"Kak Dion makin ganteng aja, gimana kalau kita bicara diluar aja? Kangen tau."
Dion, seniornya sewaktu kuliah dulu dan termasuk cukup dengannya.
"Boleh, kebetulan aku mau keluar beli sesuatu. Kamu habis darimana? Masih sama Zam?"
"Masih sama dalam artian apa ini? Engga kok kak. Kami hanya dekat saja, sebenarnya sudah janji jalan-jalan cuman kak Dita dateng, cancel deh."
Keduanya berjalan beriringan menuju kantin kantor, sudah lama tidak bertemu.
"Kalian engga pacaran? Dari zaman kuliah kayaknya sudah dekat tapi masih ngambang. Coba kamu menerimaku saat itu, pasti sekarang sudah kulamar." Ayya tertawa pelan, itukan permasalahan beberapa tahun lalu.
"Itukan aku mau fokus ngurus tugas kak, ehh! Kak Dion udah pacar belum?"
"Belum, aku nungguin kamu." ia tertawa pelan, padahal Ayya engga cantik-cantik amat tapi kenapa banyak yang suka ya? Akhir-akhir ini juga sering bertemu dengan beberapa orang yang pernah menyatakan perasaan padanya.
Ayya duduk diikuti Dion disampingnya, padahalkan ada kursi diseberang meja jadinya bisa saling berhadapan, tapi laki-laki disampingnya malah memilih disamping nya. Apa Ayya beneran cantik, bisa membuat laki-laki benar bucin pada nya?
"Makan apa kita?"
"Kak Dion maunya makan apaan? Katanya tadi mau beli sesuatu."
Dion tidak menjawab, ia melambaikan tangannya dan salah satu pelayan datang padanya.
"Aku mau nasi goreng plus minumannya air putih aja, yang dingin tapi."
"Itu aja?"
"Iya kak, itu aja."
"Samain aja ya,
"Baik, silahkan ditunggu."
Dion menoleh kesamping, membicarakan kejujuran maka dengan senang hati Dion mengatakan Ayya itu cantik, ceria dan bisa membuat banyak lakilaki dekat padanya karena sikap persahabatannya itu, mudah akrab walaupun hanya bertemu sesekali.
Perasaannya pada perempuan ramah ini masih sama, tetapi mengenai mendapatkannya maka Dion sudah menyerah sejak lama, menurutnya, Ayya itu sudah menjadi milik Zam sejak lama. Tapi tidak mengapa dekat begini, orangnya begitu welcome.
"Tadinya mau pulang, tapi ketemu sama kak Dion."
"Mau kemana memangnya? Mau kutemani?"
"Boleh, itupun kalau kak Dion engga sibuk."
"Engga, kerjaan udah selesai semuanya. Selesai makan nanti kita langsung jalan ya,"
"Siap kak."
***
"Zam! Kamu mau kemana?" Zam tidak mempedulikan panggilan itu, harusnya ia keluar bersama dengan Ayya bukan malah mendengarkan celotehan Sandita yang tiada habisnya.
"Zam! Apaansih, kamu mau ngejar Ayya? Aku bela-belain minta cuti sama pihak atasan terus kamu malah sibuk sama dengan Ayya."
Zam masih terus berjalan, tapi langkahnya terhenti melihat Ayya sedang berbicara dengan Dion, Zam tau dan ingat siapa dia. Dia adalah orang yang dulunya selalu mengejar Ayya sewaktu kuliah.
"Itu siapa? Pacar Ayya?" Sandita berdiri disamping Zam, didepan sana Ayya terlihat berbincang dengan Dion menuju kantin kantor.
"Serasi banget, mereka cocok." Zam menatap tajam Sandita, ia tidak suka mendengar Ayya dikatakan cocok dengan lakilaki lain.
"Zam, masa harus diikutin terus." kesalnya, mereka berdua mengikuti Ayya menuju kantin.
"Wow, duduk berdampingan." kedua tangan Zam mengepal, ia tidak suka ketika Ayya tersenyum manis seperti itu pada laki-laki lain, terutama Dion.
Memilih duduk di kursi terdekat, Zam mengamati dari jauh, menatap keduanya dengan hati yang terasa sangat terbakar. Kenapa Ayya tidak menolaknya saja? Kenapa harus dekat seperti itu? Apa mereka berbuat janji sebelumnya?
"Ngapain coba kita disini, Marcel daritadi telepon aku untuk segera datang. Apa kita tunda aja dulu? Bisa besok atau lusa kan aku liburnya seminggu." perempuan berpakaian cantik itu menatap pria disampingnya.
"Zam... Kamu engga dengerin aku?" ulangnya. "Apa sebaiknya kita pesan makanan juga? Kayaknya mereka berdua sedang makan sambil berbincang gitu. Apa disini ada semacam sandwich?" gumamnya.
"Zam? Itu mata kamu mau kemana? Begitu banget liatnya." Zam menghembuskan napasnya kasar, perempuan penyuka cokelat itu sangat terbuka kepada semua orang.
"Ehh mau ke-" Sandita menghentikan panggilannya, Zam itu sudah Cinta mati sama Ayya. Tapi tidak mengapa, setidaknya Perasaannya masih baik-baik saja.
Walaupun perasaannya sudah lama ada, tapi apa boleh buat. Yang selalu terlihat dimata Zam hanyalah Ayya, Ayya dan Ayya. Lihatlah sekarang, Zam begitu panas melihat Ayya bersama lakilaki lain.
"Katanya mau pulang,"
Tawa Ayya dan Dion terhenti, mendongak secara bersamaan menatap Zam yang tiba-tiba datang.
"Kak Zam? Loh! Bukannya mau keluar bareng kak Sandita? Kok disini?" sapa Ayya heran, minum dengan cepat dan berdiri di samping Zam.
"Ada apa? Kak Dita kok engga keluar?" Ayya menatap Sandita yang dibalas perempuan itu dengan gelengan pasrah.
Walaupun Ayya sangat tidak suka dengan Model itu, tetapi kadang kasihan juga. Sesama perempuan pastinya Ayya sangat tau adanya perasaan, tapi apa boleh buat. Ayya saja masih digantung hingga sekarang, entah kapan dikasi kepastian.
"Kamu dekat dengan Dion lagi?"
"Engga kok, cuman engga sengaja ketemu didepan tadi." jawab Ayya cepat.
"Kenapa Zam? Padahalkan gue cuman ngajak Ayya makan dan keluar sebentar setelah ini bukannya ngajak dia ke pelaminan?"
Zam maju kedepan, menatap tajam Dion.
"Ehh kenapa sih? Kok main tatapan segala nanti kalau kalian jatuh Cinta gimana?" di tempatnya Sandita memutar bola matanya malas, Ayya itu memang polos atau kelewatan polos sih?
"Kamu ikut saya ke ruangan."
"Kenapa Zam? Kaliankan hanya berteman, engga papa kan kalau gue ngajak dia keluar? Iyakan Ay? Yuk keluar."
"Engga, kamu ikut saya ke ruangan." Zam mengenggam tangan Ayya erat, menariknya keluar kantin kantor.
Membawanya kembali ke ruangannya, Zam tidak pernah rela melihat Ayya dengan laki-laki lain.
"Kak, apaan sih!" sentaknya kesal, padahalkan Ayya hanya ingin menikmati waktunya dengan Dion, lagian Zam-kan ada urusan dengan Sandita.
"Aku engga suka liat kamu sama Dion."
"Terus kakak pikir, aku suka liat kak Zam bareng kak Dita?"
"Dia itu sahabat aku."
"Terus Dion, dia itu teman lama aku."
"Beda, dia pernah suka sama kamu."
Ayya tertawa pelan, tanpa mengatakan apapun ia berjalan menjauhi Zam membalikkan badannya, berbeda jalur. Terkadang ia membenci perasaannya sendiri jika berada dititik ini, ia tidak suka membahas tentang perasaan karena itu adalah titik paling lemahnya.
Mungkin hari ini adalah hari keberuntungan Ayya, pas keluar langsung menemukan taksi meninggalakan kantor Zam dengan perasaan campur aduk. Memangnya apa salahnya kalau ia dekat dengan Dion? Kalau Zam sendiri bebas dekat dengan perempuan lain maka mengapa Ayya tidak bisa?
"Mba, itu ponselnya bunyi." Ayya tidak menanggapi, hari ini Ayya ingin sendiri menikmati hari liburnya yang mestinya tidak libur sama sekali.
"Sahabat katanya?" tanyanya pada diri sendiri. "Pak, tolong singgah di depan supermarket." lanjutnya, ada baiknya Ayya menikmati setumpuk coklat daripada harus merasakan perasaan entah apa ini.
"Terimakasih." ujarnya, membayangkan betapa enaknya coklat yang akan ia makan membuat Ayya kembali bersemangat. Untuk apa bersedih tentang hal Cinta? Karena itu hanya akan membuat hari yang harusnya Indah malah berakhir dengan keadaan galau, sangat bukan Ayya sekali.
Mendorong pintu supermarket, mata Ayya langsung berbinar senang melihat betapa banyaknya cemilan berbahan coklat. Kadang Ayya bingung, kok bisa ya ada orang yang sangat tidak suka dengan coklat?
Hati kembali senang, masalah tadi terlupakan.
Begitulah cara Ayya menjalani kesehariannya setiap ada masalah dengan Zam, melupakannya dengan cepat dan menganggap semuanya tidak terjadi sama sekali.
Kok bisa Ayya tidak cemburu secara berlebihan?
Mereka berdua sudah dekat sangat lama, situasi seperti ini sudah Ayya hapal diluar kepala. Palingan sekarang, Zam akan meminta Sandita pergi dan laki-laki itu akan datang kepadanya, memohon maaf atas perkataannya tadi.
Ayya hanya bisa memaklumi setiap hal yang datang, pernah sih difase benar-benar kecewa tapikan Zam itu melakukan hal seperti itu berulang kali, jadinya sudah sangat terbiasa menurutnya. Hal biasa dikecewakan.
"Ayya?"
"Astagaa! Fano? Ihh beneran Fano. Kamu apa kabar?" dengan beberapa cemilan ditangannya, Ayya mendekati laki-laki yang dipanggilnya tadi. Teman sekelasnya sewaktu SMA dulu.
"Kamu makin cantik aja Ay, nikah yuk."
Andaikan tangan Ayya tidak penuh makanan mungkin ia sudah memukul pundak temannya itu, bercandanya memang begini dari dulu, mudah-mudahan tidak bertemu Zam.
"Bisa aja kamu, gimana sama doi kamu, sama dia Kan?"
"Masih kok, omongan yang tadi hanya bercanda aja sih. Kamu dateng ke pernikahanku,calonku bakal ngamuk kalau kamu beneran engga datang."
"Yaiyalah datang, kalian berdua kan bestie ku sejak dulu. Dahlah, aku mau cepat-cepat pulang, capek." Fano terkekeh, Ayya itu ya Ayya sikapnya ya gini. Susah menjabarkannya.
"Minta nomormu dong, Ay."
"Jangan deh, takutnya Doi salah paham lagi sperti dulu. Nanti aku dm dia aja lewat i********:,pamit duluan." membayarnya, dan berjalan keluar. Rumahnya sudah dekat sini, jadinya tidak perlu butuh taksi.
"Ay!"
"Ya?"
"Jangan kangen ya," Ayya tertawa pelan mendengar perkataan Fano, padahal sebentar lagi menikah malah berbicara seperti itu, engga takut apa calonnya salah paham?
Ayya membalas bunyian klakson mobil Fano dengan lambaikan tangan disertai senyuman manisnya, setelahnya kembali berjalan, tinggal beberapa meter lagi.
"Aku sperti orang gila cari kamu kesana kemari, dan disini kamu malah senyum manis ke laki-laki lain?" Ayya mendengus kesal, dahlah males.
"Ayya, aku kan berulang kali bilang. Kebiasaan kamu itu terlalu berlebihan, bisa engga sih engga terlalu terbuka dengan lakilaki lain? Kamu membuat aku takut."
Itu hanyalah angin lalu bagi Ayya, males pusing.
"Astagfirullah, Ayya!" Zam mengacak rambutnya frustasi, menatap Ayya dengan pandangan pasrah.
"Aku engga mau kamu dekat dengan laki-laki manapun, aku engga suka. Tadi itu siapa lagi? Kamu bikin aku engga tenang, baru sehari sudah bertemu dua laki-laki yang kamu sambut dengan baik. Kamu anggap aku apa sih?"
Ayya menghentikan langkahnya, menatap Zam yang sejak tadi mengikutinya.
"Pertama, tadi itu temanku pas SMA. Kedua, aku engga pernah minta kak Zam untuk khawatir dan yang terakhir. Bukankah selama ini kita hanya sebatas teman dekat? Kakak-adik sperti sewaktu kuliah dulu. Kita hanya teman, Bukan sepasang suami-istri, bukan sepasang pacaran, bukan sepasang tunangan. Jadi terserah aku dong mau dekat dengan siapa? Kita kan hanya teman."
Setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, Ayya melanjutkan langkahnya meninggalkan Zam yang mematung di tempatnya.
Kenapa rasanya sakit sekali saat Ayya mengatakan mereka berdua hanyalah sebatas teman dekat saja?
Kenapa hatinya tidak menerima semuanya? Bukankah Ayya benar, mereka berdua hanyalah teman jadi bersikaplah sebagaimana teman memperlakukan temannya..