7 - Si Ramah

1807 Words
Setelah memastikan Zam tidak mengikutinya lagi, Ayya masuk kedalam kamarnya menyimpan belanjaannya disudut kamar dan duduk ditepi ranjang. Ia kembali mengingat apa yang ia sebutkan tadi, apa akhirnya Ayya sampai di titik lelah ya? "Pertama, tadi itu temanku pas SMA. Kedua, aku engga pernah minta kak Zam untuk khawatir dan yang terakhir. Bukankah selama ini kita hanya sebatas teman dekat? Kakak-adik sperti sewaktu kuliah dulu. Kita hanya teman, Bukan sepasang suami-istri, bukan sepasang pacaran, bukan sepasang tunangan. Jadi terserah aku dong mau dekat dengan siapa? Kita kan hanya teman." Ayya mengigit ujung kukunya gelisah, duh! Darimana dirinya mengambil keberanian menyebutkan semua itu? Ayya sudah sperti perempuan sedang cemburu engga sih? Ayya mengayunkan kakinya ke kanan dan kekiri dengan gelisah, salah kan. Pikiran darimana itu kenapa bisa seberani tadi, apa Zam akan menjauhinya? Tidak dan tidak. Ayya menggelengkan kepalanya beberapa kali, sudah berapa kali ia dan Zam melalui fase seperti tadi hanya saja tadi itu sedikit keterlaluan. Ayya menunduk menatap kebawah, kaos kakinya masih terpasang dengan baik. Padahal Ayya berharap Zam terus mengejarnya sampai rumah seperti tadi. Walaupun sebetulnya Ayya sedikit was-was, takutnya Zam benar-benar mengikutinya sampai rumah. Ia memukul pelan kepalanya, maunya apa sih sebenarnya? Ayya berdiri, berjalan ke belakang dan kedepan. "Astagfirullah, kepalaku pening liat kelakuan kak Ayya sejak tadi." gerutu seseorang. Ayya membalikkan badannya cepat menatap orang yang membuatnya was-was, takutnya Zam beneran kemari dan bertemu dengan Adelia, ia Adelia. Orang itu sejak tadi ada dikamarnya hanya saja memilih mengamatinya saja. Mungkin karena benar-benar sudah lelah makanya bersuara, memang kelakuannya aneh ya? "Kenapa kak? Ada masalah di restoran? Atau ehh! Bukannya tadi kak Ayya bilang mau jalan bareng kak Zam, kok cepat banget pulangnya." Mengingat tentang jalan bareng membuat Ayya kembali kesal, kenapa juga Sandita harus datang seperti tadi. "Atau jangan-jangan kak Dita dateng terus gagalin rencana kalian? Model itu sikapnya sebenarnya Bagus sih kak, cuman caranya ke kak Zam terlalu berlebihan. Untung aku jarang ketemu sama dia." Adelia menarik guling, memangkunya dengan mata memandang Ayya. Pertama kali bertemu dengan Ayya,Adelia langsung suka. Orangnya sangat ceria, sederhana, dan apa adanya. Tidak seperti sahabat kakaknya yang satu itu, selalu saja mengajaknya ke salon, belanja, berbicara tentang fashion membuat Adelia muak. "Kak Dita juga mau ngajak aku juga, cuman aku males. Males pake banget, membayangkan mereka jalan didepanku sambil pegangan tangan. Iuuhh! Panas hati." kata Ayya dengan wajah malas, membuat Adel tertawa terbahak-bahak. Serasa kakak kandung sendiri. "Kakak kamu tadi marah-marah pas liat aku bareng kak Dion di kantin kantor, terus aku bilang sama dia. Emangnya aku engga marah gitu pas dia bareng Kak Dita, terus dia bilang kami sahabatan. Alaaah sahabatan katanya, bikin males makanya aku milih pulang." Adelia berdecak kesal melihat kelakuan kakaknya yang sangat kurang peka, rasanya malu punya abang sperti itu. "Terus kan ya, aku ketemu temen juga di supermarket dan kakak kamu ternyata nyusul dan marah-marah. Katanya aku terlalu banyak teman cowok, aku bilang sama dia. Kami itu hanya temenan, bukan pasangan, bukan pacaran atau tunangan terus tinggalin dia. Enak aja seenaknya." Adelia membulatkan matanya, wow akhirnya Ayya punya keberanian juga. Dia berdiri mendekati Ayya dan memeluknya erat. "Kak Ayya, kamu luar biasa. Amazing." keduanya sama-sama tertawa. Ting. Tawa keduanya terhenti, menatap ponsel Adelia yang baru saja berbunyi. "Angkat ponsel gih, aku ke dapur dulu membuat minuman. Tadi aku mampir membeli jajanan," Ayya berlalu ke dapur meninggalkan Adelia yang terpaku menatap ponselnya. Ponselnya kembali berbunyi tetapi Adelia memilih menyalakan mode diamnya, menyimpan ponselnya dibawah bantal. Lebih membahagiakan tinggal dengan Ayya, keluarganya menerima Adelia dengan baik. "Karena yang tersedia hanyalah jus jeruk jadinya aku cukup menuangkannya di gelas." wajah Adel kembali ceria, kenapa harus sedih kalau ada Ayya yang selalu memberikan kebahagiaan untuknya? "Kayaknya kakak kamu kepikiran deh, bentar aku telepon dulu." Sembari Ayya sibuk mengambil ponselnya, Adelia mengusap sudut matanya cepat. Kembali tersenyum saat Ayya kembali mengarah padanya. "Kamu jangan ribut dulu." "Okey." Nada dering telepon masih tersambung, tak lama kemudian suara Zam terdengar. "Aku kira kamu beneran marah sama aku. Maaf ya, nanti malam kita keluar bareng ketemu sama Adel, barusan papa aku telepon dia tapi katanya engga diangkat sama sekali." Ayya melirik Adelia yang kini menunduk, ia tidak bisa lama-lama berbohong dengan Zam. "Adelia ada dirumahku, sudah beberapa hari." ia menatap Ayya dengan cepat, pertanda keberatan. "Bareng sama kamu? Sekarang dia sama kamu? Alhamdulillah. Tadi selepas ketemu sama kamu, aku mampir ke tempatnya tapi katanya dia diusir disana. Mana mungkin Adelia sampai dititik itu kan?" "Adel, jawab." "Maaf kak, kemarin aku dibully sama teman lama dan uang yang seharusnya bayar kost malah mereka ambil semua. Mau ketemu kalian tapi engga mau, aku maunya mandiri." "Dek, kami tidak pernah menanggap kamu beban sama sekali. Nanti aku jemput kamu kesana, dari kemarin mama Meira bahas kamu terus katanya khawatir. Pengen ketemu kamu takutnya kamu malah engga suka, kalau memang kamu tidak mau bertemu dengan mereka tidak papa. Kamu kerumah kakak aja ya." "Iya." Adelia membaringkan badannya setelah menjawab, membelakangi Ayya. "Kamu jangan terlalu keras sama Adel, aku engga suka." "Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padanya. Dia satu-satunya keluargaku sekarang, mana mungkin aku seabai itu pada adik kandungku sendiri?" Ayya bungkam, ia paling tidak suka ketika harus membahas hal seperti ini. "Maaf, aku terbawa suasana." "Engga mau tau, pokoknya kak Zam harus bawain Ayya coklat yang banyak, titik." Setelah mematikan sambungan telepon Ayya terkikik geli, menatap Adelia yang terlihat sedih. "Gimana kalau kak Ayya nikah sama Kak Zam aja dalam waktu dekat, aku janji akan menerima uang kalian dan akan kuliah. Gimana?" ujar Adelia dengan wajah ceria, Ayya menggoyangkan telunjuknya didepan wajah sumringah Adel sembari mengatakan kata 'no' "Kalian kapan nikah sih, ngambang terus entah kapan naik pelaminan. Cakep tau, kalau kalian nikah jadinya aku engga perlu sungkan sama kak Ayya lagi, kan sama kakak ipar sendiri." Curhat Adelia, bukannya menganggapi Ayya malah sibuk membuka bungkusan jajanan dan memakannya dengan lahap. Coklat yang dimakannya enak sekali, membuat pikirannya langsung jernih kembali. Adelia menepuk jidatnya pelan, masalahnya adalah ketika Ayya sudah berurusan dengan coklat maka dunianya hanyalah miliknya dan coklat yang dimakannya. Merasa akan dikacangin hingga beberapa jam kedepan, Adelia mengambil ponselnya. Ada 15 panggilan tak terjawab dari papanya. 5 dari kakaknya. 20 pesan dari mama sambungnya. Dan 1 pesan dari mama kandungnya. Adelia memilih membuka pesan dari perempuan yang melahirkannya dan wajahnya langsung kecewa saat membacanya. Mama. Pulang, jangan membuag waktu berharga mama untuk menghadapi sikap kekanak-kanakkanmu. Ia tertawa pelan, memangnya sejak kapan orangtuanya peduli padanya terutama mama kandungnya sendiri. Mama Meira. Adel, harinya gimana? Hai, jangan lupa makan sayang. Kamu sehat kan? Adel, maagnya jangan sampai kambuh. Adel? Hai sayang, baik-baik saja kan? Tadi mama beli sepatu untuk kamu, mudahan cocok, maaf kalau engga suka. Adel? Sehat kan? Sayang, kamu kalau ada masalah bilang ya. Yaudah kalau misalkan butuh sendiri, jaga kesehatan. Dan masih banyak lagi pesan dari mama sambungnya membuat Adelia tersentuh, hanya saja ia merasa tidak enak. Dia terlalu baik, sangat baik. Adelia menyandarkan kepalanya di pundak Ayya, seolah mengerti tangan Ayya terulur menepuk pelan tangan Adelia. Adelia. Aku akan kesana, bermalam beberapa hari. Aku merindukan masakan Mama Meira, terutama tumis kangkungnya. Ayya tersenyum membaca balasan pesan Yang Adelia kirimkan pada mama tirinya itu, rasanya Ayya dapat melihat betapa bahagianya Meira sekarang. Ting. Mama Meira. Benarkah? Mama akan memasakkan makanan kesukaanmu. Keisya pasti sangat senang bertemu denganmu setelah beberapa bulan. "Lihat? Dia sangat baik bukan? Kurasa Keisya sangat beruntung karena memiliki pigur ibu sebaik dia. Sedang aku? Mau menghilang bertahun-tahun pun dia mana peduli." Ayya menggeleng tidak setuju, menegakkan badan Adel dan menatap matanya. "No, jangan pernah mempunyai pemikiran seperti itu. Tante Meira itu sudah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri, anak kandungnya. oke?" "Terimakasih kak Ayya, aku bakalan berusaha bujuk kak Zam supaya kalian segera menikah dalam waktu dekat." "Engga dong, jangan dulu." Adelia berdecak kesal, ini orang dua kapan coba naik pelaminan? "Kak, kalau misalnya aku punya pacar bakalan disidang engga ya sama kak Zam." Ayya tidak menjawab, kembali menikmati coklat yang baru saja dibukanya beberapa detik yang lalu. Adelia kembali berdecak kesal,memilih meninggalkan Ayya sendirian di kamar itu dan menatap sekeliling sepertinya rumah Ayya masih sepi, dan adik Ayya yaitu Panji pasti masih berada di luar. Hidup Ayya sempurna sekali ya, punya keluarga yang sangat sayang padanya. Tidak sepertinya yang harus melihat kedua orangtuanya berpisah padahal di usia itu ia sangat membutuhkan dukungan. Daripada tinggal dengan salah satunya, Adelia memilih tinggal tanpa adanya mereka. Mandiri, dengan kehidupan serba pas-pasan membuat semua orang memandangnya rendah. Padahal kakaknya, Mama tirinya, papa kandungnya, Mama kandungnya dan papa tirinya. Mereka semua adalah orang terpandang, dikenal. "Jahat banget tinggalin aku sendirian dikamar. Ngapain bengong disini? Mama dan papaku masih diluar keknya, Panji? Alah palingan nanjak lagi dia." Ayya keluar kamar dengan menenteng beragam jajanan, melewati Adelia yang mematung didekat tangga dan duduk di ruang tamu. Menyalakan TV, menyetel film kartun kesayangannya. "Orangtua kamu harmonis banget ya, aku jadi iri." Ayya mengangguk senang. "Mereka aman, selalu romantis padahal sudah lama berkeluarga, alhamdulillah." katanya dengan senyum sumringah, Adelia ikut duduk disampingnya. "Kamu itu punya Tante Meira, aku yakin banget sekarang inu dia lagi kelimpungan memasak untuk menyambut kedatanganmu. Tante Meira itu tulus menyanyangimu, sayang sama kamu. Ibu sambung memang terkadang asing, tapi banyak orang yang tidak seberuntung kamu yang mendapatkan kasih sayang seluar biasa itu." Ayya mengunyah coklat kesayangannya, wafer yang berisi coklat dan luarnya dilumuri coklat begitu banyak, rasanya membuat Ayya ingin keluar ke supermarket depan dan membeli lebih banyak lagi. "Iyasih, aku engga tau bagaimana kamu melaluinya pastinyaa engga bakal mudah kan ya. Aku juga hanya bisa terus bicara begini tanpa tau yang kamu rasakan, tapi Adel. Kamu ada bukan karena tidak diinginkan, saat itu keluargamu baik-baik saja jadi jangan merasa terbuang ya. Kalau Misal mereka menjauhi kamu, ada aku yang siap menerimamu kapan saja." Adelia tertawa pelan, memeluk singkat Ayya yang membuat empunya mencebik kesal. "Senang liat kak Ayya dewasa begini." Ayya menggumam tak jelas menanggapinya, masa bodo lah. Terkadang, Ayya juga bingung daripada mendapatkan pemikiran seperti tadi karena biasanya ia jarang berpikir berat. Maunya terus menerus santai, menikmati kehidupannya dengan sangat baik. Lagian untuk apa buat kepala pusing, iyakan? Keduanya kembali menonton, awalnya Adelia ingin keberatan karena yang Ayya nonton adalah kartun tetapi mengingat kembali ia hanya menumpang jadinya ia memaklumi, Ayya ingin menerimanya saja itu sudah alhamdulillah sekali. "Kak Ayya tau kan kalau kak Marcel suka sama kak Dita." "Tau, cuman aku engga mau terlalu ikut campur. Cukup Sikap Kinta yang dingin membuatku pusing jangan ditambah lagi." Adelia menahan senyumnya, ia sudah bertemu Kinta beberapa kali. Orangnya cukup judes, dingin, dan males membahas hal yang menurutnya sangat penting, tapi sayangnya Ayya lebih suka membahas Hal tidak penting dengan Kinta. Perempuan itu cantik, anggun. Kadang Adelia bingung bagaimana keduanya bisa sahabatan padahal sikapnya sangatlah berbanding terbalik sekali. "Kak Ayya cantik." "Terimakasih, tapi aku engga haus pujian." Adelia mengembangkan senyumnya, intinya ia hanya akan mengijinkan kakaknya menikah dengan Ayya bukan dengan perempuan manapun. Apapun akan Adelia lakukan untuk membuat mereka berdua bersama-sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD