"Salam kangen, kak Raiden."
"Apa-apaan, kamu engga bilang kangen sama aku." sewot Zam, membalikkan badannya dan berdiri sejajar dengan Ayya.
"Kak Zam yang Apa-apaan, dahlah! Aku kesini bukan mau debat soal gituan. Aku kesini mau ketemu sama Adela dan Tante Meira."
Ayya berjalan lebih dulu masuk kedalam rumah meninggalkan Zam di teras rumah.
"Pulangnya mendadak banget, bang. Mana pas saya ajak kemari lagi, sengaja ya?"
"Engga juga. Kasus yang terakhir sudah selesai masa iya saya tinggal disana terus. Saya mana tau kalau kamu ajak Ayya kemari, kan tadi cuma bercanda, posesif kamu engga berubah sama sekali ya?"
"Kak, masa baru ketemu bang Raiden tapi udah berantem?" Adela datang dari dalam rumah, menyela percakapan keduanya.
"Bodo ah bodo." Zam masuk kedalam rumah dengan perasaan dongkol.
Ayya itu kalau ketemu orang mulutnya ringan banget, sesuatu yang engga pernah ia sebutkan padanya malah bebas ia sebutkan ke orang lain. Kangen misalnya, padahalkan Zam juga ingin mendengar Agus mengatakan hal seperti itu padanya.
Raiden Jamaika, adik dari Meira. Bekerja sebagai seorang detektif dan hanya akan pulang beberapa hari setelahnya kembali bekerja. Ia tidak terlalu memusingkan sikap Zam, sudah terlalu terbiasa.
Ia memang meminta keduanya memanggilnya dengan sebutan 'Bang' rasanya itu lebih cocok. Lagian umurnya hanya berbeda beberapa tahun dengan Zam, rasanya terlalu tua kalau dipanggil 'om'.
Ayya itu manis, lucu dan menggemaskan. Cerewetnya kadang membuat Raiden puyeng cara menanggapinya sperti apa, untung ketemunya aja beberapa kali. Tipe perempuan kesukaan Raiden itu sebaliknya dari Ayya, Raiden sukanya perempuan judes, mandiri dan terkesan tegas. Seperti dirinya.
Sore yang menyenangkan, dan besok harus kembali bekerja. Untungnya, kakaknya bahagia dengan keluarga barunya walaupun awalnya Raiden agak keberatan kakaknya menikah dengan orang yang telah memiliki anak, dua lagi. Mana dua-duanya sudah besar pake banget.
Tapi melihat pancaran bahagia kakaknya, perlakuan kakak iparnya pada kakaknya membuat Raiden luluh, lagian kedua anak itu suka pada kakaknya menerimanya dengan tangan terbuka, lalu apalagi yang perlu Raiden permasalahkan?
Masalah tampang?
Kata sebagian orang katanya Raiden cukup tampan tapi Raiden tidak sepede itu. Rasanya mukanya pas-pasan banget.
Ia kembali duduk setelah ketiga orang itu masuk, ia memang kesini setiap selesai menyelsaikan misi menghabiskan waktu dengan kakaknya, kakak ipar dan bertemu dengan mereka berdua. Biasanya Adela jarang hadir, entah kenapa bisa disini.
Oh iya.
Ada satu bidadari cantik yang selalu Raiden rindukan, anak kandung dari kakaknya yaitu Keisya si cantik, wajahnya benar-benar hampir mirip dengan wajah kakaknya.
Raiden terkekeh pelan mendengar didalam sana, Ayya dan Zam masih berdebat kecil tentang sapaan Ayya padanya tadi. Padahal menurutnya itu hanya candaan, kenapa keponakannya terlalu melebihkan? Apakah jatuh Cinta semengerikan itu? Kalau memang seperti itu maka Raiden tak ingin jatuh Cinta.
"Tapikan Ay, selama ini kamu engga pernah bilang kangen sama aku."
"Astagfirullah kak Zam, mulutnya pengen Ayya lakban?"
"Habisnya kamu pilih kasih."
"Pilih kasih gimana sih? Malu dong sama Tante Meira masa kesini cuma berdebat tentang hal sepele gitu. Kangen kan diperuntukkan untuk orang yang sudah lama tidak bertemu, kalau kak Zam untuk apa dikangenin, Ayya mana bisa kangen sama kak Zam kalau kerjaannya tiap hari kayak jailangkung."
"Jadi selama ini kamu engga pernah kangen sama aku?"
"Ya Allah, gini loh kak Zam. Ayya itu mana sempat kangen, baru ketemu terus beberapa jam kemudian kak Zam nelepon, video call. Terus besoknya ngajak ketemu. Really?"
"Engga peka."
"Apaan sih, kenapa bawa-bawa peka segala."
Raiden menggelengkan kepalanya beberapa kali, Cinta kadang membuat kita lupa akan segalanya ya?
"Ehh, kamu sudah datang?" Raiden berdiri cepat, menyalami kakak iparnya yang baru saja pulang kerja.
"Iya kak, siang tadi. Tapi disini cuman semalam paling istirahat aja, besok mau berangkat lagi." jawabnya disertai senyuman.
"Harusnya minta cuti dulu kan kasihan engga ada istirahat. Kakak kamu sering curhat dan engga bisa tidur mikirin kamu yang susah dihubungin, engga bisa cutinya ditambahin?"
"Setelah kasus besok, aku usahain cuti seminggu."
"Gitu dong, kakak kamu kangen punya waktu sama kamu cuman malu bilangnya yaudah saya yang bilang. Anggap rumah sendiri ya, kalau punya masalah atau butuh sandaran saya siap bantu, duluan masuk mau mandi nanti lanjut lagi."
"Iya kak,"
Raiden menatap kepergian kakak iparnya yang menjauh, selalu baik seperti biasanya.
***
"Makan yang banyak ya Ayya, jangan sungkan." pinta Meira dengan suara lemah lembutnya.
"Siap Tante, habis ini aku nambah lagi, tenang aja."
Semua yang ada di meja makan tertawa pelan, senang karena ada Ayya yang bisa meramaikan meja makan walaupun ini hanya beberapa hari. Biasanya hanya ada celotehan Keisya atau perdebatan ringan antara Zam dan Ayahnya, kali ini berbeda. Meira senang ketika ramai Seperti ini.
"Mama, kak Adelanya tinggal lama kan?" Ayya menghentikan acara makannya sejenak, tempat duduknya yang berdampingan dengan anak kecil itu membuatnya bisa mendengar bisikannya pada Meira.
Sekilas, Ayya menatap Meira. Ibu tiri Zam itu hanya mengelus sayang rambut putrinya kemudian kembali melanjutkan menyuapkan nasi untuk Keisya. Tidak ingin Meira menyadari gelagatnya, Ayya melanjutkan acara makannya, sesekali ikut nimbrung dengan percakapan yang lainnya.
Acara makan telah selesai, tinggal Ayya, Meira dan Adela di dapur.
Meira sedang mencuci piring sedang Ayya dan Adela sedang memotong buah-buahan serta membuatkan minuman untuk orang-orang di luar.
"Masih tinggal disini kan, Del?" tanyanya, dari sudut matanya Ayya melihat Meira menghentikan pergerakannya sejenak kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.
"Begitulah, mungkin sebulanan. Setelah itu nyari kontrakan sekitar sini, jadinya kalau kangen papa bisa langsung kesini. Kalau lapar dan engga sempat masak, tinggal kesini. Iyakan Ma?"
"Iya," sahut Meira cepat.
"Emang sekitaran sini ada kontrakan?" pancing Ayya lagi.
"Ada, nanti mama yang urus. Kebetulan yang punya teman lama mama, Adela tinggal menerima jadi saja." sahut Meira lagi.
Ayya tersenyum menanggapi.
"Engga heran kenapa Papa langsung jatuh Cinta sama Mama Meira, sikapnya ini loh, bikin perempuan iri. Kenapa bukan Mama Meira aja sih jadi mama kandungku?" Adela terlihat bahagia sekali, sembari memindahkan potongan buah-buahan ke mangkok dengan entengnya ia mengatakan itu.
Ayya yakin, Meira sangat bahagia mendengar hal itu.
"Kenapa engga tinggal disini aja, Del? Kan bisa bebas main sama Keisya?"
"Jangan deh kak, walaupun disini nyaman banget tapi aku pengen hidup mandiri tanpa dicap pake orangtua harus." Ayya kagum dengan sikap dewasa Ayya, padahal umurnya masih belasan tapi sudah berani tinggal sendiri. Ayya mana bisa.
Benar ya, umur bukan tolak ukur kedewasaan seseorang.
"Aku antar buah-buahan yang ini dulu, kak Ayya cepetan keluarin es batunya."
Adela berlalu membawa nampan berisi dua mangkuk buah-buahan.
"Terimakasih ya, dari kemarin Tante pengen bertanya tapi takut. Takutnya Adela salah mengira, Tante akan mengurus mengenai kontrakannya, kalau perlu akan beli seumur hidup sekalian. Jaraknya hanya 100 meter dari sini, Keisya pasti senang tau hal ini."
"Sama-sama, Tante." balas Ayya dengan senyuman, setelah memasukkan semua es batu kecil kedalam masing-masing gelas, Ayya memindahkan semuanya ke nampan dan menawannya keluar.
Diluar hanya ada 3 orang ditambah dengan dirinya, Keisya, Adela dan Tante Meira jadinya berubah jadi 7 orang. Di nampan ada 7 gelas minuman.
"Ayo, jus jeruk andalan semua orang sudah tersedia. Diminum-diminum."
"Kayak lagi jualan aja." sindir Zam, ternyata perdebatan keduanya belum selesai sama sekali.
"Sirik aja, diminum kak Raiden." Ayya memindahkan minuman tepat kedepan Raiden yang dibalas terimakasih oleh empunya. Hati Zam semakin terbakar melihat hal itu.
"Diminum Kak Zam," lanjut Ayya, mengambil satu minuman dan duduk disamping Zam, langsung menyodorkan minuman itu pada Zam.
Hati Zam kembali menghangat, jika Raiden hanya diberikan lewat meja maka ia lebih spesial, Ayya memberikannya langsung lewat tangannya malahan duduk disampingnya. Ia tersenyum tipis, membuat ayahnya makin malu punya anak yang begitu jatuh hati pada Ayya.
"Gimana perusahaan kamu?"
Dengan cepat Adela menarik Ayya keluar rumah, mendengar pertanyaan papanya pada Zam membuat Adela peka. Pembahasan laki-laki tidak akan jauh-jauh dari yang namanya kerjaan, Adela bosan.
"Menurut kak Ayya, gimana?"
"Tentang?"
"Ucapanku yang didapur tadi, apa itu cukup menghargai Mama Meira?"
"Jelas. Dia tadi senang sekali saat kamu akhirnya perlahan mendekatkan diri padanya. Malahan dia katanya ingin membeli kost-an itu untukmu, selamanya."
Adela menatap langit malam, ia takut Mama Meira akan terbebani jika ia tinggal disini. Takutnya Keisya akan merasa kasih sayangnya berkurang, takutnya adiknya itu akan merasa mamanya diambil olehnya.
"Kak Adela tidak akan ikut kak Ayya pergi kan?" Keisya datang dengan wajah murunngnya, ada boneka di tangannya.
"Engga akan, malem ini masih tinggal bareng kamu kok." jawabnya ramah dan itu berhasil membuat Kesiya berteriak senang. Berlari masuk kedalam rumah sembari memanggil Meira.
"Kamu lihat sendiri kan?" Adela mengangguk mengiyakan, ia akan berusaha sekuat mungkin agar tidak merasa beban di keluarga baru papanya.
"Mengenai Tante Caila, bagaimana kabarnya?"
Dengusan Adela langsung terdengar, serasa kesal dengan pertanyaan itu.
"Dia itu dramanya kebangetan, dan aku males banget liat muka suaminya yang kayaknya rendahin aku banget dan kak Zam. Mending tinggal disini sama papa, ada Mama Meira yang sayang sama aku tanpa merendahkanku sama sekali."
"Itu kamu tau, ngapain ngekost?"
"Beda kak, aku engga mau selamanya tergantung sama papa. Bukannya aku engga suka tinggal bareng disini, cuman ya aku pengen mandiri. Serasa senang aja, lagian nantinya aku akan tinggal dekat sini. Kangen papa bisa kemari."
"Dewasa banget sih Dek Adela." ledek Ayya.
"Iya dong. Daripada kak Ayya yang digantungin terus. Hahahahah." Adela tertawa terbahak-bahak dan Ayya membalasnya dengan wajah tertekuk.
Meira berdiri didekat pintu, sedikit mendengar obrolan keduanya. Tadinya ingin menghampiri karena Keisya datang padanya dengan wajah riang, memberitahu tentang tinggalnya kakak yang paling ia tunggu, malah mendengar apa yang mereka bicarakan.
Meira merasa diinginkan, datangnya Ayya kemari serasa harapan barunya untuknya. Ia memutar balik badannya dan ternyata ada Raiden berdiri tepat dibelakangnya.
"Nguping ya?" tanyanya pelan takutnya dua orang itu mendengar pertanyaannya pada kakaknya.
"Kebetulan kedengaran, mau kemana?" tanyanya heran.
"Mau ambil Barang di mobil kak," jawabnya enteng,
"Kamu beneran engga bisa tinggal lama gitu?"
Raiden melihat pancaran harapan dari Mata kakaknya. Semenjak ia bekerja, waktunya dan Meira memang berkurang palingan beberapa jam atau sehari lebih itupun 3 bulan sekali, kalaupun kasusnya cepat selesai.
"Aku engga janji, cuman setelah kasus besok selesai. Aku bakal ngajuin cuti, iyakan?"
Meira mengangguk senang, memeluk adiknya singkat dan masuk kedalam bergabung dengan Zam dan juga suaminya.
"Kamu kebanyakan mungkin-nya padahal kuliah itu tergantung niat kita kalau menurut aku. Kalau misalkan kamu kuliahnya cuman karena orangtua pastinya semuanya kerasa kepaksa, salah terus."
"Aku males kak, males banget."
"Hahaha, apaansih! Alay deh."
"kak Ayya! Aku lagi curhat ihhh, malah diledekin."
"Hahaha, wlee."
Raiden memutar badannya kembali, masuk ke dalam kamar. Ayya itu lucu, sayangnya Raiden tidak suka perempuan lemah. Ia ingin perempuan tegas yang bisa mengimbanginya.
***
"Lain kali datang lagi ya kak, kalau kak Zam engga sempat nganter telepon aku aja atau mama."
"Iya, cerewet banget."
"Kak Ayya juga cerewet banget."
Ayya mundur beberapa langkah, menyalami kedua orangtua Zam dan mencubit pelan pipi Keisya membuat empunya cemberut seketika.
Ia melambaikan tangannya dan masuk kedalam mobil Zam, Meira masih disana menatap mobil itu berlalu padahal semua orang sudah masuk kedalam rumah.
Ia duduk diteras bukannya masuk. Menatap mobil adiknya yang terparkir rapi disamping mobil suaminya. Ia bahagia saat mendengar Adela lebih suka padanya daripada mama kandungnya sendiri.
Katakan Meira jahat karena begitu bahagia mendengar hal itu, tapi itu terasa membanggakan untuknya bisa menjadi ibu sambung terbaik untuk kedua anak yang sangat butuh kasih sayang seorang ibu.
"Belum masuk kak?"
"Belum, kamu kenapa keluar?"
"Ini baru mau ambil Barang yang tadi,kakak masuk tadi kalau tidak salah dengar Kesiya nanyain mamanya."
"Oh iya, makasih."
Raiden tau, kakaknya bahagia hari ini.
Didalam mobil perjalanan pulang Ayya banyak diam, entah sedang memikirkan apa membuat Zam sedikit heran melihat keterdiaman perempuan didekatnya itu.
"Mikirin apa?" tanyanya
"Keluargamu rumit banget," jujur Ayya membuat Zam tertawa pelan,
"Banget,aku aja pusing liatnya. Apalagi suami mamaku, dia kayaknya benci banget sama aku dan Adela padahal kami engga pernah sekalipun minta uang sama dia."
Ayya diam lagi, ia jarang bertemu dengan papa tirinya Zam.
"Mama nyaranin kita tunangan yang mewah,"
"Mama kamu yang mana dulu?"
"Hahhaa,aneh ya? Aneh banget punya 2 mama yang satunya bodoamat dan gila harta, terus yang satunya kasih sayangnya banyak banget dan lemah lembut. Padahal aku pengennya mereka berdua imbang, yang nyaranin kita tunangan mewah ya Mama Caila, yang gila kemewahan kan dia."
Ohh gitu yaa.
"Kamu mau makan sesuatu, coklat? Mau?"
"Enggan deh, palingan yang habisin papa."
Zam memilih bungkam, sepertinya Ayya ingin waktunya sendiri. Lagian setelah mengantar Ayya ia harus kembali ke kantor, sejak sejam lalu Marcel terus memintanya datang katanya ada yang penting untuk dibahas.
Beberapa menit kemudian mereka sampai dirumah Ayya, perempuan yang berhasil membuat Zam cemburu itu hanya mengatakan hati-hati kemudian masuk kedalam rumahnya. Zam tidak terlalu memusinhkam mengenai sikapnya, sudah terbiasa dengan sikap sperti tadi.
Malahan Zam sudah melihat sikap Ayya yang lebih dari tadi, hal biasa. Mereka berdua sudah saling mengenal sejak lama, mengerti sikap masing-masing.