"Boseeeen."
Kinta menatap kesal Ayya, ketenangannya terganggu.
"Ay, mending kamu ke dapur aja liat yang lain masak daripada disini ganggu."
Ayya menatap Kinta malas, padahalkan Ayya lagi bosan kenapa malah diusir?
"Oh iya lupa nanya, liburan kamu kemarin bagaimana? Lumayan tenang juga engga ada kamu." ia menutup laptopnya, memiringkan badannya fokus kearah Ayya yang sedang merebahkan kepalanya di meja kerja.
"Kak Dita minta aku menghilang, pas Kak Zam terpuruk dialah yang menemani. Ada ya kesetiaan direncanakan gitu?"
Perempuan yang identik dengan wajah judesnya itu hanya bergumam tidak jelas, kembali membuka laptop dan menganalisa kembali pekerjaannya. Sebenarnya tidak sulit, hanya saja harus teliti biar tidak salah hitung.
"Kak Zam juga sadar kalau kak Dita itu cuman menganggapnya sahabat, perempuan memang terkadang salah mengartikan perasaannya sendiri. Aslinya engga Cinta malah bilang Cinta, aslinya Cinta malah bilang engga Cinta. Pantas aja laki-laki banyak yang menyerah dan memilih perempuan lain."
Ayya bermonolog sendiri ditemani suara keyboard yang saling bersahutan.
"Kalau bisa milih, aku sih pengennya selamanya sahabatan aja engga perlu sampai ke tahap suka tapi emang pada dasarnya hati enggak bisa dipaksa dan dikendalikan. Susah ya jadi perempuan, lemah banget kalau sudah menyangkut hati."
"Tapi perempuan juga hebat, mereka hebat jika sudah menggunkan logika hanya tinggal menuggu tanggal mainnya aja." Kinta lanjut menganggapi, dengan Mata tetap fokus kearah laptop.
"Iyasih, pusing mikirin Cinta Cinta terus, capek." Ayya berdiri, berjalan kearah sofa dan merebahkan badannya disana. Akhir-akhir ini tidurnya kurang nyenyak, rasanya ada sesuatu.
Ia memejamkan matanya, dan lama kelamaan tertidur. Itu semua Kinta amati, ia kira menjadi orang ceria itu gampang ternyata tidak sama sekali. Butuh banyak tenaga, butuh banyak energi untuk terus menerus tersenyum di depan semua orang.
Harusnya Kinta bersyukur dia terlahir seperti ini, bebas ingin memasang ekspresi apapun. Sedangkan Ayya? Sejak kecil sudah ceria, jadinya kalau punya masalah harus dua kali lipat cerianya.
"Kak Ay-"
"Sssst. Ada apa?" potong Kinta cepat dengan suara pelan.
"Kak Bintang minta aku panggil Kak Ayya, katanya mau bahas soal menu baru." beritahu nya dengan suara pelan juga.
"Aku aja yang kesana, minta Bintang menunggu sebentar ya, Kanaira.
"Oke kak Kinta."
Setelah pintu ruangan tertutup, Kinta segera menyimpan file yang ia kerjakan sejak tadi. Mematikan laptop dan membereskan beberapa kertas yang berserakah diatas meja. Setelahnya, barulah berjalan keluar menuju dapur.
"Ayya tidur?" pertanyaan yang cukup cepat menurut Kinta padahal ia baru saja berdiri tepat didekat sahabatnya itu.
"Iya, kayaknya banyak pikiran." Bintang hanya mengangguk dan mulai memperlihatkan menu baru yang ingin ia tunjukkan. Ide ini ia dapatkan saat sedang liburan kemarin.
Beberapa menit kemudian, menunya jadi.
"Coba kamu rasakan," Kinta memakan dessertnya, "enak engga?" tanya Bintang dengan tidak sabar.
"Manis banget," komentarnya.
Bintang menepuk dahinya pelan, ia lupa kalau Kinta itu sangat tidak suka coklat sedangkan menu ini penuh akan coklat. Bintang mendorong Kinta menjauh, menarik Kanaira berdiri disampingnya.
"Kamu yang Coba, aku lupa kalau Kinta itu anti banget sama makanan manis." Kanaira tertawa pelan, tapi tetap menyuapkan sesendok dessert kedalam mulutnya.
"Gimana gimana?" tanya Bintang.
"Enak kak, tapi kalau menurut kak Ayya pasti coklatnya masih kurang. Tapi bubuk coklat aja di atasnya, atau itu ditambah pas pembeli mau pake topping."
"Oke, nanti menu ini akan kubahas dengan Ayya pas dia bangun. Kamu lanjut urus pesanan, aku mau bahas harga sama Kinta."
Tanpa mengatakan apapun, Kanaira kembali ke tempatnya menyelesaikan apa yang pembeli pesan.
Tugas Kinta adalah di bagian keuangan baik pengeluarannya dan pemasukan yang dibutuhkan, setiap menu baru yang baru saja Bintang atau Ayya buat maka akan dibahas rampung oleh Kinta. Mulai dari harganya, berapa variannya dan jenis-jenis bahan yang dipakai, harus benar-benar lengkap.
"Yakin harganya segitu? Keuntungannya balik kan? Dan dana yang dipakai untuk peluncurannya nanti udah oke?"
Ia menggeser kertas yang ia pakai mencatat sejak tadi, menjelaskan dengan sabar dari awal.
Tring.
Keduanya kompak menoleh ke arah pintu, pasalnya sekarang itu waktu shalat dan didalam restoran hanyalah mereka. Terkadang akan ramai kembali setelah sejam kemudian.
"Ayya-nya ada?" Bintang dan Kinta saling menatap, mencoba bertanya satu sama lain siapa orang ini dan keduanya menggeleng kompak tanda tidak tau.
"Tidak ada ya?" tanya orang itu kembali,
"Ada, orangnya lagi tidur didalam kayaknya kecapean. Kalau mau ketemu nanti aja ya,"
"Yaudah, bilang aja tadi ada Dion yang kemari. Permisi."
Yang tadi berbicara adalah Kinta, berusaha seramah mungkin walaupun suaranya tetap terdengar ketus sekali.
"Siapa lagi? Teman cowok Ayya banyak juga mana rata-rata ganteng lagi." bisik Bintang pelan.
"Engga tau," jawabnya cuek.
Bintang hanya mengangguk mengerti, kembali fokus ke pembahasannya dengan sahabatnya. Mereka sahabatan itu lama, jadinya Bintang tidak akan pernah merasa aneh jika Sikap Kinta seperti sekarang ini.
Bintang tidak suka coklat seperti Ayya hanya saja hobbynya adalah memasak apalagi jika itu berhubungan dengan kue-kuean, dunianya sekali. Untungnya Bintang punya suami yang sangat mendukungnya, malahan berniat menanam modal di restoran ini juga.
***
"Pan, lo yakin kita bakal disambut dengan baik? Gue engga mau pas sampai disana malah malu karena diusir di depan banyak orang lagi."
Panji, adik Ayya menatap sebal kearah temannya.
"Pernah engga sih seorang Panji salah bicara? Lagian kita kesana cuman mau numpang wifian doang, udah! Kakakku itu baik, saking baiknya sampai rela engga dikasi kepastian selama bertahun-tahun."
Ketiga sahabat Panji saling menatap, ini Panji sedang curhat apa gimana?
"Yuk jalan, takutnya kakak gue ngamuk kenapa engga nyampe-nyampe sejak tadi."
Salah satu sahabat Panji yang berpakaian kaos lengan panjang warna coklat mendekat, memukul punggung Panji keras.
"Teman minta ditabok, bilang kek kalau lo udah lapor."
Dengan tangan sibuk meredakan sakit dipunggungnya, Panji tertawa keras. Ia sudah menelpon kakaknya sejak sejam lalu dan mengatakan akan kesana membawa teman-temannya.
"Kesini aja, nanti aku kasi makanan yang Bagus lumayanlah bisa bangga gitu. Tapi jangan kelamaan soalnya aku mau keluar, atau yang sambut kamu adalah Kinta."
Membayangkan wajah judes sahabat kakaknya aja sudah membuat Panji bergidik ngeri,
"Oii Panji! Ayoo!"
Mereka berempat masuk kedalam mobil yang dikendarai oleh sahabat Panji sendiri, mereka sebenaranya baru selesai menanjak dan akan menyelesaikan tugas kuliah yang banyaknya entah bagaimana menjelaskannya.
"Restoran itu punya kakak lo?"
"Yaps, itu dia buka selepas kuliah. Kalian kesana aja, tapi bayar ya nanti restonya rugi kalau dikasi diskon terus."
Semua sahabat Panji tertawa mendengar perkataannya, beginilah kesehariannya. Terkadang bingung sendiri, setelah lulus nanti akan menjadi apa. Tapi kata Papanya yang sikapnya sebelas dua belas dengan kakaknya, sekolah aja dulu masalah mimpi itu belakangan.
"Bagus ya jadi Panji, punya keluarga mendukung anaknya. Engga kayak emak gue, tiap hari ngomel terus menerus bukannya nyaman dirumah malah pengennya pergi terus."
Panji menepuk dadanya bangga, keluarganya memang bahagia. Mempunyai Orangtua yang selalu mendukungnya setiap waktu, Mamanya memang terkadang mengomelinya, tapi tetap mendukungnya.
"Gue apalagi, tiap pulang langsung disambut dengan pertengkaran mereka yang saling menyalahkan. Capek gue, bukannya pulang untuk melepaskan penat malah buat kepala makin puyeng, rumah kek neraka."
Adik dari Ayya itu memegang bahu temannya guna menguatkan yang langsung ditepis cepat, yakali ia selemah itu.
"Ortu gue okesih, cuman mereka sama-sama sibuk sama dunia masing-masing. Paling pas gue pulang yang ditanyain, uang kamu masih ada? Mau beli apa sayang? Mau nanjak kemana lagi setelah ini biar mama pesenin vila disekitar sana. Mungkin mereka kira gue bakal bahagia dengan gelimang harta padahal engga sama sekali, hampa guys hampa."
Mereka semua tertawa terbahak-bahak, meratapi nasib yang begitu menyedihkan, menganggap hanyalah Panji yang paling beruntung diantara mereka berempat.
"Pan, lo engga berniat Cari cewek gitu?"
Panji terlihat berpikir, "gue mau nemuin satu perempuan dimana gue beruntung milikin dia, saling bersyukurnya gue sampai engga punya minat lirik perempuan lain. Konsepnya gini, cewek gue aja sudah se oke ini yakali gue cari cewek baru lagi?"
"Terus, lo udah nemu? Sebutin tipenya aja."
Panji memperbaiki duduknya,
"Belom, gue masih mencari. Gue engga pengen main cewek takutnya emak ama kakak gue kena imbasnya. Masalah tipe ya? Dapat yang cantik alhamdulillah, dapat yang sederhana juga alhamdulillah. Pokoknya bisa buat gue bersyukur banget milikin dia."
"Gimana kalau misalnya yang lo dapat cewek desa terus engga paham dunia jaman sekarang?"
Panji terdiam sejenak kemudian tersenyum, "engga masalah, selama dia bisa buat gue Setia selamanya kenapa engga?" tantangnya.
"Punya orangtua harmonis, kakak perhatian ternyata buat pikiran terbuka bro."
Suasana mobil kembali hidup dengan suara tawa mereka, beginilah persahabatan yang kadang mereka anggap terlalu jauh. Terkadang orang memandang orang yang suka nanjak itu terlalu bebas, engga perlu dijadikan teman malahan sebaliknya.
Mereka memang bebas, tapi mereka santai dan menyenangkan. Punya pelarian untuk segala kejadian, teman-teman Panji contohnya, keluarganya memang bukan jalan pulang tetapi dia memiliki hobby untuk pulang.
Panji akan selalu bersyukur punya teman, kakak dan orangtua yang begitu sayang padanya.
***
"Ayo dimakan, jangan sungkan."
Setelah merasa semuanya lengkap, Ayya kembali masuk kedalam ruangannya memeriksa kembali ponselnya yang ternyata masih tersambung dengan neneknya yang tinggal di luar negeri.
"Adikmu bagaimana? Kalau dia nakal minta papamu kirim dia kesini, biar oma yang urus."
Ayya tertawa kecil, "mana mau Panji kesana Oma, diminta jenguk Oma aja dia engga mau. Ayya mau buka menu baru lagi, Oma jalan-jalan kesini dong, cobain menu-menu yang ada di restoran Ayya siapa tau Oma minat nanam modal disini."
Flora, ibu dari Kenan itu hanya memperlihatkan senyumnya. Cucunya yang Malang, harus menghadapi kehidupan miris.
"Atau Ayya minta papa jemput Oma aja disana, gimana? Ayya kangen Oma tau, sudah lama sekali tidak bertemu terus lebaran kemarin Oma engga dateng, Ayya pengen kesana tapi mana bisa ninggalin resto lama-lama."
"Kamu membuat Oma dilema, Kamu mau Oma nanam modal di restomu? Kalau mau Coba kirim pelaporannya ke Oma biar Oma minta sekertaris untuk cek profit pendapatannya."
Ayya tersenyum semringah mendengar hal itu, Omanya memang yang paling terbaik.
"Ayah ibumu baik-baik saja kan?" Ayya mengangguk dengan cepat.
"Mereka baik, cuman akhir-akhir ini perasaanku kurang enak kayak ada yang terjadi tapi engga tau apa. Soalnya disini semuanya aman, Panji sehat, Papa baik juga malahan semalam makan banyak coklat, terus mama juga. Liat Oma juga kayaknya sehat, terus apa ya?"
Sepersekian detik wajah Flora berubah murung dan kembali dengan tampilan senyuman, Ayya tidak menyadarinya sama sekali.
"Jangan terlalu dipikirin, mana cowokmu kurang gentle itu. Oma mau ketemu,"
"Kak Zam? Harusnya sudah sampai sejak tadi tapi kayaknya terjebak macet. Jangan bilang gitu dong Oma, takutnya kak Zam tersinggung. kan Ayya juga belum mau menikah, masih pengen bebas ngurus resto bareng sahabat."
"Umurmu sudah cukup menikah, nanti kalau Oma tidak sibuk lagi maka Oma bakal kesana untuk ketemu langsung sama dia. Ngarepin orangtuamu kayaknya tidak ada apa-apa, biar Oma turun tangan."
Ayya berjalan, berpindah duduk di meja kerjanya.
"Aku masih pengen bebas Oma, belum ada pemikiran untuk urus pernikahan atau lebih serius." ia memijat pelipisnya pelan, paling malas ketika orang-orang malah membahas pernikahan.
"Kamu cucu kesayangan Oma, Oma mau yang terbaik untuk kamu. Lagian kan Oma sudah memberi restu lalu apa yang menghalangi kalian ke tahap itu?"
"Omaaa! Ay-"
Ceklek.
"Hai, ada Panji diluar dan kamu disini."
Melihat kedatangan Zam, Ayya langsung mengarahkan kameranya ke ke belakang.
"Nih, kak Zam sudah datang."
"Siapa?" Tanya Zam bingung.
"Oma, katanya pengen ketemu sama kak Zam."
Zam mendekat, berdiri tepat di samping Ayya dan Ayya kembali membawa kamera kearah depan, menampilkan mereka berdua di layar ponsel.
"Selamat sore Oma, sehat banget keliatannya."
"Sore juga, sopan banget kamu. Oma pengen liat kalian di pelaminan tapi Ayya katanya masih pengen bebas. Memangnya setelah menikah kamu mau ngurung cucu Oma terus?"
Ayya mengarahkan Kamera hanya untuknya, menatap Omanya galak.
"Engga gitu konsepnya Oma." omelnya membuat Flora dan Zam tersenyum melihat tingkat Ayya.
"Masih aku bebasin Oma, tapi pastinya setelah menikah Ayya bakal paham mana waktu untuk keluar dan mana waktu untuk keluarga. Jadinya dia belum mau di titik itu, masih ingin berbuat semaunya tanpa ada penghalang."
Flora selalu suka saat anak muda ini buka suara, sangat sopan dan menjaga cucunya dengan sangat baik.
"Sudahlah, kalau ada waktu jalan-jalan kesini bahas pekerjaan sama Oma. Tua-tua begini Oma masih kuat kalau cuman bahas bisnis."
"Gayaan, semalam aku denger Oma ngeluh sama Papa karena badannya sakit."
"Bicaranya yang sopan." peringat Zam membuat Ayya memberenggut kesal.
"Oma mau ke suatu tempat dulu, kalian jaga diri. Sampai bertemu lagi."
"Sampai bertemu lagi, Oma." jawab mereka kompak dengan senyuman. Ayya menyimpan ponselnya dan mendongak menatap Zam yang juga sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanya Zam heran, mata Ayya memancarkan kegelisahan.
"Kak Zam engga kenapa-napa kan? Soalnya dari kemarin aku gelisah terus engga tau kenapa, papa mama juga aman-aman aja, Oma malahan lebih sehat."
"Itu hanya ketakutan yang tidak mendasar sama sekali, yuk keluar. Adik kamu ada diluar masa disini, nanti teman-temannya malah bilang kakaknya Panji sombong banget."
"Orang aneh itu kalau sampai bilangin aku sombong, ramah gini."
Zam hanya menggelengkan kepalanya pelan, tapi tetap menarik Ayya keluar ruangan.
Dinegara lain, Flora menatap sendu kertas yang ada ditangannya. Firasat memang tidak pernah salah.
"Apa perlu tambahan dokter, Nyonya?"
"Jika nantinya semakin parah maka kita perlu penambahan dokter paling terbaik."
"Baik Nyonya."
Flora meraih korek api yang memang tersedia dimejanya, membakar selembar kertas itu.