9 - Posesif

1857 Words
Ayya memanyunkan bibirnya kesal menatap Marcel yang kini duduk dibalik kemudi, ada Sandita disampingnya. Dan di dekat Ayya ada Zam yang sejak tadi mengenggam tangannya erat, entah pikirannya sedang kemana. Minggu damainya yang harusnya tertidur sampai siang batal sudah dengan kedatangan tiba-tiba Zam pagi tadi, meminta izin pada orangtuanya untuk mengajak Ayya liburan. Pastinya orangtuanya langsung setuju mengingat Ayya kurang piknik. Padahal Zam kemarin melarangnya bertemu orang menyebalkan itu, terus sekarang malah menyeretnya kedalam mobil ini berada dengan mobil yang sama dengannya. Ayya rasanya ingin pulang, bergelung santai didalam selimut biru kesayangannya, menikmati mimpi-mimpi indahnya. Ayya mengalihkan pandangannya kearah Dita, rambutnya dikuncir satu terlihat sangat dewasa. Celana jeans serta sweater kebesaran. Memang pada dasarnya cantik, mau memakai apapun akan sangat cocok untuknya. Ayya makin minder jalan sama mereka, mana ia tidak sempat make up tadi. Ia memandang keluar, entah kemana mobil ini melaju tapi Ayya hanya berharap ada sesuatu yang akhirnya membuat mereka putar balik dan akhirnya liburan mendadak ini dibatalkan. Ayya ingin pulang, pulang. Jari-jarinya di mainkan oleh Zam entah apa manfaatnya, Ayya tidak peduli. Mulutnya mendadak terkunci saat melihat wajah bahagia Marcel karena berhasil merealisasikan keinginannya yang kemari Ayya tolak mentah-mentah. Ayya menghembuskan nafasnya lelah, padahal lebih baik baginya duduk santai dirumah berebutan coklat papanya, menjahili mamanya, atau saling berdebat dengan adiknya yang sudah pulang semalam. Itu lebih baik daripada harus terjebak seharian dengan Sandita, yang manjanya engga ketulungan. "Zam, itu Ayya engga bakal kemana-mana engga perlu tangannya digenggam terus seperti itu." "Hmm." Dalam hati Ayya tertawa terbahak-bahak, makan tuh jawaban menohok. Sejak berangkat hingga sekarang Ayya sudah berusaha melepaskan genggaman tangan itu tapi Zam tidak mau. "Mar, kita mampir beli coklat dulu takutnya Ayya kebosanan." Dih, sejak tadi Ayya sudah bosan, sangat dan sangat bosan. Mobil terhenti, "tunggu sebentar, kamu tidak perlu turun." genggaman tangan kami terlepas membuat Ayya bernapas lega, untungnya Zam tidak melihatnya. "Aneh kan?" Ayya tersentak, ternyata Dita melihat ekspresinya barusan. Baguslah, jadinya Ayya tidak dicap sebagai perempuan suka nempel sama laki-laki. Perkataannya Ayya balas dengan anggukan, hanya mereka berdua didalam mobil karena dua laki-laki itu keluar membeli cemilan. Ayya memperhatikan sekitar, tempat ini cukup sepi juga. "Zam kayaknya Cinta mati sama kamu, padahalkan aku yang lebih dulu datang dalam hidupnya tapi kenapa kamu yang membuatnya jatuh Cinta?" Tanpa sepengetahuan Dita, Ayya memutar bola matanya malas. Kan bukan urusannya. Kalau Zam suka padanya itu kan bukan kuasa Ayya lagi, hati Zam ya milik Zam, dia yang pilih siapa yang dia suka. Ayya mana bisa menentukan siapa yang harusnya Zam suka. Yang aneh itu Dita bukan Zam. "Kamu bisa ngilang sebentar engga? Biar Zam bisa pindah hati ke aku?" Ini orang satu, wajahnya cantik, cara bicaranya sopan saking sopannya ingin membuat Ayya menyumpal mulutnya pake tissue. Bukan mau Ayya berada di posisi ini, mau Ayya menjauh kalau pada dasarnya sudah jodoh ya mau gimana lagi? "Aku mau menghilang kemana kak?" balas Ayya sopan, ingat! Dia lebih tua dari kamu Ayya. "Mungkin ke suatu tempat, kamu ganti nomor dan jangan bilang ke siapapun kamu tinggal dimana. Jadinya, saat saat terpuruk kehilangan kamu, aku bisa disisinya dan dia bisa melihat bagaimana besarnya perasaanku padanya." Alah! Itumah namanya merencanakan kesetiaan bukan kebetulan. Ayya tidak bersuara lagi dan untungnya beberapa detik kemudian dua orang laki-laki itu masuk kembali kedalam mobil, membawa cemilan yang cukup banyak. "Aku beliin kamu coklat banyak banget." dari sudut matanya, Ayya dapat melihat wajah Dita yang murung. "Mau makan yang mana dulu?" Ayya ingin menolak tapi ekspresi Zam itu lagi bahagia banget, mana tega Ayya merusaknya. "Yang ini dulu, keknya belum pernah coba." Zam mengangguk, membuka bungkusannya dan menyerahkannya pada Ayya. Mobil kembali melaju, didepan Marcel terus mencoba mengajak Dita berbincang tetapi dijawab singkat. Cemburunya tidak terlalu kentara, Ayya malah merasa Dita hanya merasa perlakuan Zam itu tidak adil. Ayya malahan tidak ada binar Cinta dalam Mata Dita, hanya tatapan seorang teman ke teman, sebatas itu. Zam kembali mengenggam tangan Ayya karena yang dekat dengannya adalah tangan kiri, jadinya Ayya tidak kesusahan untuk makan. Marcel tersenyum tipis melihat hal itu, setidaknya Zam makin dekat dengan Ayya dan Dita tidak akan berharap lebih lagi. "Minum?" "Nanti kak, engga makan?" "Kamu aja." Dita merasa kesal, sejak dulu Zam hanya dekat dengannya dan ia tidak suka perhatian Zam teralihkan ke orang lain. Ayya itu hanyalah orang asing yang kebetulan datang, memangnya kenapa kalau Zam suka padanya? Bukankah persahabatan lebih penting? Sepanjang perjalanan yang terdengar hanyalah pertanyaan-pertanyaan Zam pada Ayya, atau sesekali Zam dan Marcel akan saling berbincang santai. Dita lebih banyak terdiam di tempatnya, sebentar lagi mereka akan sampai ke tujuannya dan Ayya masih terlelap dengan kepala menyandar di bahu Zam. 10 menit lalu, Ayya tertidur membuat Zam menarik kepala Ayya bersandar dibahunya. Awalnya Zam tidak ingin ikut, tapi kasihan juga sahabatnya butuh liburan setelah berbulan-bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing jadinya ia pagi-pagi sekali datang menganggu Ayya. Memaksanya untuk ikut dengannya. Zam mana tenang meninggalkan Ayya tanpa pengawasannya. Zam takut Ayya akan keluar dan bertemu dengan laki-laki lain lagi, cukup Kaffa, Dion, dan lakilaki yang kemarin Ayya temui di supermarket. Sebenarnya Zam ingin melarang Ayya untuk tidak terlalu terbuka pada laki-laki, tapi takutnya Ayya malah tersinggung dan menjauhinya. Zam tidak bisa membayangkan bagaimana harinya tanpa Ayya, pasti akan terasa sangat hampa. Sejak bertemu Ayya, keseharian Zam lebih berwarna, terasa hidup kembali. "Sudah sampai, aku dan Dita turun tujuan. Kamu bangunin Ayya dulu." kata Marcel. "Oke." Sepergian keduanya, Zam menepuk-nepuk bahu Ayya tetapi bukannya bangun Ayya malah memperbaiki posisinya membuat Zam tertawa pelan, menggemaskan sekali. "Ayya, bangun. Kita sudah sampai." panggilnya, Ayya mengerjapkan matanya pelan menatap sekitar. Pantai? Lagi? "Ayo, Marcel dan Dita sudah menunggu kita diluar. Barang bawaan kamu jangan lupa diambil." Zam membuka pintu mobil, disusul Ayya di belakangnya dengan menenteng Tas kecil ditangannya. "Marcel lagi bicara sama pemiliknya, mungkin mau sewa gazebo." beritahu Dita setelah mereka berdua berdiri didekat Dita. Zam mengedarkan pandangannya, beberapa mata laki-laki mengarah padanya. Ia dengan sigap mengenggam tangan Ayya, mengambil tas Ayya menentengnya. Hatinya panas, Ayya hanya miliknya mereka tidak boleh memilikinya. Melihat itu, Dita semakin tidak suka. Dulu sekali sebelum Ayya datang dirinyalah yang diperlakukan seperti itu tapi sekarang sudah berbeda. Dita tidak suka, harusnya perhatian Zam hanyalah untuknya. "Yuk kita kesana," Ketiganya berjalan setelah Marcel kembali, berjalan menuju gazebo yang telah Marcel sewa. Sesampainya disana Ayya kembali rebahan, berniat melanjutkan tidurnya yang kesannya terlalu sebentar. "Ambil ini sebagai bantal, nanti leher kamu sakit." Ayya mengangkat kepalanya dan Zam dengan sigap menyimpan tas kecilnya dibawah kepala Ayya digunakan sebagai bantal. "Aku pesenin kamu minuman dulu, tidur aja dulu." Ayya tidak menanggapi, memilih memejamkan matanya kembali. Setelah melihat Zam pergi, Dita duduk disamping Ayya yang tertidur. Mengamati wajahnya, dan memikirkan apa yang Zam suka dari perempuan ini. Wajahnya biasa saja, malahan Dita yakin Ayya tidak memakai apapun diwajahnya. Dita memperhatikan pakaian Ayya, sangat tidak fashion sekali. "Kamu mau makan sesuatu, Dit?" "Engga,Cel. Aku belum laper. Kita ke sana aja, biar Zam yang urus Ayya." Ayya kembali membuka pejaman matanya setelah kedua sahabat Zam berlalu, mana bisa ia tertidur kembali. Ia memilih duduk menatap sekitar, tidak ramai tapi Ayya tetap merindukan kasur empuknya dirumah. "Adanya yang ini, tadi kamu belum sempat sarapan. Makan ya? Atau mau es kelapa juga?" Ayya menatap aneh Zam, "kamu kenapa? Aneh banget hari ini." tanyanya. "Kamu engga suka kalau aku gini?" Ayya menggeleng cepat, untuk tanda perdamaian Ayya mengucapkan terimakasih dan membuka kotak makanan yang barusan Zam beli. Memakannya dalam diam, ia terlalu malas meladeni sikap aneh Zam hari ini. "Adela bilang kamu lagi suka sama seseorang, siapa?" Ayya menghentikan kunyahannya, "Suka sama orang? Loh! Bukannya aku hanya Cinta sama kak Zam seorang?" Ayya tertawa pelan melihat gelagat Zam yang salah tingkah, ada baiknya ia kembali melanjutkan acara makannya daripada nantinya perutnya akan terasa perih. Spertinya semalam, Adela mengerjainya dan kenapa juga Zam harus mempercayai apa yang adiknya katakan? "Kak, bukain minum dong." Dengan sigap Zam membukakan minuman untuk Ayya, dari kejauhan ia dapat melihat kedua sahabatnya sedang berenang dipinggir pantai. Sejak kapan mereka berganti pakaian? "Kak Zam sadar engga kalau kak Dita suka sama kakak?" tanyanya setelah membersihkan sisa-sisa makanan di mulutnya. "Dia engga suka sama aku, dia hanya merasa perhatianku padanya makin berkurang. Aku hanya sedikit memberi batas karena aku tau, Marcel sejak dulu mencintainya jadinya aku memberinya ruang." Ayya mengangguk-angguk kepalanya paham, ternyata Zam menyadarinya hanya saja berusaha tetap bersikap santai dan biasa saja. "Kamu beneran tidak suka dengan laki-laki lain kan?" Ayya memasang wajah serius menatap Zam dalam, "bagaimana mungkin ada laki-laki berani mendekatiku kalau penjagaku saja se posesif ini?" ujarnya, dan kembali menoleh ke depan. Zam bungkam, benar juga. Setiap ada lakilaki yang mendekati Ayya maka ia akan sangat posesif. "Nikah yuk kak," "Nanti." "Bosen nanti terus. Yaudah deh aku ni-" "Jangan coba-coba." Ayya tertawa pelan, menggemaskan sekali. Apa salahnya jujur pada perasaan sendiri? *** Kenan memijat pelan pelipisnya, kenangan-kenangan itu kenapa terus saja menghantuinya setiap waktu. Sampai kapan ia mempertahankan semua nya di depan kedua anaknya? Sampai kapan Kenan memainkan drama jika hanya Tessa yang ia sukai? "Jaga Anak kita, aku tidak bisa menjamin bisa menjaganya dengan baik. Mungkin ini kesalahan kita berdua, tetapi bayi kita akan bahagia jika dia bersamamu." Membuka laci meja kerjanya dan menyingkirkan beberapa lembar kertas, terpampang jelas senyum yang sangat Kenan rindukan, senyum yang membuatnya kembali semangat. Ia harus bisa membahagiakan kedua anaknya agar mereka bisa merasakan indahnya keluarga. "Hai... Anak kita pasti sangat merindukanmu andaikan dia tau yang sebenarnya." lirihnya pelan, sangat pelan. Kesalahan yang tidak akan pernah Kenan sesali, dia ada karena memang sepatutnya ada di dunia ini. Senyum itu, senyum yang dulunya selalu membuat hati Kenan berdebar cepat. "Dia sudah besar, sayangnya sikapnya tidak salah. Sangat cerewet berbanding terbalik dengan sikapmu, dia snagat cantik dan anggun sama sepertimu." Kenan tertawa pelan, mengusap pigura foto itu. Katakan ia jahat malah menyimpan foto perempuan lain sedangkan ia telah memiliki Tessa disampingnya. Ada Tessa yang begitu sabar menyayangi kedua anaknya, memberinya keluarga yang sangat harmonis. Tapi siapa yang bisa mengendalikan perasaannya sendiri? Siapa yang bisa menyangkal perasaanya sendiri? Kenan hanya sedang menunggu waktu, sampai kapan dia bisa bertahan selama ini. "Maaf Pak Kenan." Kenan dengan cepat menutup kembali foto itu, menatap sekertarisnya yang spertinya ingin mengatakan sesuatu. "Ada apa?" tanyanya ramah. "Hanya ingin mengingatkan, 20 menit lagi kita akan keluar bertemu dengan yang lain. Takutnya Pak Kenan lupa atau malah berjanji dengan orang lain." Kenan menunduk memeriksa jam tangannya, berarti tepat pukul 10 nanti. Harusnya hari ini Kenan libur tapi ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, lagian kedua anaknya tidak ada dirumah rasanya sepi. "Saya undur diri Pak." "Silahkan." Memejamkan matanya erat, wajah perempuan itu langsung tergiang dalam ingatannya. Suara lemah lembutnya, tawa merdunya, wajah cantiknya, dan senyum paling manis yang pernah Kenan lihat. "Bagaimana jika kita berjalan santai saja?" "Memangnya kamu kuat? Yakin? Lari keliling kompleaja aja langsung ngeluh." "Jangan gitu dong, sebagai sahabat yang baik harusnya kamu dukung aku dong. Jahat banget, nanti aku tanya sama Tante Flora karena kamu jahilnya kek gini." "Kalau bawa-bawa Mama aku ngalah deh," "Hahahha, Kenan cupu." "Perempuan memang gini ya, giliran laki-laki mengalah malah dikatakan cupu." "Hahahah." Dalam pejaman matanya, Kenan tersenyum mengingat masa mudanya bersama sahabatnya. Masa remaja adalah masa paling menyenangkan untuk dikenang, sayangnya kepiluan disana lebih banyak dari kebahagiaan yang tercipta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD