"Arsel, kamu kapan melamar Kinta padahal kurasa Kinta sudah menunggu lama."
Laki-laki berprofesi sebagai koki itu memutar badannya menatap seseorang yang duduk didepan Ayya, orang itu juga balas menatapnya seolah sedang menunggu apa yang akan Arsel katakan.
"Hai Bro, kamu kapan lamar Ayya. Kayaknya dia sudah tidak sabar untuk dilamar darimu." balasnya telak membuat Bintang menggelengkan kepalanya menatap mereka berdua, susah ya kalau menghadapkan orang yang sama-sama keras kepala.
Ayya malas berpikir, kembali memakan dessert terbaru yang baru saja Bintang berikan padanya, menu baru yang siap launcing minggu depan, katanya.
"Oma sepertinya benar-benar kepikiran tentang kita, tapi rasanya terlalu cepat kalau misalkan kita naik ke jenjang pernikahan."
Dengan cepat Ayya menyetujui apa yang Zam katakan, "benar banget kak, kita berdua itu perlu kebebasan dengan Mimpi masing-masing. Aku yang sibuk dengan restoku sedang kamu yang sibuk mengembangkan perusahaan, keduanya harus sukses dulu baru nyebar undangan."
Bintang meletakkan dua gelas minuman rasa lemon dihadapan pasangan aneh itu, "kata sukses menurut kalian itu apaan? Resto dan perusahaan sudah sebesar sekarang masa bilangnya belum sukses sama sekali. Profit bulanan sudah seluar biasa itu, masa mau ngambang terus sampai tua. Amit-amit." ujar Bintang dan kembali duduk di meja dimana suaminya berada.
Kinta yang sejak tadi sibuk memeriksa final laporannya kini selesai, membuka kacamatanya dan menatap semua orang satu persatu. Semua orang duduk dengan pasangannya masing-masing, Kinta dengan Arsel, Zam dan Ayya serta Bintang dan suaminya. Di meja berbeda tetapi hanya berbeda beberapa centi saja, sengaja didekatkan, semacam triple date.
"Nikah itu bukan ajang perlombaan Bin, mungkin kamu sudah sesiap itu dan pengetahuan mu tentang dunia pernikahan sudah ada. Menikah itu harus bisa paham, mengerti bukan asal mengatakan iya, aku mau."
Ayya memberikan dua jempol untuk Kinta, sahabat terbaik memang.
"Umur bukan tolak ukur, apalagi dengan modal aku Cinta kamu. Kalian berdua yaitu kamu dan suamimu pasti sudah melalui fase luar biasa sampai akhirnya tiba seperti sekarang, Bin. Kamu lebih paham, tidak perlu aku jelaskan sampai capek."
Menerima minuman yang Arsel sodorkan dan meminumnya dengan tenang.
Zam mengamati semua itu, lebih memilih diam dan membiarkan mereka berbincang masing-masing, bukan ranahnya.
"Aku antar Panji pulang dulu, nanti kesini lagi untuk jemput kamu kerumah ketemu sama Adela." pamitnya,
"Oke, hati-hati."
Zam menepuk kepala Ayya beberapa kali dan meninggalkan restoran perempuan yang katanya adik tingkatnya semasa kuliah dulu. Panji pasti sudah jemuran menunggunya di dalam mobil.
Semua temannya sudah kembali, katanya Panji akan pulang sendirian karena begitu takut membuat teman-temannya kerepotan, tanpa pikir panjang Zam menawarkan diri untuk mengantarnya yang diterima Panji dengan senang hati.
"Lama banget kak, untung sebelumnya kakak ngasi kunci mobil jadinya bisa rebahan dalam sini." Zam menggumamkan kata maaf atas itu.
Mengemudikan mobilnya dalam diam, mengantar calon adik iparnya pulang. Mereka sudah berkenalan sejak bertahun-tahun lalu.
"Menurut kak Zam, gue cakep engga?"
Zam memelankan mobilnya, "tumben kamu bahas hal seperti itu, kenapa? Lagi dekat dengan perempuan ya dan malah insecure gitu?"
"Engga juga kak, cuman tadi bahas tentang perempuan bareng teman. Menurut kak Zam, perempuan paling cocok itu gimana?"
Dengan mata memandang kedepan, pikiran Zam langsung tertuju ke Ayya.
"Ya kamu menemukan perempuan, pas kamu liat dia itu adem banget. Bukan harus cantik atau gimana gitu, pokoknya dalam sudut pandang kamu pas liat dia itu nyaman banget."
Panji menganggukkan kepalanya beberapa kali, "terus?"
"Kamu engga pernah bosan dengan tingkahnya. Misalnya seperti ini, kamu menemukan perempuan matre banget kerjaannya tiap hari belanja terus dan semua orang tidak suka sama dia. Tapi kamu beda, menurutmu itu lumrah malahan kamu Setia nemenin dia kesana kemari, kayak senang aja liat dia menemukan dunianya sendiri."
Panji belum menemukan perempuan dimana melihatnya adalah kenyamanan.
"Jangan merencanakan jatuh Cinta, Pan. Jangan juga merencanakan membuat orang jatuh Cinta karena dua jalur itu sama-sama akan menyulitkan kamu dimasa depan nanti. Cinta akan datang kok, baik karena terbiasa, karena benci, karena sering menghabiskan waktu bersama atau Cinta pandangan Pertama. Nikmatin."
Mobil memelan pertanda macet, Zam menoleh kearah Panji.
"Yang perlu kamu pertahankan adalah jangan sampai kamu punya pemikiran dengan ingin menyeleksi perempuan dimana yang paling terbaik, engga baik. Perempuan itu punya keunikan masing-masing, mereka yang kembar pun pasti punya perbedaan meskipun identik."
Karena tidak ada perkembangan mobil berjalan, Zam menepuk pundak Panji beberapa kali.
"Aku ngerasa kalau mama engga bahagia, kak."
Zam menoleh cepat, baru saja ingin berbicara tetapi mobil di belakang sana sudah membunyikan klaksonnya pertanda meminta mobil Zam untuk segera bergerak maju.
Tidak ada perbincangan lagi, sebenarnya Zam ingin sekali bertanya apa maksud Panji tapi spertinya laki-laki yang hobby nanjak itu kini sibuk dengan ponselnya, bukankah keluarga mereka aman-aman aja? Terus apa yang membuat Panji mempunyai kesimpulan itu?
Sampai dipekarangan rumahnya pun, Panji hanya mengucapkan terimakasih dan keluar dari mobilnya. Zam menggelengkan kepalanya beberapa kali, mungkin hanya Panji yang salah kaprah, mungkin ada beberapa keadaan yang membuat Panji salah paham.
Menurut Zam, Panji itu anak baik. Sangat penurut dan jarang sekali membuat masalah paling yang membuat kedua orangtuanya resah itu adalah masalah hobby Panji, setiap seminggu sekali harus wajib Nanjak, katanya dekat dengan alam itu menyenangkan.
Mengemudikan mobilnya untuk kembali lagi ke restoran Ayya, tapi baru beberapa meter ia meninggalkan rumah Ayya ia menghentikan mobilnya. Sekitar satu meter didepan sana, ada perempuan yang sangat ia kenali sedang berbincang dengan seseorang.
"Tante Tessa?" tanyanya pada diri sendiri, ya, Zam mana mungkin salah orang. Perempuan didepan sana adalah Tessa, mama Ayya dan Panji serta suami dari Kenan.
Cukup lama hingga Zam melihat Tessa menampar orang di depannya kemudian berjalan meninggalkan orang itu, melalui mobil Zam begitu saja. Ada apa? Siapa orang itu?
Merasa bukan urusannya sama sekali, Zam kembali melanjutkan perjalanannya menghiraukan orang yang tadi Tessa tampar masih disana, melihat kepergian Tessa menuju rumahnya.
Bisa saja bertanya, hanya saja hubungannya dengan Ayya masih ngambang walaupun sama-sama saling kenal antar keluarga. Zam tidak mau dicap terlalu banyak tau padahal bukan siapa-siapa.
"Haruskah aku memberitahu Ayya tentang ini?" analognya, "spertinya jangan, Ayya pasti akan banyak pikiran." lanjutnya kembali.
Zam akan mencoba melupakan kejadian tadi, bisa saja orang itu menganggu ketenangan Tessa atau hal lainnya. Terkadang, kita memang harus diam bukan tidak ingin membantu tapi terlalu ikut campur dengan urusan orang itu tidak baik, Zam tidak ingin ikut campur terlalu jauh.
Yang perlu ia pikirkan hanyalah bagaimana menjaga Ayya tetap untuknya. Itu saja.
***
Tessa menghentikan langkahnya sejenak, memeriksa tatanan rambut dan wajahnya dan kamera ponsel. Merasa sudah seperti biasanya, Tessa kemabali melanjutkan langkahnya memasuki pekarangan rumahnya.
Langkahnya kembali terhenti, menatap sepatu anaknya ada pada tempatnya. Itu berarti Panji ada didalam, sudah pulang.
"Panji!" tak lama kemudian Panji datang dari dalam dengan handuk di pundaknya.
"Kamu baru pulang?" tanyanya was-was, takutnya Panji melihat apa yang ia lakukan didepan sana.
"Beberapa menit lalu diantar kak Zam, orangnya baru pergi. Ini baru mau mandi terus mama manggil, kenapa? Kok aku engga denger suara mobil."
Tessa masuk kedalam dapur diikuti Panji dibelakangnya, menuangkan air kedalam gelas dan meminumnya cepat, untungnya. Itu berarti Panji tidak melihat apapun.
"Mama simpen mobilnya di butik, tadi pulangnya bareng temen soalnya habis ketemuan di cafe. Diantarnya agak jauh dari rumah, pengennya mampir beli sesuatu tapi engga jadi."
Panji mengamati pergerakan mamanya, tangannya terlihat gemetar dan matanya terus saja mengarah ke arah lain, padahal pertanyaan Panji terkesan biasa sekali tetapi kenapa mamanya terlihat sangat ketakutan?
Panji duduk tepat didepan mamanya, menampilkan senyum seperti biasa.
"Bagaimana kalau minggu ini kita liburan berempat sperti biasanya, akhir-akhir kita berempat terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, Kak Ayya dengan resto, mama dengan butik, papa dengan kantor dan aku dengan nanjakku."
Tessa menjernihkan pikirannya, dan menatap langsung putranya.
"Minggu ini mama harus fokus ke butik dulu, sayang. Dan hari senin nanti Mama harus ke Palembang selama dua hari, papa kayaknya harus ke aceh bahas project terbarunya. Lain kali aja ya, pastinya akan ada waktu."
Ia kecewa, padahal Panji begitu merindukan masa-masa liburan bersama keluarganya. Indah sekali.
"Mama ke kamar dulu, kamu mandi sana."
Ia menatap tubuh mamanya yang semakin menjauh, Panji semakin yakin jika mamanya sedang tidak baik-baik saja.
Tapi kenapa?
Selama yang Panji tau, orangtuanya tidak pernah bertengkar malahan sering melempar guyonan setiap kali bertemu. Papanya sangat mencintai mamanya begitupun sebaliknya.
Dan persahabatan mamanya, keluarganya dan keluarga ayahnya. Semuanya baik-baik saja lalu apa yang membuat mamanya terlihat sangat tertekan?
Mandi dengan cepat dan mengerjakan tugasnya yang cukup banyak. Itulah kesehariannya tanpa adanya perempuan sama Sekali. Ada beberapa yang sesekali mengirimkan pesan padanya tetapi tidak Panji balas sama sekali.
Menurutnya,jika Panji membalasnya itu berarti Panji seolah memberikan harapan kepada mereka. Tidak, prinsipnya adalah tidak menyakiti perempuan. Mama dan kakaknya juga perempuan, membayangkan mereka berdua terluka membuat Panji tidak rela.
"Aku hanya ingin mengunjungi makamnya, mas. Tidak ada maksud lain, lagian nantinya anak-anak akan diurus sementara waktu oleh pembantu. Hanya dua hari,"
Panji menajamkan pendengarannya, mamanya pasti sedang teleponan Dengan papanya.
"Kamu yang suka sa-... Aku nantinya bakal pamit sama Ayya, baiklah."
Suka sama siapa? Siapa makam yang ingin mamanya kunjungi?
Dan segala pertanyaan itu hanya menjadi angin lalu dalam benak Panji. Karena setelahnya mamanya kembali menelpon tetapi membahas tentang Barang-barang branded terbaru, sepatu dan koleksi tas ternama.
***
Masa iya harus menunggu lama?
Itu terus berputar dalam pikiran Ayya, karena sejak sejam lalu ia menunggu Zam tapi orangnya belum datang juga. Semua teman-temannya sudah pergi, restoran memang lebih awal di tutup.
Berdecak kesal, Ayya kembali menelpon Zam. Masuk sih tapi tidak diangkat sama sekali. Tadinya, Arsel berniat mengantarnya hanya saja Ayya tolak takutnya Zam marah karena Ayya tidak menunggunya sama sekali.
Dan lagi, Ayya takut Zam malah marah karena Ayya ikut dengan Arsel. Jadinya ia disini, sendirian duduk didepan restoran Dengan jam menunjukkan pukul 7 malam lewat. Untungnya tamu bulanannya datang, tadi Ayya tidak perlu jalan kaki menuju mesjid yang cukup jauh dari sini.
Bisa saja shalat didalam, tapi Ayya malas masuk. Kembali mengecek jam, sudah 15 menit berlalu tetapi mobil Zam belum terlihat sama sekali.
Oh iya, bisa juga Ayya mengikuti Bintang tadi hanya saja Ayya sudah berjanji pada Adela untuk bertemu malam ini, membahas banyak hal.
Suasana malam disini cukup ramai juga, dekat dengan kampusnya dulu dan juga tempat nongkrong anak muda cukup banyak. Malahan tak jauh dari tempat Ayya berdiri, ada beberapa kumpulan anak remaja yang sedang berbincang hangat.
Ting.
Dengan cepat Ayya membuka ponselnya, dan wajahnya langsung berubah menjadi panik.
Adela.
Kak, pertemuannya batal dan mungkin kak Zam engga sempat jemput kakak. Mama Caila masuk rumah sakit gara-gara kecapean. See you kak, dan Kak Zam titip maaf.
Menghembuskan nafas kasar, Ayya berjalan kedepan mencari taksi. Mau menelpon Panji tapi malas juga, takutnya adiknya malah memandang buruk Zam yang tidak bisa memegang janjinya sama sekali.
Setelah 10 menit menunggu, akhirnya ada juga taksi yang menepi. Setelah masuk kedalam dan menyebutkan alamatnya, taksi melaju bersama kekecewaan Ayya.
Hatinya ingin berusaha mengerti hanya saja susah, didalam sana begitu kecewa.
Susah ya ketika kecewa melingkupi.