Apakah harus sekarang? Atau nanti?
Kata-kata itu terus saja menjadi pertimbangan Tessa. Rencananya ia akan datang makam seseorang, niatnya ingin mengajak Ayya bersamanya tapi Kenan pasti tidak membiarkannya membawa Ayya.
Padahal umur Ayya itu sudah memungkinkan untuk tau semuanya, identitas yang disembunyikan harus diketahui atau selamanya akan terus main kucing-kucingan. Padahal niat Tessa itu baik, memberikan kebenaran pada Putri kesayangannya itu.
Merawatnya dengan kepedihan, patah setiap harinya adalah perjuangan yang cukup panjang. Katakan Tessa bodoh karna ingin menerima anak yang dihasilkan dari hubungan terlarang suami nya, tapi ia bisa apa? Untungnya ada Panji yang bisa menghentikan perceraian.
Kursi ia putar beberapa kali, mudah-mudahan Panji tidak menaruh curiga lagi padanya.
Kebencian?
Ya, Tessa menyimpan kebencian setiap hari untuk Ayya. Setiap detik ia selalu mengutuk anak sok periang itu, membenci ketika Ayya memanggilnya Mama padahal dia adalah penyebab retaknya hubungannya dengan Kenan.
Arinka oh Arinka.
Kenapa perempuan itu harus kembali padahal Kenan sudah berhasil membangun rumah tangga bersamanya. Harusnya Tessa melarang suaminya pergi malam itu sayangnya kepercayaan membodohinya.
Siapa yang tau, sikap manis Kenan malam itu adalah yang terakhir dan tak pernah Tessa temui lagi hingga sekarang.
Tessa tertawa pelan, menertawakan kegagalannya dalam menjaga suaminya. Padahal Kenan mengatakan Arinka hanya sahabatnya, ya sahabat. Sahabat yang tiada duanya.
"Kamu yakin aku pergi? Padahal aku pengennya tinggal dirumah saja menikmati masakanmu."
"Engga papa, inikan reuni masa engga pergi? Kalau misalkan engga pergi takutnya mereka menanggap kamu suami takut istri. Akukan percaya sama kamu, lagian disana tidak mantan, kenapa harus takut?"
Tessa memukul kepalanya dengan pulpen.
Memang tidak ada mantan, tetapi ada hubungan yang berkedok persahabatan.
Masa lalu tidak akan pernah bisa dihapus dalam ingatan seseorang, yang bisa mereka lakukan hanyalah mencoba memahami keadaan lalu kemudian mengikhlaskan, damai dengan masa lalu itu.
"Arinka hamil, dan malam itu kami tidak sengaja melakukannya. Maafkan aku, Tessa. Aku telah mengkhianati kepercayaan kita."
Kursi kerjanya ia putar, Tessa lelah memainkan drama ini selama puluhan tahun berlalu. Terlalu menyedihkan untuk dirinya yang Malang, tidak ada pendukung yang ada hanyalah dirinya sendiri.
Mertuanya?
"Jika kamu tidak bisa merawatnya, maka kamu silahkan mengurus perceraian dan tulis nominal harta yang kamu inginkan. Kita memang perlu percaya pada suami, tapi acara seperti itu sudah banyak berakhir dengan menghasilkan malapetaka."
"Tidak Ma, aku akan tetap mempertahankan pernikahanku. Aku tidak punya siapapun lagi, aku akan merawatnya dengan baik."
"Baiklah, ibunya telah tiada dan sayangnya aku tidak bisa menebak siapa pelakunya. Aku ingin mendengar kabar kehamilanmu berapa lamapun itu."
Perjalanan yang cukup panjang, membesarkan anak suami Dari perempuan lain? Bukankah itu sangat menyakitkan? Tapi apa yang bisa Tessa Lakukan?
"Bercerai? Kamu ingin mengajukannya? Sudah beberapa tahun berlalu dan kabar kehamilanmu tidak kunjung kudengar? Walaupun kalian sudah tidak seperti dulu lagi, lakukan berbagai cara agar kamu dapat mengandung anak Kenan. Kamu ingin selamanya seperti ini? Mengurus anak itu?"
"Baik Ma, aku akan berusaha semaksimal mungkin."
Kenang-kenangan s****n. Tessa meraih tas mahalnya dan berjalan menuju pintu keluar. Akan lebih baik baginya pulang dan menyegarkan pikirannya yang semakin tidak terkendali ini.
Masih lama dan sangat lama.
"Ibu mau pulang?"
Sambil memasang kacamata berwarna coklatnya, Tessa mengangguk mengiyakan.
"Tadi Panji kemari, Bu."
Tangannya terhenti, padahal tinggal membuka pintu mobil.
"Bertanya mengenai jadwal ibu dalam beberapa hari kedepan, katanya ingin meluangkan waktu. Awalnya aku ingin memberitahu ibu mengenai kedatangannya tapi dia melarang. Baru saja pergi beberapa menit lalu."
Tessa membuka pintu mobilnya dan berlalu. Setidaknya Panji adalah penyelamatnya, Panji adalah alasan mengapa rumah tangga nya dengan Kenan masih aman-aman saja.
Panji adalah berlian yang harus Tessa rawat dengan baik.
Sebenarnya Tessa memiliki supir sendiri, hanya saja hari ini ia ingin menyetir sendiri. Melepaskan segala beban yang ada pikirannya selama seminggu ini, Kenan terus saja mencecarnya dengan kata-kata kurang enak didengar. Dan itu selalu saja berakhir dengan datangnya anak-anak membuat Tessa tidak dapat membalasnya.
***
Suasana Restoran cukup ramai hari ini dan canda tawa pengunjung terdengar cukup jelas. Dan itu semua Ayya tatap dengan pandangan tidak minat sama sekali, harusnya senang karena restorannya ramai tetapi Ayya berbeda.
"Ay, dimana-mana kalau resto ramai kita itu senang. Lah kamu? Muka engga enak dipandang." teguran Kinta tidak Ayya pedulikan, sejak semalam moodnya tidak ingin bersahabat sama sekali.
"Yaudah, aku minta Bintang buatin kamu sesuatu engga?" dibalas dengan gelengan.
Sejak datang hingga sekarang, wajah Ayya selalu murung sangat bukan Ayya sekali. Padahal biasanya saat sampai di resto Ayya akan menyapa ramah pengunjung, menyapa dengan wajah berseri para pekerja dan kedua sahabatnya.
Sedang tadi? Setelah lonceng berbunyi saat pintu terbuka, Ayya hanya melengos masuk ke ruangannya. Beberpa menit kemudian keluar lagi, duduk di ruangan kecil tanpa kaca di dekat kasir, khusus tempat bersantai.
Kinta menatapnya dengan pandangan aneh, sudah ditanyai ini itu bukannya bersuara malah mengangguk dan menggeleng saja.
Sudah makan Ay? Dibalas Anggukan.
Sudah makan coklat Ay? Dibalas Anggukan.
Diantar papa kamu tadi? Dibalas gelengan.
Dan masih ada beberapa pertanyaan Kinta, merasa sahabatnya tidak ingin diganggu sama sekali membuat Kinta menyerah. Kembali sibuk menonton di layar laptopnya, film bergenre horor cukup membuat nyalinya tertantang.
Ini bukan pertama kalinya Ayya seperti ini, malahan sudah beribu kali. Tapikan kalau dibiarkan terus menerus maka rasanya sepi, kangen juga dengan sikap cerewet dan menyebalkannya itu.
Dengan sabar, Kinta mampouse filmya memiringkan badannya menatap Ayya yang kini memejamkan matanya.
"Tidur Ay?" kali ini jawaban pertanyaan Kinta ada perubahan, dibalas gumaman tidak jelas.
Niatnya ingin berbicara panjang ia urungkan, kembali melanjutkan acara nontonnya lagian kalau Ayya benar-benar sudah frustasi nanti bakal cerita dengan sendirinya.
"Kamu pikir dengan aku mati kamu bisa bebas membunuh orang lagi?" suara film yang Kinta tonton menggema membuat Ayya membuka pejaman matanya.
Terlihat sahabatnya fokus menonton tanpa takut sama sekali, yakali takut. Yang ada hantulah yang akan takut pada Kinta, saking judesnya itu muka.
"Tidak! Maafkan aku. Tidak!"
Ayya berdecak kesal membuat Kinta menatapnya dengan pandangan 'kenapa?'.
"Suaranya kekencengan, muka kamu juga nontonnya engga ada takut-takutnya sama sekali. Yang ada ya, hantunya yang takut sama kamu lari dari sana."
Suara tawa terdengar dan itu adalah suara Anggita, penjaga kasir.
"Terserah aku dong, yang nonton kan aku kenapa anda yang sewot?" balas Kinta, acara nontonnya terganggu karena pemikiran tak guna Ayya.
Ayya tidak membalas lagi, kembali menatap jejeran pengujung yang datang hari ini. Harusnya Ayya tuh bersyukur, banyak orang yang suka datang ke sini walaupun ada diantara mereka yang hanya datang memesan minuman lalu fokus dengan laptopnya, numpang wifi.
Tapi Ayya membiarkan, ia pernah di posisi itu. Jadinya Ayya memaklumi, lagian mereka sudah pesan pastinya memberikan keuntungan juga untuknya.
"Tolong ampuni aku! Aku berjanji akan meminta maaf pada keluarganya. Jangan lanjutkan lagi, aku bisa apa tanpa kakiku nantinya."
Ayya memandang Kinta tidak suka sedang yang di tatap malah fokus ke laptopnya.
"Kamu tidak berniat jadi psikopat kan, Kin?" suara tawa terdengar lagi, sepertinya Anggita benar-benar terhibur dengan segala pertanyaan tak berguna Ayya.
"Diem deh Ay, kayaknya tadi kamu diam-diam saja, kenapa sekarang malah sewot gini?" katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Di dalam sana, si hantu sedang membalas dendam pada pelaku yang dulunya membunuhnya.
Ayya itu galau, galau dan galau.
G. A. L. A. U.
Bintang datang dengan wajah lelahnya, menatap kedua sahabatnya yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Yang satunya sibuk nonton sedang yang satunya sepertinya berperang dengan pikirannya.
"Kak Bin... Butuh sesuatu?"
Mendengar pertanyaan Anggita, Kinta dan Ayya kompak menoleh kesamping ternyata Bintang ada disana menatapnya dengan wajah lelah.
"Duduk kak." panggil Anggita, menyiapkan satu kursi untuk Bintang setelahnya kembali ke meja kasir.
Tak ada yang berbicara, Kinta kembali menonton, Ayya kembali sibuk dengan pikirannya sedang Bintang sibuk mengipasi wajahnya yang terasa sangat panas.
Terkadang, persahabatan itu butuh dunianya masing-masing dan tugasnya hanyalah saling mengerti. Bukan tidak ingin bercerita hanya saja, privasi itu penting lagian kalau butuh solusi akan bercerita dengan sendirinya.
Persahabatan ketiganya awet, Bintang yang cukup dewasa, Kinta dengan sikap nano-nanonya dan yang terakhir ada Ayya. Banyak sikapnya, kadang ketus, kadang dewasa, kadang kekanak-kanakan, kadang juga judes melebihi Kinta.
"Kamu pikir dengan membunuh pelakunya kamu akan merasa lega? nak! Pergilah dengan tenang dan biarkan pihak kepolisian yang mengurusnya. Ibu, bapak dan para sahabatmu akan berjuang demi keadilanmu."
Suara tontonan Kinta kembali terdengar diiringi musik menyeramkan.
Apa bagusnya sih nonton horor?
Pertanyaan itu pernah Ayya tanyakan pada Kinta, dibalas sahabatnya dengan pertanyaan yang cukup membuat Ayya bungkam.
Apa bagusnya sih makan coklat?
Kalah telak kan?
Ayya menghembuskan nafasnya keras membuat sebagian pengujung menatap kearahnya yang ditanggapi Ayya dengan wajah acuh tak acuh, biarkan saja pengujung berpikir keras mengenai wajah nelangsanya ini.
"Pengen bilang Ayya banyak beban tapi engga juga, idupnya adem-adem aja." Ayya mencibikkan bibirnya dan melototkan matanya pada Kinta, kurang kerjaan.
"Udah, nanti Setelah urusan Zam selesai, aku yakin dia bakal kesini. Dia itu sudah bucin pake banget sama kamu, Ay. Masa iya dia bisa tenang kerja padahal sejak semalam kamu mengabaikan telepon dan pesannya."
Kinta mengangguk paham, ternyata masih masalah Zam. Semalam Ayya memang sudah cerita padanya dan juga Bintang mengenai Zam yang tidak ada kabar dan membuat Ayya menunggu lama.
Kinta memang sangat tidak peka, lupa. Dan kalau bukan Bintang yang memulai maka Kinta bakal bingung harus, Ayya galau karena apa?
"Kamu kan pernah cerita kalau Zam engga terlalu dekat lagi sama mamanya. Tapi biar engga dekat lagi, tetap aja kan Tante itu mamanya mau dihindari bagaimanapun juga. Tante itu kan sudah melahirkan walaupun abai dan melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu demi harta, katamu kan Ay."
Bintang memulai, terkadang Ayya memang butuh penjelasan lengkap dan Hanya Bintang yang bisa, Kinta sebenarnya bisa hanya saja suaranya kadang tidak bersahabat, datar banget.
Bukannya membuat Ayya paham malahan membuat Ayya kesal dengan suara datarnya Kinta, kayak orang males ngasi wejangan.
"Zam kan hanya ingin berbakti walaupun dilupakan emaknya." Ayya menoleh cepat ke Kinta, "kamu diam deh." kesalnya.
Lonceng berbunyi membuat ketiganya sontak menatap kearah pintu.
"Wihhh! Bawa bunga coklat." komentar Kinta,
"Nah loh, orang yang kamu tunggu sudah datang." lanjut Bintang.
Ayya memasang wajah semakin kesal, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangannya di meja kecil panjang itu. Berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memperdulikan keberadaan Zam, yang kini Ayya yakini sudah berdiri didepannya.
"Aku minta maaf."
Ayya memejamkan matanya erat, ia harus jual mahal dan tidak luluh sama sekali.
"Semalam mama tiba-tiba pingsan, dan yang lainnya pada sibuk. Kebetulan aku berada didekat lokasinya semalam, jadinya aku yang nganter dan menjaganya sampai yang lainnya datang. Maaf."
Ayya tidak peduli, tidak bergerak sama sekali.
"Hai semua, kalian sebagai saksi. Saya ingin meminta maaf pada Ayya karena kesalahan saya semalam."
Dalam acara sembunyi-sembunyinya, Ayya meringis pelan.
"Ayya, aku minta maaf."
"Kalian ke ruangan deh, jangan jadikan tontonan."
Tanpa mengatakan apapun dan menunduk. Ayya berjalan cepat menuju ruangannya disusul Zam dibelakangnya.
"Kalau itu aku, mau dibawakan coklat setruk pun engga bakal ku maafkan." celutuk Kinta selepas kepergian sahabatnya.
"Ya kan beda, kamu memang engga suka coklat sama sekali. Coba kalau Arsel ngajak kamu ke bioskop terus nonton film horor, pastinya bakal dimaafin kan?"itu tidak Kinta balas, membuat Bintang tertawa pelan.
Ia memilih kembali masuk ke dapur, tadi hanya beristirahat sebentar.
Dan Kinta kembali mencari film baru, laporan keuangan baru ia kerjakan setelah makan siang dan akan selesai sebelum jam pulangnya tiba. Jadinya saat pagi, ia akan menonton film sepuasnya dan pastinya Genrenya harus horor.
Sedang Ayya, sesampainya didalam ruangan dengan pintu dibiarkan terbuka ia menatap kesal kearah Zam selama beberapa detik kemudian membuang muka. Menghentakkan kakinya beberapa kali dan duduk di sofa. Enggan menatap Zam sama sekali.
Berusaha menahan tawanya serta buket coklat masih ada ditangannya. Zam duduk disamping Ayya berusahalah menatap wajah Ayya yang terus memasang wajah kesal.
"Kak Zam apa-apaan sih? Ngapain duduk disini?" kesalnya,
Zam masih berusaha menahan tawanya, Ayya itu sangat menggemaskan sekali.
"Jauh-jauh, Ayya engga suka." lanjutnya lagi.
"Aku nungguin buket ini lama loh, Antri panjang lagi. Mama Caila kacapean makanya pingsan, tadinya aku pengennya jemput kamu dulu tapi mama kasihan. Biar bagaimanapun dia yang lahirin aku, maaf yaa." Zam menyorotkan buket pada Ayya tapi perempuan itu masih membuang muka.
Zam menoleh kearah lain lalu tersenyum, kemudian kembali menormalkan wajahnya.
"Yakin engga mau? Kalau memang kamu tidak mau, aku kasi ini ke Sandita aja kayaknya kalau engga salah ingat. Dia lagi pemotre-"
Ia menarik buket itu dengan cepat, menatap Zam tajam. Apa-apaan, inikan dibelikan untuknya lalu kenapa harus diberikan pada Dita? Nanti orangnya makin serakah mau memiliki Zam.
"Baikan ya?"
"Hmm."
Zam menghembuskan nafasnya lega, beban di pundaknya terasa menghilang entah kemana. Ia tidak peduli mau mamanya sakit atau tidak, sejak semalam yang ia pikirkan hanyalah tentang Ayya, bodoamat soal mamanya.
"Ngeselin."
Zam menoleh, "kamu bikin aku ketakutan. Semalam pas selesai nganter mama, aku langsung pengen pulang. Sialnya, suami angkuhnya itu malah sok sibuk."
Ayya menepuk pundak Zam beberapa kali, it is okey. Ia akan mencoba memahami meskipun sampai sekarang ini ia masih agak kecewa.
"Mau jenguk mama engga?"
Ayya dengan cepat menggeleng, "aku lebih suka ketemu sama Tante Meira daripada sama Tante Caila." jujurnya.
"Yaudah, kamu kerumah aja nanti ketemu sama mama Meira." dengan cepat Ayya mengangguk.
Zam tersenyum tenang, Ayya itu tempat pulangnya saat semuanya makin tidak baik-baik saja, Ayya itu dapat menghiburnya dengan baik, lucunya.