Mata Yang Mengintai

3676 Words
“Dio, kolam renang lo airnya hangat kan, kalau malam?” tanya Sarah saat mereka sudah kembali ke villa Dio.   “Iya, hangat. Berenang aja kalau mau, biar tidurnya nyenyak nanti,” jawab Dio.   “Ayo May, kita berenang, sekalian relaksasi,” ajak Sarah. “Mumpung cuacanya cerah juga, nih.”   “Oke, yuk,” ucap Mayang yang suasana hatinya sudah sangat membaik.   Setelah masuk ke dalam kamar untuk menyimpan barang-barang masing-masing, Mayang, Sarah, Dio dan Reindra berkumpul di kolam renang yang terdapat di halaman belakang. Langit malam tampak sangat cerah berbintang, dengan garis bayangan gunung di ujung cakrawala membuat pemandangan tampak sangat indah.   “Wuaahh! Gilaaa ... bagus banget viewnya!” ucap Sarah sembari sibuk menempatkan tripod kameranya pada sudut pengambilan gambar yang bisa mencakup keseluruhan tempat itu.   “Iya, keren banget! Padahal kan, di sini sebenernya nggak terlalu tinggi juga ya,” ucap Mayang terkagum-kagum.   “Iya, tapi karena bangunan villa Dio paling tinggi di area sini, terus juga polusi di area ini masih minim banget, jadinya pemandangannya jernih banget kayak di puncak gunung,” komentar Reindra. “Nyaman banget ya, rasanya.”   “Coba ada teleskop, yah, bisa liat bulan dengan cukup jelas nih,” ucap Mayang.   Dio menoleh. “Lo suka astronomi yah, May?” tanyanya.   “Sebenernya astronomi gue kurang begitu paham. Yah, paling cuma ngerti beberapa rasi bintang aja. Gue emang suka memandang langit sih,” jawab Mayang.   “Dia ini anak malam,” jelas Sarah, “lebih suka langit malam hari dibanding siang hari.”   “Ya kalau siang hari langitnya kan, nggak bisa dipandangin, Sar. Silau kali,” seloroh Mayang.   Dio tertawa. “Berarti suka ke planetarium Jakarta dong?” tanyanya.   Mayang mengangguk. “Iya. Gue sering ke sana. Tapi kalau ada event tertentu aja misalnya gerhana atau fenomena langit lainnya. Ya kan, Sar, Rein?” Mayang mengonfirmasi kedua temannya.   “Iya. Waktu itu pernah yah, pas gerhana bulan kita ke planetarium. Tapi ya gitu, gak bisa pakai teleskop lama-lama soalnya kan harus gantian. Mana penuh banget tempatnya,” gerutu Sarah.   “Dan akhirnya kita bukannya liat gerhana malah jajan,” ucap Reindra sembari nyengir.   Dio kembali tertawa. “Kira-kira ada fenomena langit apa lagi yah dalam waktu dekat ini?” tanya Dio.   “Ada meteor shower akhir bulan ini,” ucap Mayang, “tapi biasanya sih kurang bisa dilihat dari langit Jakarta.”   “Kalau dari sini, keliatan nggak yah?” tanya Dio.   “Waah, kayaknya bakal keliatan deh dari sini!” ucap Sarah bersemangat.   “Iya, di sini jernih banget. Asal nggak pas hari hujan, pasti bisa keliatan,” kata Reindra.   “Ya udah, akhir bulan kita ke sini lagi, yuk,” ajak Dio. “Nanti gue sediain teleskopnya.”   “Hah, serius?” tanya Sarah nyaris terpekik.   “Lo punya teleskop, Dio?” tanya Mayang.   “Ya belum. Nanti beli dulu, buat ditaruh di luar sini,” ucap Dio. “Kira-kira merek yang bagus apa, yah? Gue nggak ngerti spesifikasi yang bagus.”   “Oh, tenang. Tanya aja sama Sarah yang udah akrab bergaul ama lensa dan sejenisnya,” ucap Reindra sambil menunjuk Sarah.   “Weiss, siap! Nanti gue bantuin pilihin,” ucap Sarah sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.   “Siip!” ucap Dio.   “Terus kita jadi berenang nggak ini?” tanya Reindra yang sudah siap dengan celana renangnya sejak tadi. “Bisa beku ini, gue udah nggak pakai baju dari tadi.”   “Ya jadi, dong. Berenang aja, Rein. Gih, masuk!” ujar Sarah sembari mendorong Reindra kuat-kuat.   Suara tercebur keras disertai suara tawa Sarah terdengar bergema di malam yang sepi itu. Reindra menyembulkan kepalanya di atas air sembari memaki-maki Sarah. Tawa Sarah terpotong ketika tubuhnya juga didorong masuk ke dalam air oleh Mayang yang jiwa usilnya bangkit melihat kedua temannya itu. Dan sebelum Sarah sempat protes. Mayang sudah menyusulnya, melompat ke dalam air.   “Curang lo, May! Baru juga mau gue dorong!” ucap Dio sembari berjongkok di tepi kolam.   “Ya udah jangan banyak ngomong, masuk sini lo!” seru Reindra yang tiba-tiba sudah muncul di tepi kolam dan menarik lengan Dio dengan keras, dan Dio pun tercebur masuk ke dalam kolam.   Suara canda tawa yang memecah keheningan malam itu membuat Mang Ujang yang melihat dari balik pintu kaca di dalam villa tersenyum lega. Laki-laki tua itu merasa senang karena majikannya yang selama ini terlihat selalu serius bekerja dan jarang bergaul dengan teman-temannya kini tampak bahagia dan jauh lebih ceria daripada biasanya. Dan tanpa diminta, Mang Ujang segera pergi ke dapur untuk bersiap membuatkan minuman hangat untuk keempat orang yang sedang asyik berenang itu.   Setelah setengah jam berenang, keempat orang itu merasa sudah cukup menyegarkan tubuh mereka.   “Udah ah, udah keriput nih tangan gue,” ucap Mayang sembari memerhatikan permukaan jari-jari dan telapak tangannya. Ia lalu bergerak ke pinggir dan mengangkat tubuhnya naik ke pembatas kolam renang. Mayang duduk di tepi kolam sembari memerhatikan pemandangan di sekeliling mereka.   “Ah, masih asyik tau, May!” seru Sarah dari dalam air.   “Ya udah lo lanjutin aja, Sar. Gue mau ….” Tiba-tiba Mayang menghentikan ucapannya. Matanya membelalak nyalang, menatap ke semak-semak rimbun yang menutupi dinding bukit di belakang villa. “May …? Ada apa?” tanya Sarah.   “Eh … ada apa, May?” Dio buru-buru menoleh, mengikuti tatapan mata Mayang.   “Apaan, sih? Pada liat apaan?” tanya Reindra yang bergerak ke tepi mendekati Mayang.   “May! Woi! Ada apa?” tanya Sarah yang sedikit takut melihat wajah Mayang yang tampak memucat. Ia berenang ke tepian sembari menoleh ke belakang. “Jangan bikin takut, dong!”   “I … itu tadi ….” Mayang menunjuk dengan gugup ke kegelapan di sudut luar dinding villa.   Dio yang sudah keluar dari air segera menghampiri Mayang dan berjongkok di sampingnya. “May? Lo liat apa?” tanyanya khawatir.   Mayang menunjuk dengan gugup ke arah semak-semak itu. “Itu … yang … yang waktu itu, Dio. Mata yang gue liat waktu itu! Itu!”   Dan semua serempak menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Mayang. Tetapi mereka tidak melihat apa-apa.   “Nggak ada apa-apa di situ, May,” ucap Dio sembari memicingkan matanya berusaha melihat menembus kegelapan.   “Iya, nggak ada apa-apa, kok,” jawab Sarah.   Mayang menoleh dengan heran kepada teman-temannya. “Kalian nggak lihat? Itu ….” Mayang menoleh kembali ke arah semak-semak tersebut. Tetapi mata merah itu telah menghilang.   “Kok … udah nggak ada ….” Mayang tampak sangat bingung.   “Emang lo waktu itu pernah liat apa sih, May? Kapan?” tanya Reindra yang ikutan bingung.   “Kita masuk dulu aja, yuk. Kayaknya kita udah kelamaan berenang juga. Nanti pada kedinginan. Yuk,” ajak Dio dengan nada suara sedikit tegas, mengisyaratkan agar tidak ada yang membantahnya.   Kemudian keempat orang itu segera mengambil handuk masing-masing yang diletakkan di atas kursi-kursi yang berjajar di tepi kolam renang dan melangkah meninggalkan kolam renang. Sarah mengambil kamera dan tripodnya lalu mengikuti yang lain masuk ke dalam villa.   “Mas, Mbak, sudah selesai berenangnya? Mau saya buatkan s**u jahe lagi?” tanya Mang Ujang saat melihat Dio dan teman-temannya memasuki villa. “Tinggal diseduh saja, kok.”   “Boleh, Mang Ujang. Tolong bawain ke dapur lantai dua aja, ya,” ucap Dio.   “Baik, Mas Dio,” ucap Mang Ujang yang segera berbali kembali ke dapur.   Mayang dan Sarah segera masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Sarah yang melihat Mayang tampak bingung dengan wajah masih terlihat pucat, membiarkan Mayang mandi lebih dahulu dan tidak menanyakan apa-apa padanya.   “Udah, May?” tanya Sarah setelah Mayang keluar dari kamar mandi. “Lo ke dapur duluan gih, minum s**u jahe biar hangat.”   “Oke, Sar. Gue keluar, ya,” ucap Mayang.   Di dapur, sudah ada Dio dan Reindra yang sedang meniup-niup gelas berisi s**u jahe mereka yang masih panas. Melihat Mayang datang memasuki dapur, Mang Ujang dengan sigap menyeduh satu gelas lagi untuk Mayang.   “Silakan. Mbak Mayang,” ucap Mang Ujang sembari meletakkan gelas itu di hadapan Mayang.   “Makasih Mang Ujang,” sahut Mayang.   “Ini ada camilan sedikit Mas, Mbak,” ucap Mang Ujang sambil meletakkan sebuah toples kaca, “kecimpring buatan istri saya. Baru jadi tadi sore.”   “Wah, kecimpring! Jadi inget sinetron di TV yang sore-sore itu,” ucap Reindra yang disambut tawa oleh Mayang.   “Wah, makasih banyak ya, Mang Ujang,” ucap Dio sembari membuka toples itu dan menyodorkannya pada Reindra dan Mayang. “Ayo gaes, dicobain.”   Tak lama kemudian ketiganya sudah asyik mengunyah kecimpring yang masih sangat fresh itu.   “Mmm. Ini enak banget loh, Mang Ujang,” ucap Mayang. “Renyah dan gurih banget! Istrinya Mang Ujang bikin ini buat dijual atau dikonsumsi sendiri?”   “Buat dimakan sendiri aja, Mbak. Mau dijual juga bingung, soalnya di sini rata-rata orang pada bisa bikin makanan kayak gini. Nggak ada yang mau beli,” ucap Mang Ujang sambil terkekeh.   “Wah, ya udah. Kalau gitu kita pesen aja buat oleh-oleh temen-temen kantor, May. Gimana?” usul Reindra.   “Nah, ide bagus tuh,” sahut Mayang setuju. “Gue juga mau beli buat nyokap dan temen-temen kost gue. Kalau pesan buat dibawa besok sore bisa, Mang?”   “Bisa Mbak, Mas. Mau pesen seberapa yah, kira-kira?” tanya Mang Ujang.   Kemudian Mayang dan Reindra sibuk menghitung-hitung berapa orang yang ingin mereka bawakan oleh-oleh.   “Heeei, makan sendiri aja kalian, nggak bagi-bagi!” Tiba-tiba Sarah datang dan langsung merebut toples itu dari tangan Reindra. “Eh, kalian lagi ngitung-ngitung apaan, sih?” tanyanya penasaran.   Dan akhirnya malam itu Mang Ujang pulang ke rumahnya di kampung belakang villa dengan membawa catatan pesanan kecimpring cukup banyak untuk disampaikan kepada istrinya.   “Jadi … lo tadi tuh liat apaan sih, May?” tanya Sarah yang merasa penasaran sejak tadi.   Mayang dan Dio saling tatap sesaat, sebelum akhirnya Mayang menceritakannya pada Sarah dan Reindra. Mulai dari mimpinya yang bersambung, dan mata yang dilihatnya di luar jendela dapur serta yang dilihatnya di kolam renang tadi.   “Matanya … warnanya merah, May?” tanya Reindra dengan dahi berkerut.   Mayang mengangguk. “Merah menyala. Bener-bener nyala kayak lampu, tapi bentuknya jelas sepasang mata,” jawab Mayang sembari mengingat-ingat kembali.   “Bentuk pupilnya gimana? Kayak manusia atau kayak binatang?” tanya Reindra lagi.   “Kayak … apa yah, kayaknya sih binatang, tapi gue nggak bisa mendeskripsikan binatang apa,” ucap Mayang.   “Pupilnya bulat atau vertical atau horizontal?” tanya Sarah.   Mayang menatap Sarah sembari berpikir. “Gue … sebenernya nggak bisa lihat jelas bentuk pupil matanya. Tapi ‘kesan’ yang gue dapat, mata itu adalah mata binatang. Ya ... pokoknya bukan manusia, deh.”   “Emang apa bedanya sih, pupil vertical atau horizontal?” tanya Reindra bingung. “Kalau manusia kan, bulat.”   “Manusia, harimau, singa, pupilnya bulat semua,” ujar Dio.   “Iya betul.” Sarah mengangguk. “Tapi bagi hewan yang pupilnya berbentuk garis, memang ada pengklasifikasiannya. Pupil vertikal itu cenderung bersifat predator, yaitu pemakan daging. Kalau pupil horizontal biasanya bersifat mangsa, mereka yang makan daun dan tumbuhan dan biasanya diincar oleh predator.”   “Kok, lo ngerti banget, sih, soal pupil mata binatang?” tanya Reindra pada Sarah.   “Kan gue tukang foto. Sering motret binatang juga, kan,” jawab Sarah enteng.   “Oh, iya,” ucap Reindra.   “Tapi … binatang yang matanya warna merah seperti itu tuh, binatang apa, ya?” tanya Mayang. “Masalahnya warna merahnya tuh kayak nyala, gitu.” "Coba nanti gue googling deh, warna-warna mata binatang," ucap Sarah.   “Tapi sebenernya yang jadi masalah bukan soal warna matanya, kan,” sela Dio. “Masalahnya adalah, kenapa cuma Mayang yang ngeliat, sementara kita nggak liat.” Yang lainnya mengangguk setuju.   “Tapi waktu lo liat mata itu di luar jendela dapur ini ….” Reindra menunjuk ke arah jendela yang tertutup tirai, “lo baru aja habis mimpi, kan, May? Jadi bisa aja yang waktu itu lo masih terbawa mimpi."   “Waktu itu juga gue berpikir begitu,” ucap Dio. “Tapi kalau tadi, Mayang kan nggak habis bangun tidur. Dia bahkan dalam kondisi segar banget, karena habis berenang.”   “Iya. Makanya gue juga kaget banget tadi. Gue jelas loh, ngeliatnya. Mata itu kayak ngeliatin gue dari balik semak-semak di luar villa,” ucap Mayang lirih.   "Mungkin nggak sih, kalau semacam musang atau binatang apa gitu,” tanya Sarah, “kan di sekeliling villa ini memang masih banyak hutan-hutan dan tanah kosong. Bisa aja ada macam-macam binatang di luar sana. Mungkin matanya kelihatan nyala karena pantulan lampu di area kolam renang tadi.”   “Bisa jadi,” ucap Dio. “Tapi kan, mata yang sama seperti tadi itu juga sempat Mayang lihat di luar jendela ini. Padahal jendela ini menghadap ke lembah kosong di bawahnya. Nggak ada lampu apapun di luar jendel ini. Dan ini di lantai dua, loh. Kecuali binatangnya terbang.”   “Hmm ….” Sarah bergumam tidak jelas.   “Mimpi yang lo alami itu, lo inget nggak, apakah pernah mengalaminya sebelumnya?” tanya Reindra kemudian. “Yang kayak lucid dream gitu.”   Mayang menggeleng. “Gue belum pernah mengalami lucid dream sebelumnya. Dan gue juga nggak pernah mimpi tentang hutan kayak gitu sama sekali,” jawabnya. "Pergi ke hutan yang seperti itu juga nggak pernah."   “Hutannya kayak gimana sih, May? Semacam hutan pinus kayak yang tadi kita datangin?” tanya Sarah.   “Jauh banget,” sahut Mayang. “Hutan pinus tadi kan, kesannya nyaman dan indah, gitu. Nah, kalau hutan yang gue masuki di mimpi gue itu, hutannya suram, pohonnya lebat-lebat dan rapat, batang pohonnya juga besar-besar. Tanahnya kering dan berbatu.”   “Agak aneh memang,” ujar Sarah. “Hutan di Indonesia kan rata-rata lembab tanahnya, karena iklimnya tropis. Yah kecuali hutan bekas terbakar, pasti semuanya kering termasuk tanahnya.”   “Nah, itu dia. Kalau hutan di mimpi gue ini, pohon-pohonnya lebat, tapi tanahnya kering and kasar,” ucap Mayang. “Apalagi suara gamelan yang aneh itu ….” Mayang sedikit bergidik.   “Suara gamelannya nggak jelas yah, mainin lagu apa?” tanya Sarah lagi.   “Iya. Nggak jelas.” Mayang mengangguk. “Gue tuh bayanginnya kayak … kayak apa yah ….” Ia berpikir sejenak. “Kayak ada orang yang lagi bete atau bosen di suatu tempat yang ada banyak alat musik gamelan, lalu dia iseng mainin alat-alat itu satu persatu tanpa tau cara memainkannya yang benar.”   Selama sesaat semuanya terdiam memikirkan hal yang aneh ini. Yang terdengar hanya suara gelas berdenting dan tarikan napas panjang.   “Gini, May. Maaf nih ya, sebelumnya,” ucap Dio hati-hati, “bukannya gue mau nuduh lo berhalusinasi. Tapi, terkadang kalau otak kita sedang dalam keadaan stress atau capek, apa yang kita lihat bisa memberi persepsi berbeda.”   Sarah terlihat hendak membantah, tetapi Dio melanjutkan kalimatnya.   “Maksud gue, selagi kita memikirkan apa yang sebenarnya lo lihat tadi, dan yang lo lihat di luar jendela dapur ini, serta kenapa lo bisa mengalami lucid dream yang berulang itu, kita bisa mengusahakan hal lain yang nggak ada ruginya untuk dicoba. Misalnya, terapi kualitas tidur,” ucap Dio.   “Terapi kualitas tidur?” tanya Mayang.   “Iya,” ucap Dio, “ada kok tempat konsultasi untuk keluhan gangguan tidur. Yah, mungkin aja lo terlalu lelah bekerja sehingga tanpa sadar sebenernya otak lo perlu istirahat. Tapi nggak pernah lo istirahatin. Nah, kalau lo mau, nanti gue bantu kenalin sama relasi gue yang ahli terapi kesehatan spesialisasi gangguan tidur. Mungkin aja nanti pikiran lo bisa lebih tenang.”   “Masuk akal, sih,” tanggap Reindra mendukung usul Dio. “Minimal ada yang kita lakukan untuk mengatasi gangguan-gangguan yang lo alami belakangan ini, May.”   “Iya, bener, May. Nggak ada salahnya dicoba,” ucap Sarah.   Mayang berpikir sejenak. “Bener juga. Paling tidak, kalau mimpi aneh gue itu hilang, lumayan mengurangi gangguan di hidup gue, kan,” katanya mengambil kesimpulan.   “Cakep,” ucap Sarah. “Ya udah nanti lo anterin Mayang ke tempat terapi itu ya, Dio.”   “Siap, laksanakan,” ucap Dio sembari tersenyum. “Oh iya, May, kalau lo merasa perlu ngomong atau cerita tentang sesuatu, dikeluarin aja. Jangan dipendam sendiri. Gue siap dengerin, kok, kapan aja lo butuh temen buat cerita.”   Mayang menoleh ke arah Dio, menangkap nada hangat di dalam kalimat Dio. Sementara Dio sendiri justru tak berani menatap Mayang, melainkan pura-pura sibuk dengan gelas di hadapannya yang telah kosong.   Melihat hal itu, mendadak Reindra bangkit dari kursinya sambil berkata, “Waaah, nggak terasa udah jam satu pagi. Tidur aah! Lo nggak tidur, Sar?” ucap Reindra memberi kode keras pada Sarah agar segera mengikuti jejaknya.   “Oh, iyaaa. Aduuh … pegel semua nih badan gue. Habis motret, jalan-jalan, berenang. Tidur aah. Hoaaaahhmmm ….” Sarah menguap dengan sangat meyakinkan kemudian ikut bangkit dari kursinya.   Dalam hati Mayang ingin tertawa terbahak-bahak melihat drama yang diperankan oleh kedua temannya dengan acting yang sangat buruk itu.   “Gue tidur duluan ya, Dio, May,” ucap Reindra.   “Gue juga ya. Dadaah!” ucap Sarah sembari mengekori Reindra keluar dari dapur, meninggalkan Mayang dan Dio duduk di kursinya masing-masing.   Sesaat suasana hening sebelum Dio akhirnya berucap. “Mau nambah s**u jahenya lagi nggak, May? Masih ada tuh di teko,” ucapnya.   Mayang menggeleng. “Nggak, udah cukup, kok,” jawabnya sembari tersenyum.   “May, maaf ya, lo harus ngalamin kejadian kayak tadi di kafe,” ucap Dio akhirnya. Sudah berjam-jam dia menahan diri untuk meminta maaf pada Mayang soal kejadian tidak mengenakkan dengan Dea tadi siang.   “Kok lo minta maaf, Dio? Kan bukan salah lo,” ucap Mayang.   “Yaa … tetap aja ini semua awalnya gara-gara gue. Gue ngajak kalian datang ke acara launching kafe gue. Terus kakak gue datang bawa temannya. Terus si Dea itu ternyata kenal sama lo. Dan dia jadi bisa nyerang lo,” ucap Dio.   Mayang menggeleng perlahan. “Nggak apa-apa kok, Dio. Lo kan nggak tau gue bakal ketemu Dea di sini,” ucap Mayang.   “Iya sih. Cuma gue menyesali aja kejadian tadi siang itu, bikin lo jadi nggak mood liburan. Padahal kan gue rencananya mau ngajak kalian semua senang-senang di sini. Refreshing dan bersantai. Eh, jadi kacau gara-gara si Dea itu,” gerutu Dio kesal.   “Justru gue yang harusnya minta maaf sama lo, Dio,” ucap Mayang. “Gara-gara gue, lo jadi ninggalin acara launching kafe lo tadi. Padahal belum selesai, kan?”   Dio menggeleng. “Itu sih nggak masalah. Yang penting kan peresmiannya udah. Gue udah ngasih kata sambutan buat para tamu. Setelah itu kalau gue pergi ya nggak masalah, kan ada anak buah gue di sana. Yang penting tamunya nggak kekurangan makanan dan minuman. Silakan aja bagi yang mau tinggal sampai sore juga,” jelasnya.   Mayang hanya diam tau tahu harus menanggapi apa. Sikap Dio yang sangat peduli padanya membuatnya sedikit banyak merasa terharu. Di luar dari perasaan Dio terhadapnya, Mayang sangat menghargai apa yang dilakukan semua orang yang ada di sampingnya saat ini termasuk Sarah dan Reindra.   “Ngomong-ngomong … gue boleh nanya sesuatu nggak, May?” tanya Dio. “Eh tapi … kalau lo nggak nyaman, nggak usah dijawab juga nggak apa-apa.” Dio tampak sungkan.   “Tanya aja, Dio. Gue pasti jawab, kok,” jawab Mayang.   “Ng … sebenernya … tadi ada sesuatu yang dikatakan sama Mbak Miranda. Tapi gue nggak bilang ke Sarah sama Reindra,” ucap Dio hati-hati.   “Soal apa?” tanya Mayang. Perasaannya mulai tidak enak.   “Si Dea tadi ngomong di depan Mbak Miranda, Mbak Shita dan Mas Aldo. Katanya … lo itu perempuan bawa sial. Ada kutukan di tubuh lo,” ucap Dio to the point.   Mayang terhenyak. Tak menyangka Dea akan mengatakan hal seperti itu pada kakak-kakak Dio. Lagipula sejak kapan Dea memiliki pemikiran tentang hal itu terhadapnya dirinya? Selama beberapa saat ia tak bisa berkata-kata.   “Kutukan apa katanya?” tanya Mayang akhirnya, memberanikan diri untuk bersuara. Toh, Dio sudah terlanjur masuk ke dalam pembicaraan soal ini.   “Nggak tau kutukan apa,” jawab Dio sembari mengangkat bahu. “Gue cuma heran aja, kok bisa ya si Dea ngomong begitu? Kan udah jelas, kedua mendiang suami lo itu meninggalnya karena serangan jantung. Makanya gue penasaran. Emangnya ada, kutukan yang bikin suami meninggal?”   Mayang menghela napas sejenak, mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan hal ini pada Dio. “Ada,” jawab Mayang.   “Hah?” Dio menoleh cepat ke arah Mayang. “Ada?” Mayang mengangguk, tanpa melihat ke arah Dio.   “Namanya Bahu Laweyan. Sengkolo Bahu Laweyan,” jawab Mayang. “Kutukan yang menyebabkan seseorang selalu kehilangan pasangannya setelah menikah.”   Dio terdiam sejenak, sembari mengerutkan dahi menatap Mayang. “Lo … percaya ada kutukan kayak begitu?” tanyanya.   Mayang menggeleng. “Gue sih, nggak percaya. Tapi memang ada mitos seperti itu. Dan dari apa yang lo ceritain barusan, gue rasa mungkin Dea berpikir kalau gue adalah pembawa kutukan itu. Itu salah satu kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu, Dio.”   “Masa sih? Kok gue nggak pernah denger?” tanya Dio heran. “Kan keluarga gue orang Jawa.”   “Ya karena kita hidup di zaman modern. Tapi kalau angkatan orang tua kita pasti tahu soal itu dan memercayainya. Termasuk nyokap gue,” ucap Mayang lirih.   “Nyokap lo ... percaya adanya kutukan seperti itu?” tanya Dio bertambah heran.   Mayang mengangguk pelan. “Iya. Beliau percaya. Bahkan nyokap gue sendiri pernah bilang kalau gue memang membawa kutukan itu. Makanya setiap kali gue menikah, suami gue meninggal,” jawab Mayang. Ia mengatakan semua kalimat itu dengan cepat, untuk memberi kesan bahwa itu bukanlah hal yang serius .   Sebenarnya Mayang enggan membahas soal ini dengan Dio karena Dio kemungkinan besar memiliki rasa suka padanya. Tetapi setelah kejadian dengan Dea tadi, dan setelah ia berpikir lebih jauh, sepertinya justru Dio harus tahu soal ini. Paling tidak, Mayang bisa melihat bagaimana reaksi Dio jika mendengar tentang mitos kutukan ini.   “Terus … nyokap lo bilang apa lagi, May?” tanya Dio.   Mayang menarik napas panjang. Enggan sekali rasanya mengatakan hal ini. Namun kesediaan Dio untuk mendengarkan cerita Mayang dan sikap terbukanya dalam menawarkan pertemanan sejak awal, membuat Mayang terdorong untuk bersikap terbuka juga pada Dio.   “Nyokap gue … melarang gue untuk menikah lagi. Supaya nggak timbul korban berikutnya,” ucap Mayang pahit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD