Suasana canggung masih menyelimuti kebersamaan Arina dan Alvaro, apalagi ketika mereka sampai ditinggal hanya berdua oleh orang tua Arina, di ruang keluarga. Arina yang awalnya duduk di sofa sebelah Alvaro, sampai geser demi semakin menjaga jarak dari pria yang hampir setiap bulanya datang mengunjunginya, sambil membawa sederet oleh-oleh berupa makanan untuk orang tua Arina. Padahal, baik Arina maupun Alvaro duduk di sofa kecil yang berbeda dan memang hanya bersebelahan. Namun, Arina juga tidak mengerti, kenapa rasa gugup begitu hobi mengaduk-aduk dan mengacaukan perasaannya, di setiap ia harus bersama Alvaro apalagi jika mereka hanya berdua layaknya sekarang? Belum lagi, keringat dingin juga tak hentinya mengalir menghiasi tubuhnya, tanpa terkecuali, ke dua telapak tangannya yang sampai basah. Terlepas dari itu, Arina juga takut, Alvaro sampai mendengar detak jantungnya yang menjadi terdengar kacau sekaligus keras.
“Akhir-akhir ini, aku makin sibuk,” ucap Alvaro sengaja membuka obrolan. Ia melirik Arina yang terlihat jelas masih sangat canggung kepadanya, padahal pertemuan kali ini, sudah menjadi kunjungan ke tiganya kepada gadis yang telah mencuri hatinya, semenjak pandangan pertama. Iya, sifat keibuan Arina terhadap Jio saat itu, saat pertemuan pertama mereka lah, alasan Alvaro meminta bantuan Jio agar bisa mendekati Arina. Bahkan dari Jio pula, Alvaro mengetahui status Arina yang masih jomlo.
Alasan Arina mau menemui dan meluangkan waktu untuk Alvaro, tak lain karena pria itu telah mengantongi restu orang tuanya. Alvaro sudah mengutarakan niat baiknya untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Arina, kepada orang tua Arina. Itu juga yang membuat Arina sangat gugup sekaligus canggung jika hanya berdua dengan Alvaro, apalagi orang tua Arina sudah langsung meminta Arina untuk memberi Alvaro kesempatan.
“Istirahat, Mas, kalau Mas sibuk,” balas Arina sekenanya. Arina sungguh tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi lawan jenis atau itu pria yang akan menjadi pasangannya, padahal jelas-jelas, Arina seorang penulis cerita romantis.
Balasan Arina membuat Alvaro tersenyum geli. Bahagia rasanya lantaran Arina yang di kedatangan ke duanya, dan itu terjadi satu bulan lalu, hanya mendiamkannya, kini sudah mau berbicara meski apa yang Arina balaskan beberapa saat lalu terbilang sangat biasa bahkan terdengar kaku.
Demi mencairkan suasana dan membuat hubungannya dengan Arina semakin dekat, Alvaro sengaja cukup balik badan demi menghadap Arina. “Kamu masih ingat waktu aku bilang mau ada pertemuan penting, pas tanda pengenalku, ke bawa kamu?”
Nada bicara Alvaro yang terdengar santai bahkan dipenuhi keakraban, langsung membuyarkan sedikit ketegangan yang menggerogoti Arina. Arina mulai sedikit mengangkat tatapannya dan memberanikan diri untuk menatap Alvaro. Baru Arina sadari jika Alvaro memiliki senyum yang sangat manis apalagi pria berhidung bangir itu juga memiliki lesung pipit. Dan melihat Alvaro seramah sekarang dengan senyum yang begitu lepas, Arina juga turut hanyut dalam cerita pria itu. Arina ikut tersenyum dan mengucapkan selamat, atas kenaikan jabatan yang Alvaro dapatkan.
Iya, alasan Alvaro tak hentinya tersenyum semringah di tengah kesibukannya bercerita, tak lain karena kenaikan jabatan yang sedang Alvaro bagikan kepada Arina. Di mana, Arina yang cenderung menjadi pendengar baik, baru menyadari jika seorang Alvaro yang ia pikir kalem, ternyata agak cerewet dan memang ‘doyan’ ngobrol.
“Rin, ... ajak Nak Al makan dulu,” seru Marwah dari dalam dan hanya melongok sebentar kebersamaan sang putri dengan pria santun bernama Alvaro.
Seruan Marwah membuat Alvaro dan Arina refleks melongok ke arah pintu menuju dapur yang masih dibiarkan terbuka dan tadi, Marwah melongok dari sana.
“Iya, Mah ....” Arina juga cukup berseru membalas Marwah. Kemudian, dengan perasaan yang maih saja gugup, Arina mengajak Alvaro untuk ikut serta.
“Aku ke kamar mandi dulu,” ujar Alvaro yang langsung bergegas.
Arina mengangguk. “Kalau begitu, aku ke dapur dulu. Takut memang ada yang perlu dibantu,” balas Arina.
Alvaro langsung mengernyit dan menatap penasaran Arina, hingga gadis yang nyaris bergegas dari hadapannya itu juga mendadak mengerem langkahnya, terlepas dari Arina yang menjadi salah tingkah.
“Kamu, bisa masak?” tanya Alvaro.
Susah payah Arina menahan napas demi menyembunyikan rasa gugupnya, sebab Arina sadar, di setiap ia gugup, ia bisa sampai terengah-engah. Akan tetapi, pertanyaan Alvaro barusan, langsung membuat Arina lupa segalanya. Arina mendadak lemas selemas-lemasnya, lantaran di usianya yang sudah dua puluh tiga tahun, ia sangat jarang menghabiskan waktunya di dapur. Kalau tidak untuk makan, Arina sebatas membantu Marwah menyapu atau mencuci gerabah. Selebihnya, Arina hanya akan memasak air atau paling sering merebus mi instan.
Balasan Arina yang begitu jujur, gadis itu yang mengakui tidak bisa memasak di tengah wajah Arina yang sampai pucat, membuat hati Alvaro bergetar. Alvaro yang masih berdiri sambil menunduk demi menatap wajah Arina lebih dalam, sampai kelepasan tangan kanannya yang dengan sendirinya mengusap kening Arina.
Tentunya, apa yang Alvaro lakukan sukses membuat Arina kikuk. Dengan gugup sekaligus malu-malu, Arina memberanikan diri untuk kembali mengangkat tatapannya, meski yang ada, ia hanya berani menatap pria yang terpaut usia tujuh tahun lebih tua darinya itu, melalui lirikan.
Setelah sampai tersenyum masam di tengah kenyataannya yang masih kacau, Arina berkata, “ya sudah, Mas. Aku ke belakang dulu.”
Tak lama setelah Arina baru sekitar tiga langkah meninggalkannya, Alvaro berseru. “Aku enggak minta kamu buat bisa masak, lho, Rin.”
Mendengar itu, ke dua tangan Arina yang masih memilin ujung piama lengan pendeknya, menjadi semakin sibuk di sana, terlepas dari Arina yang sampai menggigit kuat-kuat bibir bawahnya, di tengah degup jantungnya yang semakin keras sekaligus kacau. Arina sampai takut, jantungnya rusak gara-gara Alvaro.
“Lagi pula, aku mana rela, kamu lebih sibuk di dapur, daripada sama aku?” lanjut Alvaro.
Arina yang masih mendunduk menjadi tersipu. Arina sadari, dari dadanya seolah mendadak banyak kupu-kupu tak kasat mata yang berterbangan. “Kenapa aku sebahagia ini hanya karena mendengar pengakuan Mas Al?” pikirnya.
“Rin ...?” panggil Alvaro cukup merintih. Ia telanjur khawatir, gara-gara urusan masak, Arina justru menjadi berkecil hati dan malah mundur dari hubungan mereka yang masih dalam penjajakan.
“Iya, Mas?” Arina masih menunduk, lantaran ia tidak mau membuat orang lain apalagi Alvaro, melihatnya di tengah ke dua pipinya yang ia yakini sampai bersemu akibat terlalu lama tersipu dan itu karena ulah Alvaro.
“Perihal masak, lupain saja. Aku enggak cari tukang masak, kok. Yang kumau istri, dan itu kamu!” lanjut Alvaro.
Arina nyaris gila atas kata-kata cinta dari pria itu. Tanpa bisa menjawab, Arina hanya mengangguk-angguk di tengah kenyataannya yang masih menunduk, sebelum ia berlalu menuju dapur, meski yang ada Arina harus semakin malu lantaran kesibukannya menunduk, membuatnya menabrak tembok di sebelah pintu.
“Rin ...?” seru Alvaro cemas dan kebetulan masih melepas kepergian Arina, meski tujuan awalnya adalah kamar mandi yang ada di seberang ruang keluarga keberadaannya.
“Enggak apa-apa, Mas. Enggak apa-apa ...,” ucap Arina sambil mengelus-elus keningnya dan kemudian buru-buru memasuki area dapur yang membuatnya berpisah dengan Alvaro.
“Ya Alloh, malunya!” gumam Arina yang semakin dibuat bingung lantaran dari balik pintu dapur yang baru akan ia lalui, di sana ada wajah papah mamahnya yang menatapnya dengan sangat penasaran berhias senyuman tak kalah merona dari Arina.
“Gimana ... gimana?” ujar Marwah yang berdiri bersebelahan dengan Pram.
“Sejauh ini, masih lancar, kan?” timpal Pram tak kalah penasaran. Ia masih bertanya dengan tegas dan mungkin karena ketegasan memang sudah melekat di watak pria itu.
Bukannya menjawab, Arina justru tersenyum dan sengaja menghindari Pram dan Marwah, hingga ke dua sejoli itu semakin penasaran.
“Rin ...?”
“Ada deh ....”
Arina sungguh tidak percaya jika mengenai kenaikan jabatan Alvaro yang dipindahkan ke kantor pusat, juga menjadi kebahagiaan luar biasa untuk orang tuanya. Pram dan Marwah semakin mantap mendukung hubungan Arina dan Alvaro, terlepas dari Arina yang tidak memungkiri, orang tua mana, yang tidak bahagia melihat anak gadisnya bersanding dengan pria baik sekaligus mapan. Namun mengenai ‘bersanding’, tiba-tiba saja, hati kecil Arina menanyakan kesiapan Arina untuk hal itu.
Siapkan Arina menikah, sedangkan mengenai cinta saja, Arina belum begitu paham? Apakah ia sungguh akan menikah dengan Alvaro? Dan apakah Arina mencintai atau setidaknya bisa mencintai Alvaro? Tiba-tiba saja, Arina ragu dan masih perlu bukti sebelum ia semakin jauh melangkah. Di mana di saat yang bersamaan, ia melihat Alvaro yang baru datang dan langsung menghentikan tatapannya, kepadanya. Tatapan mereka bertemu, cukup lama sebelum akhirnya Arina menghindarinya. Arina yang kebetulan tengah berusaha menarik kursi yang membelakangi kehadiran Alvaro, memilih untuk menyibukan diri dengan menarik kursi itu, apalagi ke dua orang tuanya juga sudah duduk di kursi kayu yang ada di hadapannya.
Namun sekali lagi, Arina dikejutkan oleh sikap manis Alvaro yang membantunya menarik kursi, hingga Arina yang sempat terdiam tak percaya, memilih menepi dan baru duduk di kursinya, setelah Alvaro mempersilahkannya, di mana pria itu juga berangsur menarik kursi di sebelah Arina, kemudian duduk di sana.
Formasi malam ini terbilang lengkap, meski hati dan pikiran Arina justru kembali melayang-layang memikirkan keseriusannya menjalin hubungan dengan Alvaro. Sebab Arina takut, Alvaro mendadak berubah dan hanya mengajaknya menjalin hubungan pura-pura. Bahkan jika mengingat bayang-bayang masa lalu tersebut, mengenai Zack yang hanya ingin menjadikannya sebagai kekasih pura-pura, Arina jadi sanksi dan telanjur takut untuk melangkah lebih jauh. Kenyataan tersebut pula yang membuat mendung kembali menyelimuti wajah Arina, hingga Marwah dan Pram yang melihatnya menjadi semakin yakin, putri bontot mereka memang memiliki trauma menjalin hubungan.