Di sebuah ruang kerja megah yang dindingnya dihiasi tulisan besar ‘ADIYONO DEVELOPER GRUP’ berwarna keemasan layaknya sebuah tulisan kebanggaan perusahaan pada kebanyakan, Zack Pradipta Adiyono, menatap lekat sebuah bingkai foto 10R berisikan foto seorang yang mengenakan kaus olahraga berwarna biru tua. Kaus basket tak berlengan sedangkan selain tampak lusuh karena berkeringat, sosok berambut setelinga bergelombang itu tersenyum lepas, ke arah rekan-rekan yang mengelilinginya di tengah lapangan basket. Sosok tersebut merupakan Arina muda
Kedua ibu jari CEO dari perusahaan ‘ADIYONO DEVELOPER GRUP’ yang bergerak di bisnis properti dan sudah memiliki banyak cabang di Indonesia itu silih berganti mengelus wajah sosok pemilik senyum lepas tersebut, seiring pandangannya yang menjadi tidak jelas akibat matanya yang telanjur berembun. Rasa sakit itu sungguh tak bisa Zack tahan seiring sederet kenangan yang membuatnya kehilangan banyak kesempatan.
“Rin, sebenarnya kamu ke mana?” batin Zack dengan hati yang terasa sangat sakit. Zack menatap asal ke sekitar, menatap ke luar ruangan melalui jendela kaca yang terhampar sekaligus luas. Dari sana, pandangan Zack dipenuhi menara-menara kecil dari gedung-gedung di sekitar gedung keberadaannya yang tentunya berukuran jauh lebih kecil.
“Lima tahun sudah berlalu, tapi aku masih saja belum bisa menemukanmu,” lanjut Zack yang kemudian mengempaskan kepalanya pada sandaran kursi kerja tempatnya duduk yang bisa diputar sesuka hati. Zack memejamkan pasrah matanya, di mana pria gagah bersetelan jas hitam itu justru mendadak disuguhi sebuah kejadian monokrom yang bergulir di ingatannya, tak ubahnya sebuah film lawas.
“Aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu, Rin! Kamu mau, ya, jadi pacar aku?” Suara seorang pemuda terdengar begitu lembut dipenuhi rasa tulus. Zack mengenali pemuda itu sebagai dirinya ketika masih remaja, yang masih duduk di bangku SMA. Bahkan, saat itu Zack masih mengenakan seragam putih abu-abu termasuk perihal orang-orang di sekitarnya yang langsung menjadi penonton. Pun dengan Arina, gadis tomboy yang tengah menjadi sasarannya. Gadis berambut bergelombang pendek setelinga itu tampak kebingungan menatapnya, khususnya pada sekuntum bunga mawar merah yang turut Zack sodorkan kepada gadis itu. Gadis yang masih sama dengan pengisi bingkai yang kini Zack dekap erat.
Arina Isyani Subekti, nama lengkapnya. Si gadis tomboy berhati hangat yang mempu mengalihkan dunia Zack. Bahkan meski lima tahun telah berlalu, Zack sungguh tidak bisa berpaling dari gadis itu.
Di antara lalu-lalang yang mengenakan seragam putih abu-abu di sana, Zack mendapati mereka yang awalnya hanya berlalu lalang, langsung menonton apa yang Zack lakukan. Zack sendiri sengaja mengungkapkan cintanya kepada Arina.
“Zack … Zack. Kamu ini kenapa? Kamu boleh saja memacari semua cewek bahkan yang lebih tua dari kamu sekalipun. Tapi masa iya, cewek jadi-jadian sekelas Arina saja, juga kamu sikat? Kamu yakin, dalaman Arina enggak bikin kamu terkejut? Masa iya … pisang makan pis ... duh gimana yah, ngomongnya? Pengin jujur tapi takut jadi gosip!” celetuk salah seorang cewek yang berada di barisan paling depan.
“Lah … kabarnya si Arina malah transgender. Katanya sih, ‘dibongkar-pasang’ di Thailan!” timpal cewek di sebelahnya dan sukses membuat tawa pecah seketika.
Rentetan kata-kata tersebut membuat Zack syok. Pemuda berwajah rupawan berkulit putih bersih itu langsung menatap geram orang-orang di sekelilingnya yang masih tertawa. Terlebih, Zack mendapati Arina yang menunduk justru sampai berlinang air mata, meski gadis itu juga buru-buru menyekanya.
“Kalian ngomong begitu seolah-olah kalian ini berpengalaman banget ya? Aku jadi penasaran, jangan-jangan malah kalian yang pernah ‘bongkar-pasang’ di Thailand!” Namun, Arina juga tidak tinggal diam. Cewek tomboy itu tersenyum miris sebelum berlalu bersama hujan yang mendadak mengguyur deras.
Tak ubahnya Arina, semuanya juga langsung bubar sekaligus berteduh, meski kedua cewek yang sempat Arina balas juga langsung meradang. Sedangkan Zack yang tidak mau sesuatu yang buruk sampai menimpa Arina, juga langsung mengejar Arina yang terus berlari meninggalkannya. Saat itu, Zack berhasil menahan sebelah pergelangan Arina dan membuat langkah gadis itu berhenti. Tepat di sebuah lorong menuju lorong kelas di lantai dasar. Arina yang berbalik langsung mengenyahkan tahanan tangan Zack. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Zack tersentak, di mana kejadian tersebut juga sampai membuat Zack kembali ke alam sadar.
Kini, di alam sadarnya, Zack yang berangsur membuka matanya hanya bisa menyesali segala sesuatunya. “Bahkan meski dulu aku sempat menahanmu, tapi nyatanya aku tetap tidak bisa membuatmu bersamaku!” batinnya.
Sebuah ketukan pintu dari luar membuat Zack terusik. “Masuk,” sergahnya setelah sebelumnya sampai menyeka air matanya dan buru-buru menyimpan bingkai berisi foto Arina, ke laci di hadapannya.
Zack langsung membenarkan posisi duduknya dan bersikap setegas sekaligus sewibawa mungkin. Ia dapati, seorang pria bersetelan jas hitam dan berdasi, melangkah pasti menghampirinya diiringi oleh seorang pelayan yang mendorong semua meja troli. Fokus Zack langsung tertuju pada meja troli yang tertutup kain merah.
“Tuan, ... ini berlian yang Tuan pesan untuk ulang tahun Nona Arina,” ucap si pria bersetelan jas hitam tersebut, sambil tersenyum ramah. Edward namanya, dan merupakan orang kepercayaan Zack yang sudah mengikuti Zack selama tiga tahun terakhir, semenjak Zack mulai menjadi CEO di perusahaan mereka, setelah Frans Adiyono papah Zack selaku pemilik saham terbesar di perusahaan mereka, menyerahkan segala sesuatunya kepada Zack.
Zack tersenyum simpul. Ia sengaja mengempaskan punggungnya dan membuat duduknya terlihat jauh lebih santai. “Bukalah ....”
Setelah Edward mengangguk sopan, ia segera menunaikan titah Zack. Ia membuka kain merah selaku penutup meja yang membuatnya mendapati cepuk hati berwarna merah dan berukuran besar, di mana setelah membuka cepuk hati tersebut dengan hati-hati, satu set perhiasan berlian berwarna putih langsung membuatnya bahkan sang tuan muda, berbinar-binar menatapnya.
“Selamat ulang tahu, Rin!” batin Zack yang sampai menegapkan punggungnya. “Bawa itu ke sini,” titahnya kemudian dengan cukup tidak sabar. “Andai, kamu ada di sini dan melihat aku sudah berubah, Aku benar-benar sudah berubah demi membangun kebahagiaan untukmu, Rin!” Zack yang masih berbicara dalam hatinya, menatap satu set perhiasan yang disuguhkan kepadanya, dengan mata yang berembun.
“Tuan, masih ada lagi. Mengenai tas, heels, juga perlengkapan basket untuk Nona Arina. Tuan, ... mau memastikannya sekarang juga?” lanjut Edward yang sampai hafal, di setiap ulang tahun wanita bernama Arina dan ia ketahui sebagai calon istri tuan mudanya, Zack tidak pernah absen membelikan perlengkapan basket berupa pakaian olahraga, sepatu, berikut bola basketnya, meski keperluan wanita seperti tas, heels dan perhiasan juga selalu menjadi hadiah paling mewah yang harus Edward sediakan sedemikian rupa sesuai arahan Tuan Mudanya.
Mendengar lanjutan Edward, Zack makin bersemangat. Ia sampai beranjak dari duduknya dan menghampiri kepercayaannya yang tengah menyambut troli berikutnya. Seorang pelayan pria berseragam putih hitam, mendorongnya dengan hati-hati. Tak ubahnya troli pertama, troli tersebut juga kembali ditutup kain merah. Dan seperti apa yang Edward jelaskan, troli tersebut masih berisi pesanan barang yang akan Zack hadiahkan untuk Arina berupa tas, heels, berikut perlengkapan basket.
“Jika orang-orang bahkan keluargaku tahu, bahwa wanita yang kumaksud sebagai istriku justru belum juga bisa kutemukan hingga detik ini, kupastikan, mereka pasti akan menganggapku gila, karena aku tetap menyiapkan semua ini, padahal aku saja, tidak tahu kamu ada di mana? Namun, apa pun yang terjadi, kupastikan, aku akan segera menemukanmu dan membuatmu selalu bersamaku tanpa bisa meninggalkanku lagi!” batin Zack.
****
Malamnya, sekitar pukul tujuh, ketika menjalani perjalanan pulang, Zack dikejutkan oleh hujan yang tiba-tiba mengguyur dengan deras bersama macet yang membuat mobilnya harus semakin menunggu. Apalagi di jalanan keberadaannya sudah dipenuhi kendaraan dan lebih mirip dengan semut yang sedang berusaha merayap dan berusaha sampai secepat mungkin.
Zack yang duduk di tempat duduk bagian tengah seorang diri, sedangkan Edward duduk di sebelah sopir, memilih untuk mengamati sekitar. Di saat itu, Zack mendapati sepasang sejoli yang baru menepi di depan ruko tepi jalan, dan kebetulan ruko tersebut dalam keadaan tutup, terlepas dari ruko-ruko di sekitar sana yang belum sepenuhnya jadi, dan sepertinya memang masih dalam proses penggarapan.
Ke dua sejoli tersebut adalah Alvaro dan Arina yang baru menepi dari motor gede dan biasanya Alvaro gunakan ketika sedang dinas kerja. Hanya saja, meski Zack bisa melihat wajah Alvaro dengan jelas yang kemudian buru-buru melepas jaketnya, tidak dengan wajah Arina lantaran gadis yang mengenakan celana panjang warna hitam berikut bluse panjang warna jingga muda itu, langsung memunggungi keberadaan Zack. Arina yang sampai menggigil setelah tubuhnya kuyup, sibuk menggosok-gosokan ke dua tangannya yang kemudian ditempelkan pada wajah.
Zack yang masih memperhatikan Alvaro, mendapati pria tersebut melepaskan jaketnya kemudian mengenakannya kepada Arina. Di mana, tak lama setelah itu, Arina menengadah dan menatap Alvaro. Namun, Zack sungguh tidak melihat wajah Arina lantaran pria itu hanya bisa melihat punggung Alvaro.
Arina memberikan senyum terbaiknya kepada pria yang selama satu tahun terakhir, telah mewarnai hidupnya. Pria santun yang tak hanya membuatnya merasakan bahagia dan berani mengenal apa itu cinta. Sebab hal yang sama juga Alvaro lakukan kepada orang tua Arina. Alvaro tipikal pria idaman yang memang tak hanya peduli kepada Arina, melainkan juga orang tua Arina berikut keluarga Arina di dalamnya.
Selama satu tahun terakhir, Alvaro memang berhasil meyakinkan Arina dan membuat gadis itu keluar dari trauma masa lalu akibat ulah Zack. Dan yang lebih spesialnya, di hari ulang tahun Arina kali ini, mereka juga akan merayakan hari jadi hubungan mereka untuk pertama kalinya. Bahkan alasan kepergian malam ini juga tak luput untuk merayakan ke dua hari spesial tersebut.
Ketika Alvaro menuntunnya untuk menghadap pria itu kemudian memeluknya dengan erat, Arina tidak sengaja mendapati mobil Zack yang melaju secara perlahan, sedangkan Zack yang duduk di tempat duduk penumpang, sudah menatap fokus ke depan. Arina langsung mengenali Zack meski gadis itu hanya melihat pria itu dari samping. Namun, Arina tidak menanggapi kenyataan tersebut dengan berlebihan, terlebih semenjak Alvaro ada, hidup Arina hanya berporos pada Alvaro berikut hubungan mereka, tanpa ada orang lain, bahkan itu Zack.
“Tahu begini, tadi pakai mobil saja, ya?” lirih Alvaro yang kemudian menatap Arina penuh sesal.
Arina hanya mesem dan kemudian menggunakan tangan kanannya untuk menyapu sebagian rambut Alvaro yang menutupi sebagian wajah pria itu. Dan Alvaro langsung tersipu atas sederet perhatian kecil yang akhir-akhir ini kerap Arina lakukan kepadanya.
“Selamat ulang tahun!” lirih Alvaro sambil menatap Arina penuh cinta.
“Mas sudah bilang itu dari awal bulan, dari kemarin, dan dari tepat pergantian hari ini, paginya pas Mas bangunin aku. Pas makan siang, pas tadi akhirnya kita bertemu,” balas Arina yang masih tidak berani menatap bahkan sekadar membalas tatapan Alvaro jika jarak mereka sedang sedekat sekarang.
Alvaro yang menjadi kian tersipu atas penjelasan sang kekasih yang menghitung seberapa banyak ia mengucapkan ulang tahun kepada wanita itu, berkata, “enggak sekalian kamu total, seberapa banyak aku ngucapin buat kamu?”
Arina menggeleng pelan. “Susah, Mas. Terlalu banyak,” balas Arina yang kemudian menjadi tersipu seiring ia yang balas menatap Alvaro.
“Rin ...?”
Nada bicara Alvaro menjadi serius. Dan kenyataan tersebut langsung membuat Arina tegang. Jantung Arina langsung berdetak lebih cepat. “I-ya ...?”
“Kalau malam Minggu besok, aku bawa keluargaku ke rumah orang tuamu, buat lamar kamu, kamu siap?” ucap Alvaro sangat serius.
Lemas. Ucapan lanjutan Alvaro sungguh membuat Arina lemas. Tubuh gadis itu seolah tersengat aliran listrik hingga Arina mendadak tak berdaya.
“Aku minta persetujuanmu. Kalau memang kamu belum siap, enggak apa-apa. Tapi kalau sudah, nanti sepulang kita makan, aku akan langsung bilang ke orang tuamu,” lanjut Alvaro. Apa yang tengah ia lakukan, membuat dunia seolah hanya miliknya dan Arina. Bahkan meski kini mereka ada di tempat yang tergolong tempat umum. Meski tentu, tidak semua orang akan menyadari keberadaan Arina lantaran tubuh Arina yang semampai pasti tertutup oleh tubuhnya, jika harus dilihat dari kejauhan.
“Bentar, Mas. Aku tegang,” lirih Arina yang kemudian meremas kaus putih bagian d**a Alvaro. Kenyataan tersebut sukses membuat Alvaro menahan tawa.
Melihat Alvaro yang menjadi sibuk menahan senyum karenanya, Arina juga menjadi tersenyum geli. Alvaro memang begitu. Selalu memberi Arina kebebasan dan bahkan meski Arina sadar, di usia pria itu yang sudah terbilang matang, Alvaro pasti sudah ingin menjalin hubungan serius. Sebuah pernikahan impian yang akhir-akhir ini kerap pria itu singgung kepada Arina.
“Ya sudah, Mas. Aku siap!” ucap Arina akhirnya dan langsung membuat Alvaro terdiam tak percaya.
Seiring kebersamaan mereka, bersama Alvaro memang tidak pernah membuat Arina ragu. Arina percaya, Alvaro yang dewasa dan selalu mengayominya, akan menjadi suami yang baik. Alvaro sungguh akan menjadi kepala rumah tangga yang baik untuk keluarga mereka.
“S-serius?” ucap Alvaro kelewat lirih.
Arina yakin, Alvaro tengah berusaha memastikan jawaban yang baru saja ia berikan, terlepas dari detak jantung pria itu yang sampai terdengar kacau sekaligus kencang. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Arina tersipu lantaran pada kenyataannya, seorang Alvaro yang selalu menanggapi segala sesuatu dengan tenang, nyatanya bisa gugup bahkan tegang. Akan tetapi, semuanya berubah total. Arina sungguh kalah telak dan tak lagi bisa menertawakan Alvaro, ketika pria yang baru meminta izin untuk melamarnya itu, justru mengunci bibirnya dengan lumatan-lumatan lembut. Jantung Arina seperti lepas dari posisi semestinya, terlepas dari Arina yang merasa sangat lemas, lantaran di usia hubungan mereka yang baru genap satu tahun, nyatanya Alvaro sudah berani mencium bibirnya dengan mesra.
Arina sungguh gugup. Apalagi biar bagaimanapun, Alvaro adalah yang pertama. Pria itu tak hanya pacar pertama, melainkan pria pertama yang menciumnya. Parahnya, saking gugupnya, tak lama setelah ciuman mereka berakhir di mana Alvaro juga sampai mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, yang ada, Arina menjadi sibuk cegukan dan sulit menghentikannya.
"Lho ...?" Alvaro kebingungan dan segera mengambil bekal air minum dari tas Arina yang selalu membawa bekal minum di setiap kepergiannya. Ia menuntun Arina untuk minum setelah sampai mengambil alih tas Arina dan mengempitnya di pundak kanan.
Bersambung ....