Pagi ini, keheningan menyelimuti meja sarapan. Kebetulan, hari ini Arina ada acara di luar, jadi Arina sudah bergabung untuk sarapan bersama orang tuanya. Karena sesuai jadwal sekaligus kesepakatan, pagi menjelang siang hari ini, Arina ada pertemuan dengan ‘Start Gold Vision’, selaku PH yang akan mengajak Arina kerja sama untuk menggarap sebuah proyek film. Lebih tepatnya, salah satu n****+ Arina akan diadaptasi ke layar kaca menjadi sebuah film.
Di meja makan sederhana milik mereka yang terbuat dari kayu bercat keemasan, Jio kembali menyertai kebersamaan. Bocah gembul itu sudah tampak rapi, karena sesuai jadwal pula, hari ini Jio akan sekolah sebelum nantinya langsung dijemput pulang oleh orang tuanya. Sedangkan melihat Arina yang hanya diam dan fokus dengan mi goreng di piringnya, Jio menjadi enggan untuk menyapa. Jio terlalu takut, setelah apa yang terjadi semalam, di mana kedatangan Alvaro sukses membuat keributan.
Tak beda dengan Jio, Marwa dan Pram juga enggan menyapa Arina lebih dulu. Mereka telanjur takut sekaligus merasa bersalah kepada Arina. Namun, Marwa yang duduk tepat di sebelah Pram dan berhadapan dengan Arina, diberi kode keras oleh Pram melalui lirikan berikut sikutan untuk mencairkan keadaan.
Marwa berdeham. Ragu-ragu ia menatap Arina dan kadang melirik Pram. “Rin …?”
Tanpa banyak perubahan, Arina yang masih menghabiskan mi goreng di piringnya, berangsur menatap sang ibu.
Sedangkan Jio yang duduk di sebelah Arina, juga siap menyimak.
“Mengenai kejadian semalam, ….” Marwa melirik Pram. Masih ragu untuk mengatakan mengenai perkara semalam. “Kami minta maaf. Kami enggak bermaksud menjauhkan kamu dari jodoh. Kami hanya berusaha memastikan semua yang mendekat ke kamu, pria baik-baik.”
Sembari terus menyimak, Arina juga memelankan kunyahannya. “Yang semalam, maksudnya Mas Al?” tanya Arina memastikan.
Sekali lagi, Marwa tak lantas menjawab. Marwa melirik Pram lebih dulu sebelum mengangguk dan membenarkan anggapan Arina. “Kami lihat, Alvaro itu pria baik. Dia juga dewasa dan santun.”
Mendengar lanjutan ucapan Marwa, Arina buru-buru mengoreksi. “Mah, Pah … aku sama Mas Al, enggak ada hubungan apa-apa, kok. Bahkan kami baru bertemu kemarin. Kalian jangan salah paham.”
“Memangnya, kamu mau cari yang kayak apa?” Pram memberanikan diri untuk berkomentar.
Arina yang baru mengarahkan sumpit ya untuk kembali menyumpit mi di piringnya, langsung terdiam. Ia menatap Pram sambil tersenyum masam tanpa balasan berarti, sebelum akhirnya ia kembali menikmati mi goreng sea food buatan Marwa yang rasanya selalu juara.
“Kamu nunggu, Zack?” tebak Pram sambil mengunyah mi goreng di mulutnya. Pram mengatakan itu semua tanpa beban. Namun, dampak dari ucapannya justru membuat sang putri terbatuk-batuk.
Jio yang duduk di sebelah Arina langsung meraih segelas air putih miliknya, dan memberikan minuman tersebut kepada sang bibi. Tentunya, Arina yang telanjur tersiksa dengan keadaan yang menimpa, memilih untuk segera menerimanya, setelah ia sampai mengangguk sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada Jio. Tentunya, seperti biasa, setelah nama Zack kembali disebut dalam kebersamaan mereka, Arina buru-buru melepaskan diri dari sana. Arina terlanjur parno pada semua yang berhubungan dengan Zack.
Namun di balik sikap Arina yang terlihat jelas sengaja menghindari semua yang berhubungan dengan Zack, Pram dan Marwa juga semakin bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Arina dan Zack, sampai-sampai, Arina yang tidak pernah bersama pemuda lain kecuali Zack yang mereka ketahui sebagai sahabat baik Arina, justru terkesan anti dan selalu menghindar jika mereka membahas Zack?
****
Semenjak kedatangan Alvaro, hubungan Arina dan ke dua orang tuanya seolah berjarak. Arina sendiri sengaja menyendiri lantaran dirinya tidak mau diajak untuk membahas mengenai pasangan, bahkan meski sekadar berpacaran. Lagi pula, selain Arina yang memang tidak pernah berkomunikasi dengan Zack, bahkan Arina yakin pemuda itu sudah melupakannya, semenjak kedatangannya juga, Alvaro tak lagi menghubungi Arina. Sungguh tak ada yang spesial dan memang tak seharusnya Pram dan Marwa peributkan. Tentunya, Arina tak mau terjerat pemikiran kolot yang memaksanya untuk segera memperlangsungkan pernikahan, hanya karena berpatokan pada usia. Arina baru berusia dua puluh tiga tahun yang mana bagi Arina, di usianya itu ia hanya perlu menjadi pribadi yang lebih bekerja keras.
****
Marwa dan Pram semakin yakin, jika Arina mengalami kelainan dalam urusan asmara. Putri bontot mereka itu bahkan seolah tidak tertarik dengan percintaan. Bahkan lebih parahnya, Arina mengidap ‘philophobia’, sebuah ketakutan akan keterikatan emosional. Suatu keadaan yang membuat seseorang takut berada di dalam hubungan bahkan untuk sekadar jatuh cinta! Jadi, ketika sebulan kemudian setelah kedatangan Alvaro dan pria itu kembali datang, mereka langsung menyambutnya dengan suka cita. Mereka sangat berharap, melalui Alvaro yang santun, Arina mau membuka diri dan mulai memikirkan untuk berkomitmen.
Sore menjelang malam, seperti kedatangan awalnya, Alvaro datang setelah sebulan tak berkabar. Pria santun itu datang dengan dua kantong berisi beberapa styrofoam yang menyeruakan aroma sangat sedap dan langsung membuat Pram dan Marwa, refleks menelan salivanya, lantaran aroma lezat tersebut langsung mengguncang lambung mereka.
“Sebentar, yah Nak Al. Arinanya masih di kamar. Sebulan ini, Arina sedang fokus mengerjakan proyek film. Bahkan saking seriusnya, Arina sampai jarang keluar dari kamar.” Marwa undur setelah turut basa-basi dan menerima kehadiran Alvaro dengan santun. Ia meninggalkan Alvaro hanya berdua dengan Pram.
“Proyek film? Memangnya, profesi Arina apa?” batin Alvaro yang menjadi bertanya-tanya sambil sesekali mengamati suasana sekitar yang terbilang terlanjur sepi. Tak ada suara kehidupan lain selain suara deru napasnya mau pun Pram, dan juga jam dinding di sebelah mereka.
“Kalau Jio enggak di sini, rumah memang sudah terbiasa sepi. Tapi karena sekarang bukan hari libur, jadi, … ya sepi seperti kuburan seperti ini.” Pram tersenyum kecut.
Berbeda dengan awal pertemuan mereka, kini Pram memang menyikapi Arina dengan jauh lebih hangat. Sebuah kenyataan yang perbedaannya bisa Alvaro rasakan dengan jelas.
“Di rumah juga begitu, Om. Apalagi, saya juga anak tunggal,” balas Alvaro masih menyikapi Pram dengan sangat santun.
“Oh, kamu anak tunggal? Pasti kerasa banget, ya? Arina pun sepertinya begitu semenjak Anita mamah Jio, menikah,” sanggah Pram tak mau membuat kehangatan dalam kebersamaan usai. Ia ingin membebaskan Arina dari kebiasaan gadis itu menyendiri sekaligus menutup diri.
Alvaro mengangguk santun sambil tersenyum tipis dan mulai meraih gagang cangkir sesuai tuntunan Pram yang langsung mengajaknya untuk menikmati secangkir teh manis suguhan Marwah.
****
Setelah mengetuk pintu kamar Arina dengan hati-hati, Marwah juga memasuki kamar Arina dengan hal yang sama, di mana kebetulan, kamar Arina tidak dikunci, terlepas dari Arina yang langsung berseru dan mengizinkannya untuk masuk. Marwah dapati, meja kerja Arina yang sudah dipenuhi gelas bekas kopi. Terhitung, ada lima gelas berisi bekas kopi yang dengan kata lain, sebanyak itu juga hari ini anak perempuannya mengonsumsi kopi demi bisa tetap berkosentrasi menyelesaikan pekerjaan yang sedang ditangani.
“Yang benar saja hari ini, kamu sudah minum lima gelas kopi, Rin?” sergah Marwa sengaja mempercepat langkahnya.
Arina yang sedang sibuk mengetik di laptop dan kali ini duduk di kursi kerja yang berada di sebelahnya, langsung menoleh. “Nanggung, Bu. Telanjur ngantuk jadi ditawar pakai kopi!” ujarnya di tengah jemarinya yang tetap sibuk mengetik.
Awalnya, Arina tetap fokus dengan laptop berikut kesibukannya menulis. Pun meski Marwah langsung menegur habis-habisan gadis itu akibat kebiasaan Arina dalam mengopi yang dikata Marwa sudah over dosis. Namun, ketika nama : Alvaro disebut, Marwa mengabarkan jika pria itu datang dan sampai membawa oleh-oleh, dengan sendirinya jemari Arina juga berhenti mengetik.
“Mas Al, datang? Mau ngapain, Mah?” tanya Arina terheran-heran menatap Marwah di tengah kenyataannya yang masih mengenakan piama panjang warna biru muda, dan bisa Marwa pastikan jika dari kemarin, anak gadisnya itu sampai lupa mandi saking sibuknya Arina dengan pekerjaannya.
Di tengah suasana kamar yang masih remang-remang karena Marwah yakin, Arina sampai tidak sempat menyalakan lampu kamar dan hanya mengandalkan penerangan dari layar laptop, Marwa segera menekan sakelar di sebelah pintu kamar Arina dan membuat suasana di sana menjadi terang benderang.
“Ya nemuin kamu. Masa nemuin Mamah? Bisa-bisa, dia beneran ditembak lah sama papahmu!” jawab Marwa yang kemudian meraih setiap cangkir bekas kopi di meja Arina.
“Tapi, kami enggak janjian?” balas Arina yakin. Ia menatap sang mamah yang kali ini hanya terpaut sekitar satu meter darinya. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kerja Arina.
“Coba cek ponselmu. Nak Al bilang, dia sudah hubungin kamu,” balas Marwah yang kemudian berlalu bersama gelas bekas kopi yang membuat kedua tangannya penuh.
Arina yang semakin penasaran akan maksud kedatangan Alvaro, segera meraih ponselnya yang seharian ini tidak ia perhatikan, lantaran ia terlalu sibuk dengan laptopnya. Benar saja, di pesan biasa ada pesan dari nomor Alvaro yang hingga saat ini belum ia simpan ke kontak ponselnya.
[Hallo, Rin. Apa kabar? Lama enggak dengar kabar kamu. Kamu sehat, kan? Omong-omong, sore ini aku akan ke rumahmu. Semoga kamu enggak sibuk.]
“Rin …?”
Suara Marwah yang terdengar cukup jauh lantaran wanita itu sudah di ambang pintu kamqr Arina, mengalihkan fokus Arina dari layar ponselnya yang dihiasi pesan dari Alvaro.
“Ini malam Minggu. Cepat berkemas. Mandi dan temuilah Nak Alvaro. Enggak enak kalau bikin dia semakin menunggu,” lanjut Marwah yang memberi Arina kode keras.
“Malam Minggu?” batin Arina yang menjadi termenung sambil menggigit kuat-kuat bibirnya. Padahal bagi Arina, semua malam maupun hari saja saja. Benar-benar tidak ada yang spesial.
Sedangkan bagi Marwah yang meninggalkan Arina, semoga, kehadiran Alvaro mampu mengubah hidup Arina. Semoga, Arina mau membuka hatinya untuk pria itu.
Bersambung ....