5. Masih Tentang Gamma

1410 Words
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipasi wajah dengan telapak tangannya. Cuaca hari ini sangat panas. Bahkan jauh lebih panas daripada biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena dan dua teman barunya—Nada dan Manda—langsung ke kantin, tepat setelah bel istirahat pertama berbunyi. Sebenarnya, Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada, pacar Gamma terus membujuknya supaya mau ke kantin bersama. Katanya, agar mereka bisa mengobrol dan jadi lebih akrab. Ditambah lagi, Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujui ajakan Nada. Alena pikir akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang ia sukai. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan mereka, ternyata bukan pilihan yang buruk. Jika Nada memiliki wajah judes, tapi aslinya baik. Lain halnya dengan Manda. Gadis penyuka makanan manis itu berwajah polos, persis anak kecil, tapi punya selera humor yang receh. Dan lagi, mereka sama-sama pandai mencairkan suasana. Jadi, ia merasa sangat diterima di sini. Sambil mendengarkan ocehan Manda yang membicarakan adik kelas menyebalkan, Alena memasukkan potongan bakso ke dalam mulutnya. Ia menggeleng kecil saat melihat Nada menyedot es jeruk kedua yang gadis itu pesan. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka kalau di balik wajah judes Nada, gadis itu adalah seorang yang doyan makan. Benar rupanya kata orang, kalau kebanyakan orang kurus itu makannya banyak. “Habis, Nad?” tanyanya sambil memotong bakso. Saat ini hanya tersisa ia dan Nada di meja itu, karena Manda pergi ke toilet. “Iya nih, Len. Haus banget soalnya.” Nada menggeser gelasnya yang sudah kosong. “Gue baru tahu lo bisa habisin dua gelas es jeruk sekaligus. Itu bakso juga udah hampir habis aja.” Alena mengedikkan dagu ke mangkuk bakso milik Nada. Bukannya tersinggung, Nada justru tertawa. “Nggak usah kaget, Len, ini cuma bakso. Nih ya, gue kasih tahu. Gue cinta mati sama nasi goreng.” “Heh, serius? Terus kenapa tadi lo nggak pesan nasi goreng aja?” “Enggaklah, gue mau cari aman. Habis ini pelajarannya Pak Kumis, gue nggak mau kalau sampai dihukum gara-gara tidur pas pelajarannya. Sumpah ya, horor banget kalau dapat hukuman dari dia.” Nada bergidik ngeri, membayangkan hukuman apa yang akan diberikan oleh gurunya itu kalau ketahuan tidur di kelas saat pelajarannya berlangsung. “Emang lo udah pernah dihukum, Nad?” tanya Alena. Nada mengangguk, dan berikutnya mengalirlah sebuah cerita. “Jadi, waktu itu gue telat. Akhirnya, gue masuk sambil sembunyi-sembunyi, takut ketahuan ‘patroli’ sekolah. Pas itu patroli lewat, gue sembunyi di dekat tangga, tapi gue ngerasa ada orang lain juga di belakang gue. Gue pikir orang itu sembunyi karena telat juga. Jadi, gue bersikap biasa aja. Tapi lo tahu apa yang terjadi selanjutnya?” Alena menggeleng. “Orang itu tiba-tiba deham gitu, dan pas gue balik badan, ternyata itu Pak Kumis. Gue diceramahin habis-habisan, habis itu dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali. Coba lo bayangin, Len, lapangan segede itu dan gue disuruh lari sepuluh kali. Gemporlah kaki gue! Saran gue, lo jangan pernah coba-coba berurusan sama dia, deh, daripada lo menyesal gara-gara hukuman dari dia.” “Enggaklah, gue juga nggak mau,” balas Alena. “Oh iya, Nad, gue mau nanya sesuatu boleh, nggak?” “Mau nanya apa?” Alena mendadak ragu, tapi karena besarnya rasa penasaran, pada akhirnya, ia memilih menuntaskan rasa penasarannya. “Sorry, sebelumnya. Gue mau nanya, lo udah lama ya kenal sama Gamma?” “Kenapa emang?” Nada balik bertanya. “Nggak apa-apa, sih, Nad. Gue cuma ngerasa Gamma beruntung banget bisa dapatin lo. Padahal kesan awal ketemu lo, gue pikir lo cewek judes dan nggak gampang jadi teman lo, tapi ternyata gue salah. Lo justru orangnya asyik. Sorry ya, kalau gue sempat mikir buruk soal lo.” Nada mendorong mangkuk baksonya yang sudah kosong ke samping gelas. “Santai aja, Len. Semua orang juga punya pemikiran sama kayak lo pas pertama kali ketemu gue. Mereka bilang gue judes, cuek, gitulah pokoknya, padahal kan muka gue judes karena udah default-nya begini,” jawab Nada. “Kalau lo sendiri, udah berapa lama kenal sama Gamma? Kayaknya waktu kita pertama kali ketemu, kalian berdua kelihatan akrab sama dia.” Yang satu ini sama sekali tidak pernah Alena duga. Pasalnya, niatnya tadi hanya ingin mengulik informasi dari Nada tentang Gamma, tapi ia justru ditanyai balik oleh gadis itu. Tiba-tiba rasa gugup merasukinya. Gamma mantan gue. Harusnya tiga kata itu yang Alena katakan, tapi kemudian yang keluar dari mulutnya adalah, “Gue dan Gamma pernah satu SMP. Tapi pas kelas delapan, gue pindah ke Balikpapan karena Papa pindah tugas ke sana. Makanya, gue nggak nyangka banget bisa satu sekolah sama dia lagi. Sumpah, gue senang banget, Nad!” Ya, semua tentang Gamma selalu bisa membuat jantung Alena berdebar kencang. Pun binar di matanya selalu menyala setiap kali membicarakan laki-laki itu. Sayangnya, untuk kali ini rasanya ia sudah melewati batas. Sebab, gadis di hadapannya justru tidak merespons apa-apa setelah ia menyelesaikan ceritanya. “Nada, sorry. Lo nggak lagi cemburu sama gue, kan?” tanyanya hati-hati. Nada mengerjap. “Hah, cemburu? Enggak! Enggak, gue nggak cemburu kok, Len.” Gadis itu menyunggingkan senyum. Namun, Alena tahu kalau Nada tidak benar-benar tersenyum tulus padanya. *** Bel pulang baru saja berbunyi, tapi koridor lantai dua sudah ramai mirip orang demo. Ini hari Rabu, dan murid-murid ingin segera mendinginkan kepala mereka setelah dipakai untuk melahap berbagai jenis rumus. Memang, jika hari Senin sampai Kamis, mata pelajaran utama jurusan diajarkan pada jam pertama sampai keempat dan jam ketujuh sampai jam terakhir. Sedangkan hari Jumat, pelajaran utama diajarkan pada jam pelajaran pertama sampai kedua saja. “Lo dijemput, Len?” Pertanyaan Manda mengalihkan Alena dari kegiatannya membereskan buku-bukunya. Kelas sudah kosong. Hanya tersisa ia, Nada, dan Manda. Riga baru saja keluar kelas. “Iya, gue dijemput. Lo berdua pulang bareng?” “Nada nebeng gue, sekalian mau mampir ke rumah dia. Lo mau ikut?” “Lain kali aja, ya. Gue udah dijemput,” jawab Alena. Gadis itu bergegas keluar kelas, melangkah cepat di koridor yang mulai sepi. Pandangannya sesekali menyapu sekitar, mencari seseorang, tapi yang dicari tidak ketemu. Alena melangkah menuju gerbang sekolah. Tadi papa sudah memberitahu bahwa pria itu sudah menunggu di depan. Dan benar saja, mobil papa sudah terparkir di seberang sekolah. Ia pun segera membuka pintu penumpang depan dan masuk. Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Budi bergerak meninggalkan area sekolah. Di dalam mobil, tidak ada pembicaraan seru. Yang ada malah Budi yang kembali bersikap protektif setelah melihat putrinya tampak kelelahan. Sikap Budi seperti inilah yang sering kali membuat Alena terlibat pertengkaran dengan pria itu. Sungguh, ia bukanlah orang pesakitan yang butuh perhatian khusus. Namun, mau membantah bagaimanapun juga, papa tetap tidak akan bisa dibantah. Karena itu, ia memilih mengiakan semua ucapan papa, lalu diam. “Pa, berhenti di depan situ dulu, ya? Alena mau beli minuman bentar,” pinta Alena, ini satu-satunya cara agar bisa lepas dari suasana tidak mengenakkan di dalam mobil. Sambil menunggu pesanannya, Alena menyapukan pandang ke sekitar. Jalanan cukup lengang, padahal ini jam pulang sekolah. Saat menoleh ke kiri, matanya sontak membola. Jauh beberapa meter di depannya, tampak Gamma dan Nada sedang mengobrol di pinggir jalan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi ia bisa melihat sikap perhatian Gamma pada Nada. Hati Alena seketika terasa teriris. Rasa tidak sukanya muncul. Harusnya, ia yang berada di posisi Nada. Harusnya, ia yang bersama Gamma sekarang, bukan Nada. Sungguh, ia cemburu. Matanya masih mengawasi kedua orang itu, hingga suara penjual minuman terdengar, diikuti panggilan papa yang memintanya bergegas. Namun, saat akan kembali masuk mobil, ia tidak lagi melihat Nada di tempat semula. Yang ia lihat hanya Gamma yang berlari ke restoran seberang dengan buru-buru. Mobil papa kembali melaju, dan saat itu pula, akhirnya Alena menyadari sesuatu. Tapi ketika ia berusaha menyambung benang merah, suara denting ponsel terdengar dan berhasil mengalihkan perhatiannya. Satu pesan dari Bara. Bara: Akhir-akhir ini cuaca lagi nggak bagus. Jangan lupa jaga kesehatan kamu. Makan dan istirahat yang teratur, dan jangan lupa minum vitamin. Alena berdecak pelan. Jemarinya segera mengetikkan balasan untuk Bara—lebih tepatnya, mengomeli laki-laki itu karena mau-mau saja disuruh Budi menasihatinya. Padahal tanpa dinasihati pun, ia juga tahu bagaimana limit tubuhnya. s**l, ia jadi kesal sendiri. Pada akhirnya, pesan terakhir yang dikirimkan Bara hanya ia baca saja tanpa ada keinginan untuk membalasnya. “Andai Gamma bisa seperhatian kamu, Bar, aku pasti akan lebih senang,” batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD