4. Toko Roti dan Kekecewaan

1162 Words
"Terima kasih," ucap Alena seraya menerima sekotak donat dari seorang pegawai toko roti. Rencananya sore ini adalah, membaca n****+ sambil ditemani sepiring donat dan secangkir cokelat hangat. Keluar dari toko roti, netranya tak sengaja menangkap sosok laki-laki berjaket abu-abu sedang memarkir motor di parkiran sebuah butik, tepat di seberang toko roti. Segera, Alena menyeberang ke butik sambil setengah berlari. "Gam! Gamma!" Percuma, panggilannya tidak mendapat respons. Yang dipanggil justru masuk butik setelah menyapa seorang satpam. “GAMMA!” Berhasil! Teriakan Alena berhasil menahan langkah Gamma tepat dua langkah sebelum mencapai pintu butik. Sudut bibir Alena terangkat. Ia mengembuskan napas lega dan segera menghampiri Gamma yang kini menatapnya dengan tatapan kaget. Ia bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Fokusnya hanya pada Gamma. "Kenapa sih dari tadi aku panggil-panggil, nggak nengok?" gerutu Alena ketika sudah sampai di hadapan Gamma, tapi Gamma justru menatapnya tak suka. “Lo ngapain ke sini?” tanya laki-laki itu. Seolah kehadiran Alena di sini adalah sebuah ancaman. "Kamu kok jadi jutek gini sih, Gam? Tadi tuh aku habis dari toko roti di sana, terus nggak sengaja lihat kamu di sini. Makanya aku samperin. Kenapa? Kamu nggak suka ya, aku samperin ke sini?" Gamma mendengkus. “Enggak usah basa-basi. Jujur aja, lo ada perlu apa ke sini?” Hati Alena mencelos mendengar ucapan Gamma. Ia kecewa. Kecewa karena tidak ada keramahan dalam nada bicara laki-laki itu, kecewa karena kata ganti 'gue-lo' yang laki-laki itu ucapkan. Terdengar sepele, tapi Alena tidak bisa menerimanya seperti biasa. “Kamu nggak kangen sama aku, Gam? Kita kan sudah lama nggak ketemu.” Pandangan Alena masih setia tertuju pada iris cokelat Gamma. Iris cokelat yang selalu jadi candu bagi Alena untuk terus memandang laki-laki itu. Gamma berdecak. “Kalau cuma itu tujuan lo ke sini, mending lo pulang aja. Dan satu lagi, gue sama sekali nggak kangen sama lo,” tegasnya lalu beranjak pergi. Namun, tangan Alena lebih dulu menahannya. “Lepas!” desis Gamma seraya menyentak kasar tangan Alena. “Tunggu, Gam! Gamma!” Namun, Gamma mengabaikan seruan Alena. Laki-laki itu tetap melangkah masuk ke butik tanpa memedulikan Alena yang masih tetap di posisinya sambil menatap punggung Gamma yang kian menjauh. Alena tersenyum tipis. Sungguh, ia tidak menyangka orang yang selama ini ia harapkan, malah bersikap seperti ini kepadanya. Tanpa sadar, setetes cairan bening jatuh di pipinya. Alena mengembuskan napas pelan, lalu berbalik pergi. Dalam hati, ia masih berharap Gamma kembali dan memanggilnya. Sekadar minta maaf atau mungkin menawarkan diri mengantarnya pulang. Sayangnya, ekspektasi selalu lebih tinggi daripada realita. Sebab, buktinya Gamma sama sekali tidak melakukan itu. “Sebenci itukah kamu sama aku, Gam?” *** “Kalau jalan itu fokus, jangan melamun. Bahaya!” Sindiran itu nyatanya tidak berhasil membangkitkan kesadaran seorang gadis. Hingga suara deru motor dari arah kanan dibarengi suara tarikan serta kalimat sarkas, berhasil mengembalikan kesadarannya. “Sejak kapan, sih lo jadi hobi melamun sambil jalan? Bahaya, Al!” Alena mengerjap. Ia meringis menatap sekitarnya. Lagi-lagi di pinggir jalan. “Sorry, makasih udah nolongin gue,” ucapnya. “Maafnya jangan ke gue, tapi ke diri lo sendiri. Kalau diri lo sampai kenapa-napa itu salah lo. Salah lo karena jalan sambil melamun dan membahayakan diri sendiri, atau bisa juga membahayakan nyawa orang lain.” “Iya-iya, gue minta maaf ke diri gue. Nggak usah pakai marah-marah, dong. Lagian kenapa sih lo jadi galak gini sama gue? Mana Riga yang dulu—” “Jangan bahas masa lalu, Al,” potong Riga cepat. “Lo masih kepikiran soal itu, Ri?” tanya Alena mengerti ke mana maksud ucapan laki-laki itu. “Riga, udah. Kejadian dulu itu kesalahan kita, bukan cuma lo doang. Jangan hanya karena masalah itu, terus lo jadi berubah gini sama gue. Gue sedih, Ri. Masa sahabat-sahabat gue nggak ada yang peduli lagi sama gue, sejak gue datang?” “Al—” “Ri, lo nggak bisa kayak gini. Ini bukan Riga yang gue kenal,” ucap Alena seraya menatap tepat di manik mata Riga. Ada sorot keraguan terpancar di sana. “Lo nggak tau apa-apa, Al. Biarin gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin.” “Oke, terserah. Tapi gue mohon lo jangan berubah. Tetap jadi Riga yang gue kenal, sekarang ataupun nanti, ya? Nah, sekarang gue mau minta tolong anterin gue pulang, ya? Gue capek,” pinta Alena sambil memasang wajah memelas. Riga berdecak. “Dasar manja!” “Manja, tapi lo suka, kan?” *** Alena pikir dengan kembali ke Jakarta, ia bisa bertemu Gamma dan memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Namun, ternyata tidak. Gamma dengan jelas menunjukkan rasa tidak suka padanya. Laki-laki itu seolah membangun tembok tinggi yang sulit dirobohkan. Ingatannya kembali melayang pada percakapannya dengan Riga tempo hari. “Jangan ganggu Gamma lagi.” “M-maksudnya?” “Lo jangan ganggu Gamma lagi.” “Kenapa? Gue cuma pengen ketemu Gamma emang nggak boleh? Gue kangen banget sama dia, Ri.” “Nggak usah berharap lebih sama Gamma. Dia udah move on dari lo.” “Tapi perasaan gue buat dia masih sama, Ri. Lo nggak bisa ngelarang gue.” “Jangan keras kepala, Al. Gamma berhak bahagia. Nggak cukup apa lo bikin dia down, terus lo balik lagi seolah semuanya baik-baik aja?” “Alasan utama gue balik ke sini itu karena dia, Ri. Gue mau memperbaiki kesalahan gue dulu. Gue pengin semuanya balik kayak dulu lagi. Emangnya salah, ya?” “Lo nggak salah, tapi lo dateng di saat yang nggak tepat. Gamma udah move on. Dia udah nemuin kebahagiaannya. Jadi, daripada lo sakit hati mending lo lepasin dia. Relain dia sama orang lain.” “Apa lo masih suka sama gue, Ri?” "Tau ah pusing! Pokoknya, besok gue harus bisa ketemu Gamma gimana pun caranya," geram Alena sambil melempar bolpoinnya di atas meja. Kepalanya pusing memikirkan tugas matematika dan sikap kedua sahabatnya. Getaran singkat dari ponsel mengalihkan perhatian Alena dari buku tugas. Gadis itu meraih ponsel dan mengecek notifikasi. Sudut bibirnya terangkat saat mendapati siapa si pengirim pesan. Bara: Hai, Len. Apa kabar? Om Budi sehat? Sori, baru chat sekarang, beberapa hari ini sibuk soalnya. Gimana di sana? Aman kan? Alena: Aku baik kok, Bar. Papa juga sehat. Kamu sendiri gimana? Om sama Tante apa kabar? Iya gak papa kok. Tenang aja. Di sini aman. Bara: Kita semua baik, Len. Syukurlah kalo di sana kamu baik-baik aja. Aku turut senang. Alena: Makasih Bara. Aku juga udah ketemu sama sahabat lamaku. Sumpah aku kangen banget sama mereka, Bar. Bara: Sahabat cowok yang pernah kamu ceritain dulu? Alena: Iya, yang sering aku ceritain ke kamu dulu. Tapi aneh deh, Bar. Mereka tuh kayak ada yang disembunyikan gitu loh, tapi aku nggak tau apa. Bara: Pikiran kamu doang mungkin. Udah gak usah dipikirin. Fokus sama sekolah kamu aja. Ya udah kalo gitu istirahat gih. Jangan lupa makan. Alena: Oke, siap. Mungkin Bara benar. Ini hanya pikirannya saja dan belum tentu dugaannya benar. Kita masih tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Masih ada banyak kejutan yang disiapkan Sang Pencipta pada makhluk-Nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD