6. Sejarah Terulang

1296 Words
“Gimana sekolah kamu, Alena? Lancar?” tanya Budi di tengah kegiatan sarapan pagi itu. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan sosis ke mulutnya. "Kalau begitu, kamu jangan terlalu memaksakan diri, Len. Kalau sekiranya kamu sudah merasa nggak enak badan, langsung istirahat saja biar nggak sampai drop. Jangan lupa minum vitamin juga," ucap Budi mengingatkan putrinya. Alena meraih gelas di hadapannya dan meneguk isinya. "Kenapa sih Papa sama Bara selalu aja begini? Selalu nyuruh ini itu? Padahal tanpa disuruh pun Alena juga tahu batas diri Alena sendiri, Pa." "Bara juga nyuruh kamu jaga kesehatan?" tanya Budi dan dibalas anggukan oleh Alena. "Ya, bagus dong kalau begitu. Jadi, Bara bisa bantu Papa buat ngomelin kamu kalau kamu nggak nurut sama Papa. Kamu kan sering banget menyepelekan kesehatan kamu." Dulu saat di Balikpapan, Budi pernah menitipkan Alena pada Bara, anak tetangga yang kebetulan seumuran dan satu sekolah dengan Alena. Karena alasan itu pula, Alena merasa biasa saja dengan sikap dan perhatian Bara padanya. Ia berpikir itu hanya bentuk perhatian seorang teman saja, jadi ia juga tidak memikirkannya lebih jauh. Namun, ternyata di balik semua perhatian-perhatian Bara padanya, ada Budi yang ikut andil di dalamnya. Gadis itu mengembuskan napas. Mendadak roti bakar dengan selai stroberi di piringnya tak lagi menggugah selera. "Alena tahu Papa yang selalu kasih tahu Bara soal Alena." Mungkin, memang sebaiknya segera diakhiri. "Mungkin kalau kita masih di Balikpapan, Alena nggak akan mempermasalahkan ini. Tapi sekarang kita udah di Jakarta, kita udah beda pulau dengan Bara. Jadi, tolong ya, Papa berhenti kasih tahu apa pun tentang Alena ke Bara. Alena mohon." Budi terdiam. Sebagai seorang ayah yang memiliki anak perempuan dan membesarkannya seorang diri, ia selalu punya ketakutan dan waswas kepada sang putri. Dan mungkin kali ini sikapnya sudah terlanjur kelewat batas. "Papa minta maaf kalau ternyata sikap Papa selama ini sudah kelewatan. Papa sayang sama kamu, Papa cuma ingin menjaga kamu. Tapi kalau memang itu yang kamu mau, oke, Papa akan turutin permintaan kamu. Cuma sebagai gantinya, Papa akan titipin kamu ke Riga." "Ish, itu mah sama aja, Pa!" Alena mendengus. Padahal kalau ada opsi lain, ia akan memilih dititipkan pada Gamma saja daripada Riga. Namun, setelah memikirkan ulang mungkin ini adalah opsi terbaik daripada merepotkan Bara yang sudah jelas-jelas berbeda pulau dengan merek. Karena itu, Alena tak membantah apa pun dan kembali melanjutkan sarapan. *** “Gamma!” Teriakan itu berhasil menghentikan langkah Gamma di depan lapangan basket. Laki-laki berjaket abu-abu itu berbalik, lalu mendengus pelan saat mengetahui siapa pemilik suara barusan. "Kenapa lagi, sih? Enggak capek gangguin gue terus?" "Aku nggak mau gangguin kamu kok, Gam. Aku ke sini karena ada yang mau aku kasih ke kamu." Alena lantas membuka tasnya. Beberapa detik kemudian, raut wajahnya berubah panik. Gerakan tangannya di dalam tas semakin cepat. "Bentar, Gam. Aku yakin tadi malam udah masukin kertasnya ke tas, tapi kok nggak ada, ya." "Kertas?" Gamma menyipitkan mata. "Iya, Gam. Kemarin, aku nulis semacam puisi gitu di kertas. Rencananya mau aku kasih ke kamu, tapi sekarang kertasnya malah nggak ada." Gadis itu kembali sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Sayangnya, sekeras apa pun ia mencari, kertas tersebut tetap tidak ada. Si laki-laki berdecak kesal. "Buang-buang waktu aja lo!" Setelahnya, Gamma melangkah pergi. Namun, baru satu langkah, Alena menahan lengannya. Sontak, diempaskannya tangan gadis itu tanpa peduli. "Aku serius, Gam. Aku udah bikin puisi itu dan masukin ke tas. Tapi nggak tahu kenapa, kertasnya malah nggak ada." "Gue nggak peduli. Udahlah, Al, lo nggak perlu pura-pura. Gue tahu itu cuma alasan murahan lo supaya bisa ngobrol sama gue, kan?" Gamma muak. Emosinya tidak lagi bisa dikontrol. "Gue peringatin sama lo sekali lagi, please stop ganggu gue. Gue nggak mau Nada jadi salah paham sama kita." "Jadi, semua karena Nada? Dia yang bikin kamu ngelupain aku secepat itu, Gam? Asal kamu tahu ya, alasanku mau balik ke Jakarta itu karena kamu, Gam. Karena aku pengin ketemu kamu lagi. Aku pengin perbaiki semua yang terjadi di antara kita dulu," ungkap Alena akhirnya. "Oke, aku minta maaf. Aku akui semua yang dulu terjadi adalah salahku. Nggak seharusnya aku bohongin kamu soal hubunganku sama Riga dulu, padahal kalian sepupuan. Aku juga minta maaf karena nggak ada di samping kamu saat Papa kamu meninggal. Maaf, Gam. Aku mohon, maafin aku." Entah sejak kapan kepala Alena tertunduk. Tidak berani bertukar pandang dengan Gamma. Ia sadar kesalahannya di masa lalu terlalu besar dan sekarang ia menyesal. Di saat perasaan Gamma tulus kepadanya, ia justru menganggapnya biasa saja. Namun, saat hubungan mereka berakhir, ia sadar bahwa perasaannya untuk Gamma tumbuh tanpa ia sadari. Perasaan yang semakin lama, semakin besar hingga ia sadar bahwa sesuatu terasa begitu berharga setelah dia pergi. "Gue udah lupain semuanya. Jadi, lo nggak perlu repot-repot ungkit masalah itu lagi. Anggap aja nggak pernah ada cerita di antara kita." "Ya, enggak bisa gitu dong, Gam. Kita kan emang pernah pacaran. Jadi, kamu nggak bisa bilang kalau kita nggak pernah ada cerita." "Kenyataannya emang begitu, kan? Lo emang pacaran sama gue, tapi cerita lo lebih banyak sama Riga. Lo lebih milih bohongin gue dan pergi jalan-jalan sama Riga, padahal saat itu gue juga lagi butuh lo, Al." Gamma menghela napas. "Gue sadar, Al, dari dulu gue emang selalu kalah sama Riga. Gue nggak pernah bisa seperti dia yang terbaik dalam segala hal. Itu kenapa gue akhirnya setuju waktu lo minta kita putus. Karena supaya lo bisa terus sama Riga dan perasaan dia nggak bertepuk sebelah tangan." Alis Alena terangkat naik. "Nggak bertepuk sebelah tangan ...? Maksud kamu, Riga suka sama aku?" "Dan lo nggak tahu?" Gamma berdecak. Tanpa berniat melanjutkan pembicaraan mereka, laki-laki itu melangkah pergi setelah memperingatkan gadis di depannya sekali lagi agar tidak mengganggu kehidupannya. Pikiran Alena mirip benang kusut sekarang. Perkataan Gamma beberapa saat lalu berhasil membuatnya kepikiran. Jika benar selama ini Riga menyukainya, itu berarti ia sudah melukai hati laki-laki itu karena berpacaran dengan Gamma yang merupakan sepupunya sendiri. Dan parahnya, ia pernah menjadikan Riga sebagai pelarian sesaatnya dari Gamma. Astaga! Bisa-bisanya ia sebodoh itu, melukai perasaan dua laki-laki sekaligus. Dua laki-laki yang juga merupakan sahabatnya. Mungkin memang benar, perihal kutipan bahwa persahabatan lawan jenis itu tidak akan benar-benar murni. Karena nyatanya, selalu ada rasa yang tumbuh pada salah satu di antara mereka, atau bisa jadi rasa itu tumbuh di hati mereka semua. Ingatan Alena tiba-tiba kembali ke masa lalu. Saat ia iseng menanyai Riga tentang apakah laki-laki itu punya seseorang yang disukai dan Riga hanya mengiakan tanpa menyebutkan siapa nama seseorang itu. Bahkan sekadar memberitahu inisial saja pun tidak. "Loh, Nada kok malah makan sama Gamma, bukan sama Riga?" Pertanyaan Via berhasil mengembalikan Alena ke kenyataan. Alena pun mengikuti arah pandang Via dan mendapati dua orang dimaksud duduk satu meja. Oh, bahkan meja mereka hanya berjarak tiga meja saja. "Emang kenapa kalau Nada sama Gamma makan bareng?" tanya Alena, pura-pura tidak tahu. "Oh iya, lo murid baru, deng. Jadi gini, Len, Riga sama Nada itu sering banget barengan, satu angkatan udah pada tahu. Mereka udah kayak perfect couple. Satunya ganteng, satunya lagi cantik, plus mereka juga sama-sama pintar. Ranking mereka selalu atas bawah. Bahkan dengar-dengar, katanya mereka udah jadian gara-gara pas Riga ditanya soal tipe cewek yang disukai, dia malah jawab Nada," jelas Via. "Makanya, gue yakin pasti habis ini banyak murid yang penasaran sama hubungan mereka. Kayak ... masa iya sih, cewek idola satu sekolah makan bareng sama cowok biasa kayak Gamma, kan aneh." Alena tak merespons. Fakta yang barusan didengarnya semakin menyita ruang di otaknya. Benang-benang kusut di kepala yang belum sepenuhnya rapi, kini semakin bertambah kusut. Jika benar Riga menyukai Nada, tapi Nada malah berpacaran dengan Gamma, bukankah itu berarti sejarah kembali terulang? Baik Riga atau Gamma sama-sama menyukai orang yang sama. Dalam hati, Alena protes. "Kenapa sih harus Nada? Kenapa harus cewek yang bahkan penampilannya jauh di bawahnya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD