JANJI TEMU.

1333 Words
Mobil Artha mulai memasuki komplek perumahan lama sebuah perumahan yang pernah cukup di bilang mewah pada masanya. Disanalah rumah ibu Nadi berada, sebuah rumah peninggalan sang bapak yang langsung di lunas kan oleh pihak asurani ketika bapak Nadi meninggal dunia. "Kau tidak mungkin lupa rumah kita.”kata Artha. Nadi yang masih dalam ikatan dan mulut yang di bekap Artha tercenung sejenak, bulir bening kembali lolos saat mobil Artha berhenti tepat di jalanan yang mengadap pada rumah ibu Nadi itu. Rumah itu tampak tidak terawat pagar tinggi rumah terlihat reot beberapa sisi, tanaman yang dulu indah juga sudah terlihat tidak terurus lagi. Di halaman depan rumah begitu banyak sampah dedaunan kering, cat putih yang dulu menjadi identitas rumah kini begitu usang dan kotor berlumut. Hanya ada satu lampu yang terlihat menyala di luar teras rumah, rumah itu terlihat sudah lama tidak di huni persis rumah angker tidak bertuan. “Ibu tidak pernah datang lagi tiga tahun belakangan ini tapi mungkin tagihan listrik dan air masih di bayar oleh Gian adikmu.” Artha menarik perekat di mulut Nadi melepaskannya namun tidak membuat Nadi bergerak dia terus menatap tidak bergeming pada rumah peninggalan bapaknya itu. Terasa kenangan hidup di hadapannya, semuanya seakan baru saja kemarin. Lalu kemudian Nadi melihat ke arah seberang jalanan dimana rumah megah lain berada, itu adalah rumah keluarga Artha. Sangat kontras perbedaan dimana rumah orang tua Artha megah, sedari dulu bangunannya memang sudah terdiri dari empat rumah yang di jadikan satu, semuanya masih seperti dulu terlihat rapi dan terawat lalu masih ada satpam lama di pintu gerbang besar rumah yang sedang berjaga. “Ayo pergi.” Kata Nadi dengan santai. “Pergi? Ayo turun!” Artha masih begitu mendominasi dia lalu melepaskan ikatan tangan Nadi. "Pergi kemana? kau fikir akan di lepaskan begitu saja?" “Ayo pergi, apa kau sudah tidak waras? Bagaimana jika kedua orang tuamu melihat keadaanku babak belur seperti ini? Kau ingin aku membuat mereka khawatir? Terimakasih sudah membantuku tapi semua sudah berubah. Lanjutkan hidup kalian, aku juga akan melanjutkan hidupku.” “Kau memang harus di khawatirkan, kau fikir kau sangat kuat ha?" Artha menarik kembali tangan Nadi dengan paksa. Nadi si penurut dan selalu lembut juga manis sudah tidak terlihat lagi. Lihat cara berbicaranya saja sudah begitu berbeda, dia lantang, acuh dan sangat tidak bisa di tundukkan. Dia seperti hidup dalam banyak tekanan membuatnya menjadi pembantah seperti ini, Artha nyaris kehilangan anak manis kesayangannya itu. “Lepas kataku!” Nadi melawan. “Aku sudah bilang terimakasih sudah mengkhawatirkanku, terimakasih sudah datang entah dari mana untuk menyelamatkanku tadi. Tapi bukan berarti kau bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan, ayolah Artha lihat keadaanku. Ini bukan babak belur karena terjatuh atau karena kecelakaan. Aku di pukuli, lebamnya begitu jelas biarkan ini pulih, biarkan bekas-bekas ini hilang. Kau tega membuat aku terlihat menyedihkan di depan kedua orang tuamu lalu membuat mereka panik lalu membuat semua semakin rumit?” Nadi merogoh saku dressnya mengambil sebuah benda. “Berikan kontakmu!” Artha sejenak berfikir dimana kedua orang tuanya memang sangat peduli dengan Nadi yang di anggap seperti anak sendiri, mereka pasti tidak akan tinggal diam melihat kondisi Nadi. Artha dengan ragu meraih ponsel Nadi lalu memasukkan kontaknya yang bisa di hubungi disana. Nadi menarik kasar kembali ponsel itu. “Bawa aku keluar dari sini, aku akan pergi menggunakan taksi.” “Aku akan mengantarkanmu ke sampai tujuan, lihat kondisimu kau terluka.” Nadi menatap mata Artha dengan tegas dia menghembuskan nafasnya lelah. “Kau tidak percaya aku lagi? Aku akan menghubungimu nanti. Jangan khawatirkan aku lagi, aku tadi sudah mengobati diriku sendiri tadi siang. Kembalilah pulang istri dan anak-anakmu pasti menunggumu.” Anak? Artha sejenak berfikir apakah Nadi tidak mengenal dokter yang mengobatinya adalah Ristra istrinya, Ya. Artha akhirnya ingat Nadi tidak datang di acara pernikahannya karena dia saat itu di rawat di rumah sakit sebab gastritis yang di alaminya. Setelah pernikahannya dengan Ristra, ibu Nadi mengatakan pergi ke sebuah daerah di pulau Bali katanya mendapatkan sebuah panggilan pekerjaan di sebuah Bank Swasta, setelah hari itu Nadi tidak pernah ada kabar lagi. Artha mengusap wajahnya frustasi. “Entahlah, kenapa hidupmu kacau sekali, apa kau sama sekali tidak tahu keadaan disini? Siapa dia? Aku akan memberinya pelajaran, kau fikir siapa yang akan tenang melepaskanmu pergi lagi begitu saja.” Ssst... “Kau masih percaya aku? Aku janji akan kembali dan menceritakan semuanya, tolong jangan halangi aku, jangan khawatir aku sudah mengatasi semuanya, kumohon mengertilah.” Beberapa saat berfikir akhirnya Artha kembali menyalakan mesin mobilnya dan tancap gas pergi dari sana. Dengan sedikit tidak yakin akhirnya Artha menuruti kemauan Nadi, Nadi kembali hening menatapi jalanan keluar dari komplek hunian itu. Nadi memang sama sekali tidak tahu apapun yang terjadi dengan Artha setelah laki-laki ini menikah. Mungkin lebih tepatnya tidak ingin tahu, Nadi tidak pernah ingin melihat foto kebahagiaan Artha, keluarga barunya, kehidupannya. Hari pernikahan Artha ada sebuah titik balik hidup Nadi yang berubah drastis, dia tidak menyalahkan Artha mungkin cinta memang tidak bisa di paksakan. Terkesan tidak tahu malu mencintai teman kecil yang sudah menganggap kita adik sendiri, namun saat itu memang dia tidak bisa mengontrol patah hatinya yang terlalu dalam mencintai Artha, dia tidak suka hanya di anggap adik kecil dan saudari perempuan yang akan di lindungi bukan di cintai seumur hidup sebagai pasangan hidupnya. “Di Halte itu.” Pinta Nadi menunjuk pada jalanan. Artha acuh dia masih merasa kesal karena Nadi enggan di bawa kembali, laki-laki itu mendengekus lalu memukul stir mobilnya. “Kau membuatku sakit kepala.” “Salah siapa kau muncul tiba-tiba.” “Salah siapa katamu?” Artha mulai tersulut, “Lalu kau fikir aku harus apa dengan orang yang sudah menghilang sangat lama lalu tiba-tiba muncul dalam kondisi seperti ini.” "Sssst Artha!" Nadi tersenyum melayangkan jemarinya pada bibir Artha memintanya diam. “I’m okay, aku akan menghubungimu dan menceritakan semuanya, percayalah." Artha terdiam mendapatkan tatapan dan tangan Nadi di bibirnya itu merasa ini seperti tidak nyata, dia masih tidak percaya wanita dewasa dan sangat cantik di hadapannya ini adalah Nadi si cengeng dulu. Nadi lalu mengambil kopernya di belakang membuat Artha yang tadi di buat tidak bergeming langsung bergerak membantu walaupun masih sangat tidak bisa menerima. “Aku bisa mengambilnya, segeralah pergi! Jangan ikuti aku atau diam-diam mengintaiku,aku janji akan kembali jika kau tidak dengar maka ini adalah pertemuan terakhir kita.”ucap Nadi dengan lembut namun penuh penekanan. Artha tidak mengiyakan dia masih menyoroti Nadi dari dalam mobil yang sudah di tutup, sampai akhirnya tangan Nadi memerintah dia pergi lalu berbicara disana tanpa bisa di dengar Artha kecuali gerakan bibirnya yang Artha pahami. “Pergilah! Aku akan menghubungimu!” Hati Artha merasa sakit sekali melihat kulit putih Nadi dari atas hingga bawah di penuhi memar, wajah itu biru lebam di beberapa sisi, pasti sakit sekali namun bagaimana bisa Nadi masih terlihat begitu terlihat baik-baik saja. Rasanya Artha ingin menghajar laki-laki yang merupakan suami Nadi itu. Demi Tuhan dia ingin sekali membuat perhitungan dan membuat laki-laki itu hancur atau mungkin kehilangan kesadarannya, sadari mereka kecil hingga besar Artha sangat menjaga Nadi, dia tidak pernah tega melihat gadis kecilnya itu jatuh apa lagi terluka. Sebab Nadi begitu cengeng dia tidak tahan sakit, luka di lutut karena jatuh dari sepeda Nadi akan merengek lama sekali hingga berhari-hari. Namun saat Artha lengah tiba-tiba Nadi disana sudah memberhentikan sebuah taksi lalu masuk dan menghilang cepat dari sana. Artha masih terus bertanya-tanya dengan dirinya sendiri dan bingung dengan situasi ini. "Benarkan itu kau anak cengeng? Kau tersiksa?" Akhirnya setelah beberapa saat merenung Artha pun pergi dari Halte pemberhentian. Kring... Kring... “Mas kamu dimana? Sampai aku kebangun kamu belum pulang.” “Di rumah mama, sebentar lagi aku pulang.” Jelas saja Artha tidak mungkin pulang dalam keadaan baju penuh noda darah seperti ini. “Di rumah mama? Ya udah jangan lama-lama ya.” “Mau nitip sesuatu? Makanan mungkin.” “Udah malam mas, ih kamu ini. Jaga kesehatan dong! Di rumah mama ada arisan ya? Jangan bawa makanan apapun pulang bilang ke mama aku lagi diet.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD