"Selamat ya, semoga menjadi keluarga samawa, aamiin." Suara Revano menyadarkan Wira, bahwa tak pantas lagi baginya menyimpan rasa pada Asma.
Wira mendongak, menatap wajah Revano. Disambut uluran tangan Revano. Telapak tangan mereka saling menggenggam erat, dan hangat.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Wira, sementara Asma saling peluk dengan Ziah. Mereka pernah saling kenal saat kecil dulu. Meski Ziah akhirnya mondok di pesantren.
Revano, dan Asma turun dari panggung tempat pelaminan. Wira tak melepaskan tatapannya dari mereka. Sikap Revano, jelas terlihat begitu melindungi, dan memperhatikan Asma. Asma juga tampak tak segan bermanja dengannya.
Wira menarik napas lega, karena ia bisa merasakan, Asma akan bahagia bersama Revano nantinya. Ia harus mengakui, Revano jauh lebih baik dari dirinya, dalam segala hal. Revano lebih gagah, lebih tampan, dan yang pasti, ia yakin, kalau Revano juga lebih mapan dari dirinya.
Wira menolehkan kepala pada Ziah. Tatapan Ziah lurus saja ke depan, bibirnya mengulas senyum pada orang-orang yang menatap mereka dari depan pelaminan. Wira tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya sekarang.
***
Acara selesai di sore hari. Begitu mengganti pakaian, Wira, dan Ziah langsung membantu membereskan bekas acara. Sampai saat ini, mereka masih tidak saling bicara.
"Ziah," panggil Wirda.
"Ya, Bu." Ziah mendekati ibu mertuanya.
"Aku sudah minta Wira untuk memindahkan pakaianmu ke rumah kami. Jadi nanti kamu langsung ke kamar Wira ya, jangan ke kamar di rumah ini lagi."
"Iya, Bu."
Ziah menundukan kepala, untuk menyembunyikan semburat merah di wajahnya.
"Aduuh cantiknya penganten baru, wajahnya merah karena tersipu malu.... " Acil Ijah, asisten rumah tangga Cantika bernyanyi menggoda Ziah. Membuat riuh ibu-ibu yang masih sibuk merapikan semuanya di dapur.
"Jodohku maunyaku ... ya am, ngarangnya jodoh kada kawa ditangguh. Nang dilamar siapa, nang betatai siapa. Mudahannnn, panjang juduh buhan ikam badua, aamiin (ya itu, namanya jodoh. Yang dilamar siapa, yang bersanding siapa. Semoga panjang jodoh kalian, aamiin)"
"Aamiin," semua menjawab doa Acil Ijah.
Wajah Ziah semakin merah saja. Ia pasrah, apa yang akan terjadi nantinya. Ia hanya ingin mengikuti takdir Allah saja.
Ziah tahu, Wira orang baik, ibunya baik, Pamannya baik, meski ayahnya seseorang yang pernah bersalah.
Warga membantu membereskan bekas acara, hingga pekarangan rumah sudah bersih seperti semula. Dapur juga sudah simpun. Perabotan sudah dicuci bersih semua, dan disusun di lantai rumah yang dialasi tikar purun, dan kain. Agar air di perabot bisa tiis.
Satu persatu warga berpamitan, mereka pulang tidak dengan tangan kosong, tapi membawa makanan yang memang sudah dipersiapkan untuk sangu mereka saat pulang.
***
"Istirahat Ziah, masuklah ke kamar Wira." Wirda menunjuk kamar putranya. Ziah menjawab dengan anggukan kepala.
Perlahan, dibuka pintu kamar. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Wira masih ada di halaman, masih ngobrol dengan beberapa orang warga.
Ziah duduk di tepi ranjang, ia bingung harus bagaimana. Langsung berbaring, dan tidur saja, ataukah harus menunggu Wira masuk ke kamar.
'Bagaimana ini?'
Ziah terjengkit kaget, saat pintu berderit karena ada yang membuka. Ia bangkit dari duduk, tatapannya ke arah pintu yang terbuka lebar, memperlihatkan siapa orang yang membuka pintu kayu itu.
Wira berdiri di ambang pintu, ia tidak kaget melihat Ziah, karena ibunya sudah memberitahu kalau Ziah sudah masuk ke dalam kamar.
Wira melangkah melewati ambang pintu, ia masuk ke dalam kamar, lalu menutup, dan mengunci pintu. Ziah masih diam di tempatnya, debaran jantungnya tidak bisa ia kontrol dengan bsik . Sekujur tubuhnya terasa gemetar, telapak tangannya dingin, namun mulai berkeringat.
Ia belum pernah berada satu ruangan seperti ini dengan seorang pria.
Wira memutar tubuhnya, ditatap Ziah yang bagai terpaku di tempatnya.
Wira melangkah mendekat.
"Aku tidak tahu harus memulai darimana. Kita tidak pernah benar-benar saling kenal sebelum ini. Aku rasa, kita perlahan saja, kita mulai dengan saling berkenalan dulu. Aku Wira, kamu bisa memanggiku Aa, Abang, Mas, terserah kamu saja." Wira mengulurkan tangannya. Ziah menyambut dengan ragu.
"Ulun Hifziah, almarhumah mama wan akmarhum abah ulun mengiyau ulun, Zizi." (Saya Hifziah, almarhum ibu, dan bapak saya memanggil saya, Zizi).
"Sudah lewat tengah malam, sebaiknya kamu tidur. Aku masih ada yang harus dibereskan di luar."
"Iya, enghh ... Aa."
"Maaf, kalau keadaannya begini saja. Semoga kamu bisa betah tinggal di rumah kami yang sederhana ini."
"Aamiin."
"Aku ke luar dulu."
"Inggih, Aa."
Wira ke luar dari kamar. Sebenarnya ada urusan hanya alasannya saja. Ia merasa belum terbiasa ada orang lain di dalam kamar bersamanya. Apa lagi ini seorang wanita.
Ziah menatap pintu yang tertutup, ia menarik napas lega. Malam ini bisa ia lewati dengan tenang sepertinya.
Ziah naik ke atas ranjang, ia berbaring, dan memejamkan mata. Ia ingin tidur secepatnya, agar besok bisa kembali membantu membereskan pekerjaan yang masih tersisa.
BERSAMBUNG