PART. 5 TERSIPU

829 Words
"Zi, bangun, subuh." Perlahan mata Ziah terbuka, ditatap orang yang membangunkannya. Ia terlompat bangun dari berbaringnya, sesaat kemudian terdengar ia merintih sambil memijit kakinya. "Ada apa?" Wira menatap kaki Ziah yang terbungkus celana baby doll panjang warna biru. Mata Ziah terpejam, air mata merembes dari sela bulu matanya yang hitam tebal, dan lentik. "Kakimu kenapa?" Wira yang sudah memakai baju koko, dan sarung, duduk di tepi ranjang. "Uratnya betumpangan." (Uratnya saling menumpang) jawab Ziah lirih. "Maaf sudah membuatmu kaget, jadi terlonjak bangun, dan kakimu jadi seperti ini. Kamu tunggu di sini, aku mintakan minyak kayu putih sama ibu dulu." Wira ke luar dari kamar, ia kembali ke kamar bersama ibunya. "Wira, kamu berangkat saja ke musholla. Biar Ibu yang memijit kaki Ziah." "Iya, Bu. Aku pergi, assalamuallaikum." "Walaikum salam." Wirda duduk di tepi ranjang. "Maaf, ulun jadi mengalih akan pian (maaf, aku jadi merepotkan)" "Tidak, Zia. Zia sekarang sudah jadi anak ibu juga. Karena Zia sudah resmi jadi istri Wira. Ehmm, memanggilnya apa? Abang, Kakak, atau Aa?" tanya Wirda sambil mengusap pelan kaki Ziah, agar urat yang saling tindih bisa terurai lagi. "Aa, Bu." "Ooh, bagaimana kakimu?" "Alhamdulillah, sakitnya sudah berkurang. Terima kasih banyak, Bu." "Iya, sama-sama. Sekarang kamu mandi, lalu sholat subuh ya. Setelah sholat subuh, kalau masih merasa mengantuk, atau masih lelah, boleh tidur lagi." "Terima kasih, Bu." "Ibu ke luar dulu." Wirda ke luar dari kamar. Ziah turun dari ranjang, lalu mengambil dua lembar handuk, dan tapih bakurung di dalam tasnya. Kamar mandi ada di dekat dapur, jadi ia harus memakai tapih bakurung untuk menutup tubuhnya. Handuk besar untuk menutup bahunya, dan handuk yang lebih kecil untuk menutup kepala. Untungnya, di rumah itu hanya ada Wira, dan ibunya. Karena adik Wira sudah menikah, dan mengikuti suaminya. Ziah ke luar kamar, dan langsung menuju ke kamar mandi. *** Ziah sudah selesai sholat subuh. Dengan daster batik lengan panjang, warna hijau lumut, dan jilbab warna hitam. Ia ke luar dari dalam kamar. Rumah sangat sepi, tidak terlihat siapapun. Tampaknya, ibu Wira ada di rumah sebelah. Rumah Paman Awal. Ziah ke luar dari dalam rumah lewat pintu dapur yang terbuka. Ia menuju pintu dapur rumah Awal yang juga terbuka. Terdengar obrolan ibu-ibu dari sana. Mereka membahas tentang Asma, dan calon suaminya. "Assalamuallaikum." "Walaikum salam, nah pangantinnya datang. Basah juakah rambut tuh?" goda seorang ibu. Membuat wajah Ziah merona. "Nyataai basah, ngarannya gin mandi wan banyu, ya kalu, Ziah (Sudah pasti basah, namanya juga mandi dengan air. Iyakan, Ziah)?" Wajah Ziah semakin merah saja. "Ziah, ini sarapan untukmu, dan Wira, bawa ke rumah kita ya. Kalian sarapanlah berdua. Ibu di sini saja." Wirda menyerahkan nampan, berisi satu tempat nasi, satu mangkok berisi ayam masak bistik, dan mie goreng di dalam piring. "Iya, Bu." "Wira minumnya teh hangat ya." "Ya, Bu. Ulun ke rumah sebelah dulu. Permisi Acil-Acil, assalamuallaikum." "Walaikum salam." Ziah kembali ke rumah Wira lewat dapur. Tepat saat Wira juga menuju pintu dapur. "Sarapan dulu, Aa." "Iya," Wira menganggukan kepala. Ziah masuk ke rumah lebih dulu, ia letakan nampan di atas meja, sementara Wira masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Saat Wira ke luar dari dalam kamar, Ziah tengah mengisi piring dengan nasi, dan lauknya. Wira meminum teh hangatnya. Penilaiannya, teh hangat buatan Ziah, enak juga. "Bagaimana kakimu?" "Sudah berkurang sakitnya." "Syukurlah." Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Keduanya seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. ?? Wira pulang dari musholla, setelah sholat Isya. Ia masuk lewat pintu dapur, karena tidak ada yang menjawab salamnya di pintu depan. Saat ia masuk ke rumah, makan malam sudah terhidang di atas meja sederhana yang menjadi meja makan di rumahnya. Tapi, kali ini ada yang berbeda dari meja makan itu. Meja kayu usang itu tampak berubah. Tidak tampak lagi keusangannya. Karena, tertutupi taplak meja kain motif bunga yang dilapisi plastik terang. Yang menutup bagian atas, hingga sisi-sisi meja. Di atas meja makan juga ada toples plastik yang berisi kerupuk. Ada buah jeruk, dan pisang juga di dalam keranjang buah plastik. Ada tudung saji dengan penutup bermotif sama dengan taplak meja. Wira tersenyum tanpa ia sadari, melihat meja makan seperti itu, tiba-tiba, ia merasa menjadi orang kaya saja. Wira penasaran, sejak kapan meja makan itu berubah. Seingatnya, saat ia makan siang tadi, masih seperti biasa saja. "Aa sudah pulang?" Ziah ke luar dari dalam kamar. "Iya, aku memanggil dari pintu depan tidak ada yang membukakan pintu, jadi aku masuk lewat dapur." "Maaf, aku baru selesai sholat isya." "Tidak apa." "Aku buatkan teh dulu." "Iya, ibu ke mana?" "Ke rumah sakit, saudaranya istri Paman Awal masuk rumah sakit baru saja." "Ooh.... " "Kata Ibu, nanti ibu menelpon, kalau keadaannya parah, ibu minta kita menyusul setelah makan malam." "Ooh, aku ganti baju dulu." "Ya, Aa. Aku ke dapur dulu." Ziah melangkah ke dapur, ia menarik napas lega. Meski komunikasi mereka masih biasa saja, tapi itu sudah cukup membuat hatinya terasa bahagia. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD