Akad nikah berjalan lancar, tidak harus diulang lagi. Meski Wira baru saja menghapalkannya. Semua orang menarik napas lega. Mempelai wanita diminta ke luar. Untuk proses selanjutnya.
Wajah Wira tetap menunduk, seperti tidak ada keinginan untuk melihat mempelainya.
Ziah berjalan perlahan, didampingi oleh Cantika, dan Sabnah, acil Ziah.
Ziah duduk di samping Wira, ia juga tidak berusaha menatap pria yang sudah resmi menjadi suaminya.
Suami yang ia dapatkan dengan tiba-tiba. Tidak ada angin, tidak ada hujan, jodohnya datang dengan sangat tiba-tiba. Ziah menerima lamaran, karena ia tidak ingin merepotkan nininya terlalu lama.
Halimah, nininya sudah tua, pasti ingin melihat dirinya nenemukan jodoh. Binar bahagia itu terlihat jelas di mata dan wajah nininya, saat ia bersedia menerima lamaran dari Paman Awal, yang meminangnya untuk Wira. Meski posisinya, hanyalah istri pengganti saja.
Saat memasangkan cincin ke jari masing-masing, barulah kedua mempelai saling tatap. Itupun hanya sekilas saja. Wira menundukan pandangannya, begitu pula dengan Ziah.
Setelah rangkaian acara selesai.
Wira pulang kembali ke rumahnya. Sementara Ziah tetap di rumah Awal. Untuk persiapan acara resepsi esok harinya.
"Alhamdulillah, semua lancar. Ibu merasa lega. Tidak ada lagi beban, dan kecemasan yang menghimpit perasaan Ibu."
"Alhamdulillah, Bu."
"Ziah cantik sekali. Kulitnya putih karena selalu berpakaian tertutup. Tidak kalah cantik, dan molek dari Asma, iyakan, Wira?"
Wira hanya menganggukan kepala, mendengar nama Asma disebut ada sesuatu yang terasa sakit di relung hatinya.
'Ikhlas Wira, ikhlas!'
Wirda menatap putranya, bukannya ia tidak tahu, ke mana hati Wira berlabuh. Wirda bisa menilai, dari tatapan, dan gerak tubuh Wira bila berada di dekat Asma. Wirda tahu, tapi ia juga sadar diri, siapa mereka, siapa Asma. Meski keluarga Asma tidak pernah memandang rendah pada mereka. Namun, mereka harus sadar akan keadaan.
Asma adalah permata bagi keluarganya, tentu tidak sembarang pria bisa meminangnya, itulah yang diyakini Wirda. Wirda yakin, cerita Soleh, dan Cantika tidak akan terulang lagi. Wira, tidak akan pernah bisa menjadi seperti Soleh.
Wirda menarik napas dalam, ia merasakan kepedihan hati putranya.
"Istirahatlah. Malam ini awal baru hidupmu sudah dimulai. Fokus untuk menjalani tanggung jawabmu sebagai suami, Wira. Dengan, atau tanpa cinta. Ziah sudah menjadi istrimu, belajarlah untuk mencintainya. Dia akan menjadi ibu dari anak-anakmu kelak. Terima dia dengan apa adanya, jangan pernah bandingkan dia dengan wanita manapun."
"Aku tahu, Bu."
"Ibu percaya padamu."
Wirda bangkit dari duduk, ia menuju rumah sebelah, untuk membantu peesiapan acara besok. Wira masih duduk diam, ia tengah memantapkan hati, meyakinkan diri, kalau Ziah adalah jodoh terbaik yang Allah persiapkan untuknya.
??
Wira, dan Wirda sudah duduk di pelaminan. Pelaminan adat Banjar, sesuai dengan busana yang mereka kenakan.
Tidak ada sepatah kata yang mereka ucapkan. Keduanya tidak saling sapa, tidak saling bicara. Bahkan, saling tatap saja tidak. Bukan karena saling benci, tapi hanya karena merasa canggung saja.
Tiba-tiba, Wira melihat gadis pujaannya. Masuk ke bawah tenda bersama seorang pria. Motif pakaian mereka sama, seragam berdua. Pria itu bak raksasa berada di sebelah Asma. Asma harus mendongak saat bicara dengannya.
'Itukah Revano. Memang cocok dengan Asma. Wajahnya tampan, tampak berwibawa. Tubuhnya gagah, pasti mampu melindungi Asma, permata kesayangan keluarga. Dia pasti juga kaya, dan mapan hidupnya.'
Wira merasa semakin kecil saja, saat melihat Revano yang tampak gagah perkasa. Apa lagi, terlihat jelas, kalau Asma bersikap manja pada Revano.
'Ikhlas Wira, ikhlas, ikhlaskan!'
Hati Wira seakan berteriak mengingatkan. Agar ia sadar, tadi malam ia sudah resmi tidak lagi berstatus bujangan, tapi ada wanita yang sudah resmi menjadi istrinya. Yang harus belajar ia cintai, yang berhak atas semua perhatian, dan kasih sayangnya.
Wira menolehkan kepala, ditatap wajah istrinya. Secara perawakan, Ziah hampir mirip dengan Asma. Hanya wajah mereka jauh berbeda. Asma dengan wajah ke Arab-nya. Ziah dengan wajah Indonesia aslinya.
Namun, tidak bisa disangkal, Ziah tidak kalah cantik dari Asma. Wira mengalihkan tatapannya. Asma terlihat berjalan menuju panggung tempat pelaminan berada. Wira tak bisa meredam debaran hatinya. Meski ia sudah berusaha mengusir debaran itu sekuat yang ia bisa.
Asma, dan Revano bersalaman dengan Wirda, dan Awal.
"Ini siapa, Asma?" tanya Awal.
"Kenalkan, saya Revano. Calon suami Asma," Revano memperkenalkan dirinya.
"Bukan orang sini ya?"
"Saya dari Jakarta, tapi Ulun ada usaha di sini."
"Ooh, usaha apa, Nak Vano?"
"Abang ini, sudah seperti wartawan saja," protes Wirda pada kakaknya.
Revano, dan Asma tertawa.
"Rental mobil, dan alat berat, Paman."
"Waah hebat itu, klop dengan Abbanya Asma, yang punya tambang batu bara. Jadi kapan resminya ini?"
"Insya Allah secepatnya."
"Aamiin, semoga Allah lancarkan semuanya."
"Aamiin, terima kasih, Paman."
"Selamat ya, Asma. Acil ikut senang, karena kamu mendapatkan jodohmu."
"Terima kasih, Acil Wirda."
Asma, dan Revano mendekati kedua mempelai. Tatapan Asma, dan Wira bertemu. Asma berusaha mengukir senyum, meski matanya mulai berkaca-kaca.
Pria yang ia puja sejak bocah, kini menikah sudah. Harapannya untuk bisa bersama Wira, terhempaskan.
Wira sudah menjadi suami orang, dan ia sendiri akan segera menikah dengan Revano.
"Selamat ya, Bang.... " hanya itu yang bisa Asma ucapkan, dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Terima kasih," Wira menganggukan kepala, ia berusaha menaghan air mata yang ingin menetes.
Pedih sekali rasanya, saat melihat gadis yang dicinta akan menjadi milik orang lain. Wira tidak tahu, itu pula yang dirasakan Asma saat ini.
BERSAMBUNG