7. Rabies

1016 Words
TERJERAT CINTA MAS DUDA 7 Tidak ada yang bisa menahan keinginan Hadyan. Pun dia tidak ingin menghentikan niatnya. Wajahnya terus mendekat. Hingga satu kecupan halus menyentuh lembut bibir ranum Khalisa. Khalisa memejam, menikmati desiran halus yang seketika merajai hatinya. Dadanya berdebar-debar, persis sama seperti mimpi yang dia alami tadi pagi. Terasa salah tingkah, tetapi indah dan melenakan. Beberapa jenak mereka larut dalam keindahan cinta yang sempurna dan halal. Dahaga yang seperti menemukan telaga. Sama-sama terluka, mereka seperti saling menguatkan, berambisi untuk memiliki selamanya sekaligus sumpah tidak akan menyakiti seperti perihnya luka yang pernah dirasakan masing-masing. "Ayah .... Bunda ...." Mereka baru saja memulai. Dahaga belum sepenuhnya terlepaskan saat suara kecil Inaya terdengar nyaring dari halaman. Dua tubuh yang awalnya saling merengkuh itu seperti terlontar tiba-tiba. Khalisa seperti tersadar. Seketika wajahnya memanas, menciptakan rona merah yang menjalar cepat di pipinya. Lekas dia memalingkan tubuh membelakangi Hadyan, menyembunyikan salah tingkah dan rasa malu. Khalisa memejam rapat-rapat, seolah dengan begitu dia bisa menutup rasa malu yang dirasakan. Ini adalah ciuman pertamanya. Belum pernah satu lelaki dewasa pun yang melakukannya sebelumnya. Sungguh dia benar-benar merasa malu, meskipun yang melakukannya adalah laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. Khalisa menggigit bibir kuat-kuat, meredam napas yang masih memburu juga jantung yang berdentam-dentam di dalam sana. Ya Tuhan, mengapa tadi dia bisa begitu terlena? Sementara Hadyan mengembuskan napas panjang sembari meraup wajah dengan kasar. Gejolak dan naluri yang sudah tertahan lima tahun, bukan sesuatu yang mudah untuk diredam secara tiba-tiba. Ah, Inaya. Mengapa harus muncul di saat ini? "Iya, Sayang. Ayah sama Bunda di sini!" Tak urung dia berseru menyahut panggilan putri tersayangnya itu. Jujur, meskipun begitu sayang, terbersit kesal di hatinya mengapa buah hatinya itu muncul di waktu yang tidak tepat. Padahal dia sangat ingin kebersamaan yang baru saja diraihnya bersama Khalisa berlangsung lebih lama. Bukan sesuatu yang mudah untuk memperoleh kesempatan ini. Dia tidak tahu, setelah ini apa akan bisa mengulang kembali. Ah, mengapa Inaya tidak sepengertian ini? Padahal sudah diberitahu untuk menunggu di rumah saja selagi dia dan Khalisa ke sini. Hadyan melirik pada Khalisa yang tampak memaku sambil menghadap ke arah berlawanan. Dia berdeham. "Mas ke depan, ya," ucapnya serak. "Iya." Khalisa mengangguk tanpa menoleh. Suaranya tidak kalah serak. "Kamu lanjutkan mengemas pakaiannya, kalau sudah selesai kasih tahu. Biar nanti tasnya saya yang bawa." "Iya." Sekali lagi Hadyan menghela napas panjang, lalu beranjak menuju teras menyambut Inaya. "Maksa minta ke sini. Padahal sudah dibilang kalau Ayah sama Bunda ada kerja. Malah bilang mau bantu," terang Atikah yang mengekor gadis kecil itu di belakang. Hadyan tersenyum, menatap Inaya teduh, "Mengapa enggak dengar kata Uti?" tanyanya penuh sesal. Ah, paling tidak kalau Inaya tidak datang, saat ini dia masih bisa lebih intens dengan Khalisa. "Habisnya Ayah sama Bunda lama banget. Aya bantuin pasti bisa lebih cepat," sahut Inaya seolah memang bisa membantu. Hadyan menggeleng gemas. Dia paham, Inaya begitu antusias mengetahui bahwa dia akhirnya memiliki seorang ibu. Sudah lama dia bertanya tentang ibunya. Mengapa dia tidak memiliki ibu sementara teman-temannya punya. Bahkan dulu pernah Inaya meminta Hadyan untuk membeli ibu di pasar. "Ayah sama Bunda sebentar lagi selesai," terang Hadyan sambil meraih Inaya ke dalam gendongan. "Oh, ya?" "Iya." "Bundanya mana?" "Bunda lagi mengemas pakaian untuk dibawa ke rumah kita." "Jadi benar Bunda akan tinggal di rumah kita?" "Iya benar, dong." "Di rumah kita sampai lama-lama?" "Huum. Sampai lama-lama." "Asyiiik." Hadyan tertawa bahagia melihat keceriaan Inaya. Rasanya dia benar-benar telah menemukan kebahagiaan yang telah lama hilang. Tidak berapa lama, Khalisa keluar dengan tas besar di tangannya. Hadyan segera menurunkan Inaya, lalu menghampiri Khalisa dan mengambil alih bawaan darinya. "Biar, mas, saja. Berat," ucapnya. Khalisa mengangguk. Dia tiba-tiba seperti sulit bicara. Lidahnya seolah kelu. "Bunda benar mau tinggal di rumah Aya sampai lama-lama?" Inaya langsung menyambut Khalisa dengan kalimat polosnya. Dia berlari menyongsong ibu sambungnya itu tidak sabar. "Iya, Sayang," sahut Khalisa masih terkesan kikuk. "Asyiiik. Jadi sekarang kita bisa sering main sama-sama, ya, Bunda?" "Iya." "Janji, ya." "Janji." Lagi-lagi Hadyan tersenyum melihat tingkah Inaya. Mencari istri pengganti itu mudah, tetapi tidak ibu pengganti. Tidak semua wanita bisa menerima anak yang dibawa lelaki dengan status orang tua single seperti dirinya. Beruntung dia menemukan Khalisa. Sejak pertama bertemu, Hadyan tahu bahwa Khalisa pasti bisa menerima Inaya. Kedekatan yang ditunjukkan Inaya dan Khalisa sedikit bisa menghibur kekecewaannya akibat kebersamaannya dengan Khalisa yang tadi dipaksa terjeda. Meskipun mungkin kesempatan itu tidak akan datang lagi dalam waktu dekat ini. Ah, sepertinya dia masih harus bersabar. *** Malam kedua di rumah Hadyan, Khalisa memulai peran sebagai seorang ibu. Inaya meminta dia yang membacakan cerita pengantar tidur. Bagi Khalisa, justru bukan suatu yang sulit menjadi ibu dari gadis kecil yang manis dan pintar. Justru yang sulit, menjalankan peran sebagai seorang istri Hadyan. Sejak kejadian tadi siang, kecanggungannya semakin menjadi. Dia bahkan lebih banyak diam saat berhadapan dengan Hadyan. Lebih banyak menunduk, tidak berani untuk menatap. Rasanya benar-benar malu mengingat apa yang tadi mereka lakukan. Padahal hal semacam itu seharusnya biasa untuk pasangan suami istri. Selepas menidurkan Inaya, Khalisa kembali ke kamar utama dengan langkah ragu. Dia memutar pelan knop pintu. Langkahnya terasa urung ketika mendapati Hadyan yang tengah duduk menunggu sambil memainkan ponsel pintarnya di atas tempat tidur. Laki-laki itu lantas menoleh ke arahnya dengan tatapan yang menghunjam. Hanya persepsinya. Kenyataannya Hadyan melihat dengan sorot seperti biasa. Khalisa merasa tubuhnya menegang. Lekas dia menunduk, lalu melangkah walau langkahnya tiba-tiba terasa berat. "Inaya sudah tidur?" tanya Hadyan begitu Khalisa duduk di tepi tempat tidur dan hendak beringsut naik. Sumpah sebenarnya saat ini Khalisa tidak ingin naik ke atas tempat tidur. Dia belum siap jika terjadi sesuatu yang lebih dari tadi pagi. Akan tetapi, entah mengapa gerakannya mengarahkan dia untuk ke sana. "Sudah," sahut Khalisa pelan sambil mengangguk. Dia berbaring presisi di tepi tempat tidur, menjaga agar tetap tercipta jarak antara dirinya dengan Hadyan. "Mengapa tidurnya di tepi sekali? Nanti jatuh bagaimana?" tanya Hadyan dengan dahi mengernyit. Dia terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Dia menggeser sedikit tubuhnya dan berpindah tidak signifikan. "Kamu takut dekat-dekat dengan saya?" Hadyan bertanya lagi, "Enggak perlu takut begitu, Khalisa. Saya enggak menggigit. Kalau pun menggigit enak, kok, tidak akan menyebabkan rabies," lanjutnya absurd. Khalisa mendelik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD