"Beres-beresnya sudah selesai, saya tunggu di teras." Hadyan memutuskan untuk keluar, menjauh dari Khalisa. Benar-benar bisa bahaya jika dia berlama-lama bersama gadis itu. Jika begini, dia tidak tahu apakah bisa menunaikan janjinya untuk tidak menyentuh istrinya hingga dia dapat menerima pernikahan mereka.
"Iya." Khalisa mengangguk. Semua barang memang sudah dikemas rapi. Tinggal sekarang mengemas pakaian dan barang pribadinya untuk dibawa ke rumah Hadyan.
Khalisa segera menuju kamar, tempat di mana selama ini dia menikmati kesendirian dan melepaskan penat setelah seharian beraktivitas.
Khalisa duduk sebentar di tepian tempat tidur, memindai seisi kamar yang sebentar lagi akan ditinggalkannya mungkin untuk selamanya. Suasana kamar ini hanya akan menjadi kenangan setelah ini. Dia pasti akan sangat merindukannya.
Puas merekam untuk terakhir kali suasana kamarnya ke dalam ingatan, Khalisa beranjak dan mulai memasukkan barang-barang ke dalam tas besar milikny. Semua pakaian, perlengkapan kecantikan, hingga aksesoris kesayangan dia bawa.
Tengah mengemas, Khalisa mendengar keributan dari arah luar. Dahinya mengernyit, menyimak dengan seksama apa yang terjadi.
"Sebaiknya kamu segera pergi dari rumah ini. Jangan pernah menemui Khalisa lagi!" Suara Hadyan terdengar menginstruksi.
"Kamu tidak berhak mengusirku dari rumah ini dan melarangku menemui Khalisa. Memangnya siapa kamu?"
"Tentu saja saya berhak. Khalisa istri saya sekarang."
"Bohong!"
"Sayangnya tidak. Saya dan Khalisa memang sudah menikah."
"Bagaimana mungkin Khalisa mau menikah dengan seorang duda sepertimu?"
"Kenyataannya memang begitu."
"Khalisa mencintaiku. Dia tidak mungkin menikah dengan laki-laki lain!"
"Cinta saja tidak cukup untuk menjadi pertimbangan seorang perempuan menikah. Paling penting keberadaan di saat dia membutuhkan. Kemana kamu saat dia membutuhkan? Satu minggu ayahnya sakit, dia berada dalam kondisi tersulit. Tapi, tidak sekalipun kamu datang menguatkannya. Bahkan menghilang tanpa kabar."
"Saya sibuk. Saya bekerja dan itu juga demi Khalisa. Demi masa depan kita berdua. Lagi pula itu bukan urusan Anda!"
"Iya. Dulu memang bukan urusan saya. Tapi, sekarang segala urusan Khalisa sudah menjadi urusan saya. Dia istri saya sekarang."
"Be de bah!"
"Radit!" Khalisa memekik. Laki-laki yang dia cari selama satu minggu ini akhirnya muncul. Saat Khalisa keluar, Radit dan Hadyan tengah bersitegang. Radit bahkan bersiap mengarahkan pukulannya pada Hadyan jika tidak pekikan Khalisa menahan niatnya.
"Lisa ...." Radit menerobos tubuh besar Hadyan yang menghalangi dan bergegas menghampiri Khalisa. Dia tidak peduli tatapan tidak suka laki-laki itu.
"Aku baru tahu pagi ini kalau ayah kamu meninggal," ucapnya tanpa merasa bersalah. Khalisa bergeming. Kekecewaannya terhadap Radit begitu besar.
"Jika tahu, pasti kemarin aku langsung ke sini. Kamu juga kenapa enggak memberitahu?"
Khalisa tersenyum sinis, menatap laki-laki yang nyaris menjadi suaminya itu miris.
"Iya, aku sengaja enggak memberitahu kamu," balas Khalisa datar.
"Kenapa?"
"Karena percuma. Seminggu Ayah dirawat di rumah sakit, aku memberitahumu, meminta kamu untuk datang, tapi tidak sedikit pun kamu peduli."
"Aku bukan tidak peduli, Lisa. Aku sudah memberitahu sebelumnya bahwa aku sibuk."
"Iya. Aku tahu kamu sibuk, makanya aku tidak lagi memberitahumu saat Ayah wafat."
"Ini beda, Lis."
"Apa bedanya?"
"Kalau aku tahu ayah kamu meninggal, pasti aku akan menyempatkan untuk datang."
"Untuk apa? Mengapa saat Ayah masih sakit, kamu tidak bisa menyempatkan diri untuk datang?"
"Aku sibuk, Lis. Berapa kali harus aku katakan bahwa aku sibuk."
"Sesibuk apa bahkan meluangkan waktu lima belas menit pun enggak bisa?"
"Ada banyak yang harus aku kerjakan."
"Heh!" Khalisa berdecak sinis, "Kamu sibuk benaran atau pura-pura sibuk? Apa mungkin sibuk dengan perempuan lain sehingga tidak mau diganggu?"
"Lisa!" Suara Radit meninggi, tidak terima atas tuduhan yang dilontarkan Khalisa. Matanya menatap nyalang. Wajahnya memerah. Sementara rahangnya mengeras.
"Hati-hati kalau bicara!" lanjutnya. Khalisa tersenyum sinis. Kemarahan laki-laki itu justru memperkuat feelingnya.
"Sebaiknya sekarang kamu pulang. Jangan pernah menemuiku lagi. Aku sekarang sudah menikah. Dia suamiku." Khalisa menoleh pada Hadyan, menegaskan pada Radit jika laki-laki itu suaminya.
"Enggak mungkin, Lis. Kamu enggak mungkin sudah menikah!" seru Radit tidak percaya.
"Memang begitu kenyataannya. Ayah memintaku segera menikah. Beliau ingin menjadi waliku sebelum pergi. Aku sudah menghubungimu banyak kali, tapi nomor kamu tidak aktif. Kamu tahu bahwa Ayah sedang dirawat, jangankan menjenguk, hp pun kamu matikan." Suara Khalisa serak menahan tangis.
Dia masih begitu kecewa atas sikap Radit. Oleh karena tidakpeduliannya, dia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
"Kamu bohong, Lis. Kamu hanya marah karena aku tidak menjenguk ayahmu."
"Aku tidak berbohong."
"Apa buktinya jika kamu sudah menikah?"
Khalisa terdiam sebentar, lalu mengangkat tangan kanannya setinggi d**a. Dia melebarkan jemarinya, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Radit terpaku.
"Seharusnya kamu tidak gegabah untuk menikah, Lis. Seharusnya kamu menunggu aku. Aku 'kan sudah bilang kalau sibuk. Aku kerja juga demi kamu, Lis," sesalnya.
"Aku bisa menunggu, tapi apa meninggalnya Ayah bisa ditangguhkan?" Khalisa bertanya geram.
"Kamu tidak harus menuruti permintaan ayahmu. Permintaan terakhir apa menikah secepatnya? Permintaan gila?"
"Radit!" Khalisa semakin geram. Ganti dia yang menatap Radit nyalang. Mukanya memerah. Bahkan dadanya turun naik menahan emosi. Dia tidak terima jika permintaan terakhir Hasan disebut permintaan gila.
"Memang benar begitu 'kan? Apalagi namanya jika bukan permintaan gila?" Radit justru semakin menjadi, "Kamu pun tidak harus bertingkah seperti perempuan murahan, yang mau dinikahi begitu saja oleh sembarang laki-laki."
Bug!
Tubuh jangkung Radit tiba-tiba terhuyung seiring suara terdengar suara pukulan. Genggaman tangan kekar Hadyan mendarat tepat di perutnya. Pukulan kedua segera menyusul, hingga tubuh yang terhuyung itu akhirnya ambruk ke lantai.
"Jangan pernah menghina istri saya dan menyebutnya perempuan murahan." Hadyan menggeram. Giginya bergemeletuk. Dia membungkuk untuk menarik leher baju Radit, memaksa tubuh itu berdiri, lalu bersiap melepaskan pukulan ketiga. Jika tidak pekikan Khalisa menahannya.
"Jangan, Mas!" Khalisa mendekat. Hadyan yang bersiap melepaskan pukulan, menoleh.
"Kamu masih membela laki-laki ini, Khalisa?" tanyanya sambil menatap kecewa.
"Bukan. Aku tidak membelanya," balas Khalisa.
"Lalu apa?"
"Aku hanya tidak mau, Mas, buang waktu meladeni dia dan mengotori tangan untuk memukulinya."
Hadyan masih tetap dengan ancang-ancangnya, mengepalkan tangan ke arah Radit. Napasnya memburu lantaran emosi.
"Lepaskan dia, Mas. Tidak ada gunanya meladeni dia," ucap Khalisa lagi.
Hadyan menghela napas kasar, lalu melepaskan tubuh Radit dengan kasar pula hingga dia kembali terjengkang ke lantai.
"Kamu saya lepaskan, hanya lantaran permintaan istri saya. Sebaiknya kamu segera pergi, sebelum saya berubah pikiran." Hadyan menatap Radit garang.
Radit beringsut bangkit, menahan nyeri atas pukulan Hadyan yang selain karena marah, juga disertai api cemburu.
"Aku tidak akan melupakan ini semua Kalian berdua harus menerima pembalasanku," ucap Radit penuh dendam. Sembari meringis, dia berbalik menuju sepeda motornya, lalu melesak kencang.
Tangis Khalisa lepas. Dia melangkah masuk ke kamar, membawa sesak yang menggumpal di dadanya. Bagaimana bisa Radit menumpukan tuduhan yang begitu kejam padanya, sebagai perempuan murahan yang mau dinikahi lelaki sembarang.
Bagaimana pula laki-laki itu menyebut permintaan terakhir ayahnya, laki-laki cinta pertamanya, satu di antara dua manusia yang sangat berjasa dalam hidupnya sebagai permintaan gila?
Khalisa menghempaskan diri di atas tempat tidur, menahan kecewa dan rasa sakit atas perlakuan Radit.
Dia yang menyebabkan mereka berpisah, tetapi dia pula yang menyalahkan.
"Khalisa." Hadyan yang menyusul, duduk mensejajari Khalisa. Tangan kekarnya meraih tubuh ramping istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia tidak ragu lagi untuk mendekap. Sikap dan ucapan Radit justru menguatkan sumpahnya untuk terus memiliki Khalisa, tidak akan melepaskan istrinya itu sampai kapanpun.
"Mengapa dia begitu jahat?" Khalisa tergugu dalam pelukan Hadyan. Ucapan Radit benar-benar menggores hatinya.
"Jangan dipikirkan. Dia tidak lagi penting bagimu. Saya suami kamu sekarang," balas Hadyan. Dia sengaja menegaskan pada Khalisa, bahwa dialah pemilik penuh atas dirinya saat ini.
"Apa aku memang murahan?" tanya Khalisa masih tergugu.
"Tidak. Justru kamu wanita terhormat. Kamu rela mengorbankan kebahagiaan demi bakti pada orang tua," balas Hadyan.
"Mas pasti hanya sekadar menghiburku."
"Enggak." Hadyan menggeleng, "Wanita yang meletakkan pernikahan di atas sebuah hubungan tidak mungkin murahan. Dia tentu wanita terhormat," tegasnya.
Khalisa melemahkan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia menengadah, menatap pada Hadyan. Mata sayunya mencari ketulusan dari ucapan laki-laki yang berstatus suaminya itu. Benar, dia menemukannya.
"Terima kasih, Mas," ucapnya tanpa melepaskan tatapannya.
"Sama-sama." Hadyan menyahut serak. Tatapan sayu Khalisa justru kembali membangkitkan gejolak yang tadi coba dia redam. Jakunnya tampak turun naik, menandakan dia tengah menelan ludah. Dadanya semakin bergetar tatkala hangat embusan napas Khalisa terasa menyapu wajahnya. Sepertinya kali ini gejolak itu tidak akan sanggup dia redam. Wajahnya perlahan mendekat.