"Sebenarnya waktu itu saya melihat...," Zara tak melanjutkan perkataannya, dia malu jika harus jujur pada Arya.
"Melihat apa?" Arya makin antusias ingin tahu.
"Ehem...." Zara masih diam, sedang memikirkan apakah harus jujur atau tidak.
"Tidak usah malu-malu, katakanlah. Mungkin, saya bisa membantumu." Arya berusaha meyakinkan Zara.
"Ah sungguh tidak benar jika aku mengatakan masalah rumah tangga ku pada orang lain." Dalam hati Zara.
"Tidak ada pak Arya, saya hanya merasa khawatir. Takut kalau saja terjadi sesuatu pada suami saya," ujar Zara.
"Begitu ya." Arya mengangguk, dia paham pasti Zara tak ingin menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang luar.
"Ke kota mana sebenarnya Angga pergi?" tanya Arya.
"Ke kota B," jawab Zara, dari raut wajahnya terlihat ada kesedihan.
"Kota B?" Arya meyakinkan.
"Iya," jawab Zara.
"Kebetulan dua hari lagi saya mau pergi ke kota B. Selain untuk peresmian resto baru, saya juga di minta menghadiri acara syukuran empat bulanan sepupu saya," ujar Arya.
"Apa maksud nya, pak Arya mengatakan hal ini padaku?" dalam hati Zara, dia bingung.
"Iya." Zara hanya mengatakan iya untuk merespon perkataan Arya.
"Maksud saya mungkin kamu mau ikut, Sekalian mencari keberadaan suamimu. Siapa tahu bisa ketemu." Arya menatap lekat kearah Zara yang sedang menunduk.
Zara segera mendongakan wajahnya, membuatnya bisa melihat jelas wajah Arya yang sedang menatapnya.
Hem
Arya jadi salah tingkah. Dia segera memalingkan wajah, malu itulah yang dia rasakan karena ketahuan sedang memperhatikan wajah cantik wanita dihadapannya ini.
Blush
Wajah Zara merona, dia pun merasa malu saat tanpa sengaja beradu tatap dengan duda keren didepannya ini.
"Bagaimana?" tanya Arya, setelah berhasil menetralkan degup jantungnya.
"Emm, kapan pergi nya?" Zara jadi bleng, padahal tadi Arya sudah bilang.
"Dua hari lagi. Pikirkanlah, jika mau ikut kamu bisa menghubungiku atau Eva." Arya berdiri.
"Iya saya akan pikirkan dulu." Zara ikut berdiri.
"Kalau begitu saya pulang dulu, permisi," pamit Arya, yang di balas anggukan kepala oleh Zara.
*****
Di kota B
Angga sedang duduk sambil melamun di teras rumahnya.
Ini adalah hari Sabtu, kantor tempatnya bekerja libur.
Angga sudah membeli rumah baru, sehingga tidak tinggal dengan orang tua Nadia lagi.
"Sayang!" Nadia memeluk leher suaminya itu dari belakang.
"Zara!" Replek Angga memanggil nama Zara.
Dia merindukan Zara sebenarnya, tapi bingung juga harus menjelaskan dengan cara bagaimana kepada isterinya itu nanti.
"Mas!" pekik Nadia kesal.
Dia langsung masuk ke dalam rumah kembali dengan muka masamnya.
"Nad! Maafkan aku!" Angga mengikuti Nadia ke dalam.
"Aku tidak suka kamu selalu memanggil ku dengan nama dia! Aku yang ada di hadapan mu mas! Tapi kamu selalu ingat dia!" Nadia berkata dengan berderai air mata.
"Maafkan mas, Nad!" menangkup pipi isteri keduanya lalu mencium keningnya sekilas.
"Aku benci kamu selalu memanggilku dengan namanya!" akhirnya Nadia terisak di d**a Angga.
"Itu replek, aku gak sadar," ujar Angga menjelaskan.
Nadia mengurai pelukannya dan menatap suaminya tajam.
"Itu artinya hanya ada nama dia di hatimu mas!" teriak Nadia geram.
"Iya namanya memang ada di hatiku, dia juga isteri ku!" suara Angga sedikit meninggi.
"Mas!" Nadia berteriak.
Dia meraih Vas yang ada di atas meja dan melemparkannya ke arah Angga.
Prang...
Terdengar suara pecahan Vas yang membentur dinding.
Angga terkejut dengan reaksi berlebihan dari Nadia.
Dengan cepat dia mengelak dari vas itu, namun naas pecahan vas yang memantul dari dinding membuatnya terkena serpihan pecahan vas itu tepat di pelipis kanannya.
"Nadia! Apa-apaan kamu!" teriak Angga sambil memegangi pelipis kanan nya yang mengalirkan darah segar.
Bukan nya menyesal, Nadia malah pergi meninggalkan suaminya itu.
Dia pergi ke rumah orang tuanya yang tidak jauh dari rumahnya.
Angga segera berlari ke kamar mandi dan membersihkan darah. Lalu berusaha memberikan obat merah dan menempelkan plester di pelipisnya itu.
Ada luka robek kecil di sana.
"Zara maafkan mas," gumamnya pelan.
***
Dua hari sudah dari saat obrolan antara Zara dengan Arya. Zara sudah memutuskan sesuatu.
Zara memutuskan untuk ikut dengan Arya, dengan harapan besar akan bertemu dengan suaminya.
Dia ingin meminta kejelasan statusnya. Apalagi kini dia tengah hamil besar. Usia kandungan nya sudah lewat tujuh bulan.
Zara sudah bersiap. Saat ini waktu menunjukkan pukul lima pagi.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu di ketuk.
Dengan cepat Zara membuka pintu. Di ambang pintu menampakan wajah Eva yang tersenyum ceria.
"Va, ayo masuk!" ajak Zara.
"Gak usah Tante, aku cuma mau ngasih tahu kalau papa udah nungguin di dalam mobil," ujar Eva.
"Oh sepagi ini!" Zara terkejut dia pikir akan pergi jam enam atau tujuh pagi.
"Kata papa sih biar gak kejebak macet," jelas Eva.
"Huuh, untung udah siap. Tunggu Tante ambil dulu ranselnya." Zara bergegas menuju ke dalam kamarnya.
"Aku bantuin ya, tan." Eva ikut masuk dan membantu Zara membawakan ranselnya.
"Makasih ya Va," ujar Zara.
"Kan calon...." Eva langsung membekap mulutnya.
"Calon apa ?" Zara jadi penasaran.
"Calon mama dedek bayi dong, hehehe." Eva nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Kirain apa." Zara geleng-geleng kepala.
"Emang tante pikir aku mau ngomong apa?" Eva jadi penasaran.
"Gak tahu, tadi tante cuma penasaran aja Eva mau ngomong apa. Soalnya Eva jeda perkataannya." Zara berjalan keluar dari rumah, Eva mengikuti dengan wajah kecewanya.
Eva ingin Zara berpikiran dirinya akan mengatakan 'calon mama Eva lah. Eva berharap agar Zara dan Angga berpisah saja, lalu Zara menikah dengan papanya dan Zara menjadi mama sambungnya.'
Anak itu sungguh keterlaluan, hadeuh.
Di depan rumah, tampak sebuah mobil Pajero putih sudah nangkring.
Arya membuka pintu depan dari dalam.
"Ayo!" ujar Arya.
Eva memasukkan tas ransel Zara di jok belakang.
"Saya duduk di mana?" Tanya Zara dengan malu.
"Di depan dong, kan saya bukan sopir." Arya tersenyum tipis.
"Eh iya." Zara tersenyum malu, lalu segera masuk dan duduk di samping Arya dengan ragu.
Malu dan tidak enak hati, duduk berdua di dalam mobil dengan pria yang bukan muhrimnya.
"Papa titip tante Zara ya." Eva berkata dengan antusias.
Arya mengacungkan jempolnya diiringi senyuman tipis.
Zara ikut tersenyum melihat tingkah Eva.
"Ada ada saja," gumamnya.
"Tante, jagain papa aku ya dari para tante genit yang suka gangguin papa. Aku gak mau punya mama baru yang genit dan sok caper. Aku maunya punya mama baru kayak tante kalau ada stok." Eva berkata diiringi tawa kecilnya.
Membuat Arya geleng-geleng kepala, tapi pipinya merona. Dengan cepat dia menoleh ke arah lain.
"Ada-ada saja kamu Va." Zara geleng-geleng kepala.
"Papa gak mau kejebak macet nih, udah dulu ya Va. Kamu baik-baik sama nenek, jangan tidur kemalaman dan jangan keluyuran." Ujar Arya, lalu melambaikan tangannya kepada Eva. Setelah dia menetralkan perasaannya.
Eva balas lambaian tangan sang papa."Siaaap! Dah tante mama!" pekik Eva dengan senyuman yang lebar.
Zara balas melambaikan tangannya kepada Eva, anak ini memang sering memanggilnya tante mama.
Arya pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan tempat mereka.
Di sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara.
Hanya suara deru mobil yang terdengar.
Hingga sekitar jam tujuhan Arya membuka percakapan. " Kamu udah sarapan Ra?" menoleh sekilas lalu fokus kembali ke depan.
"Eh dia memanggil ku Ra, seperti yang udah akrab aja," dalam hati Zara.
" Belum." Zara menjawab pelan, dia malu.
"Kalau begitu kita mampir ke warung dulu ya, kita sarapan dulu. Kasihan bayi kita.." Arya langsung menutup mulutnya dan menoleh ke arah jendela mobil.
Dia keceplosan.
Blush
Wajah Zara langsung memerah.
"Tadi pak Arya bilang bayi kita kan? Enak saja ini kan bayi ku dan mas Angga!" Zara menyentuh perutnya yang sudah membuncit itu.
"Tadi anda bilang bayi kita kah?" bertanya dengan ketus sambil menatap Arya dengan cemberut.
Arya menoleh sekilas lalu pokus ke depan, dia sedang nyetir.
"Saya bilang...." Arya tersenyum tipis.