Zara membuka pesan itu dengan sedih.
"Maaf sepertinya aku gak akan pulang dulu untuk beberapa waktu, sampai kamu tidak menyakiti hatiku lagi."
Zara tertawa getir. "Menyakiti hati mu? Heh, bukankah kamu yang justru menyakiti ku mas dengan penghianatan mu itu!"
Pesan dari Angga suaminya, membuat nya sedih dan kecewa.
"Apa aku salah ya? Apa itu bukan tanda kismark? Apa itu hanya bekas garukan jarinya saja? Aah tapi aku yakin, itu tanda bekas kecupan!"
Zara akhirnya terus memikirkan tentang tanda merah itu.
Tak terasa malam semakin larut, hingga akhirnya Zara tertidur di kamar nya dengan di selimuti kesedihan.
*
*
Zara berdiri dengan tegang, menatap sepasang pria dan wanita yang bergandengan tangan dengan mesranya.
"Mas Angga!" teriaknya lantang.
Angga langsung menoleh kearahnya. Dia tampak terkejut melihat Zara ada di belakangnya dengan tatapan mata yang tajam.
Sedangkan wanita di sampingnya, tampak mempererat gandengan tangannya.
"Zara!" Angga berkata lirih.
Zara menghampiri Angga dan wanita itu.
"Jadi kamu benar-benar mengkhianati ku mas!" Zara berteriak dengan lantangnya.
"Maafkan aku Zara." Angga berkata dengan lembutnya.
"Maaf katamu! Lihat perut ku ini! Di sini ada anak mu mas! Dan kamu sudah menyakiti nya secara tidak langsung!" teriak Zara dengan marahnya.
"Maaf!" Lagi - lagi Angga minta maaf.
"Mas Anggaaaa!" teriak Zara.
Zara langsung terbangun dari mimpinya, dia terkejut luar biasa. Nafasnya sampai tersengal-sengal.
"Huuuh syukurlah cuma mimpi!" Zara menghela nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lembut.
Dia segera ke dapur untuk mengambil air minum. Lalu meneguk air putih dingin itu sampai habis.
Zara tak bisa lagi tertidur, pikirannya dipenuhi kegelisahan."Apa mas Angga benar-benar mengkhianati ku," gumamnya gelisah.
*
*
Sementara itu di tempat lainnya.
Angga sedang berusaha memejamkan matanya, dengan Nadia di pelukannya.
Matanya terpejam, tapi pikiran nya tak bisa ikut tidur. Dia sangat gelisah. Akhirnya, Angga membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya.
"Aku harus bagaimana? Zara sudah curiga! Apa aku jujur saja? Tapi, rasanya aku tak mampu untuk berkata jujur saat ini. Huuuh, biarlah nanti lagi aku katakan kepadanya jika waktunya sudah pas." Gumamnya pelan.
Angga membalikkan badannya, kini berhadapan dengan Nadia yang begitu lelap dalam tidurnya.
"Nad, kenapa kamu hadir di waktu yang salah! Tapi ini semua sudah terjadi, aku tak boleh menyesalinya!" Angga mengecup puncak kepalanya sekilas.
"Maapkan aku Zara! Seharusnya aku saat ini mendampingi mu, apalagi kamu sedang hamil." Angga memejamkan matanya kembali.
Dan kali ini dia terlelap dalam tidurnya diselimuti mimpi.
*
*
Beberapa bulan kemudian
Kini kehamilan Zara sudah menginjak tujuh bulan lebih.
Semenjak kejadian waktu itu, Angga tak pernah lagi pulang. Bahkan saat di hubungi pun Angga tak menjawabnya.
Di chat pun tak pernah membalas, padahal status nya online.
"Mas Angga kenapa kamu begitu! Apakah aku sudah tak ada artinya lagi untukmu? Apa statusku bagimu saat ini! Iya kamu masih menafkahi ku secara lahir, tapi aku juga butuh kehadiranmu apalagi sebentar lagi aku akan melahirkan!"
Zara terisak dalam tangisannya yang terdengar pilu.
Selama ini Angga memang masih ingat kewajibannya untuk menafkahi Zara, dia selalu mentransfer sejumlah uang kepada Zara setiap bulannya.
Tanpa Zara sadari seseorang menatapnya dengan tatapan yang sendu, seolah merasakan kesedihan yang di rasakan oleh Zara.
Dia adalah Arya.
Tadi Arya sengaja datang ke rumah Zara, ingin menanyakan Eva anaknya. Mungkin, Eva ada di rumah Zara pikirnya.
Pintu utama memang terbuka, tadi Zara sengaja membuka nya lebar selepas menyapu halaman.
Dia duduk di kursi di ruang tengah untuk melepas lelah, namun tiba-tiba saja dia memikirkan suaminya. Hingga ia menangis terisak-isak tanpa ingat pintu yang masih terbuka lebar.
Arya berdiri di ambang pintu utama, menatap Zara yang sedang terisak. Hatinya ikut sakit melihat kesedihan Zara. Entah kenapa bisa begitu.
Apalagi, Zara sedang hamil besar.
Arya tahu banyak hal tentang Zara dari Eva anaknya, yang selalu tak pernah lupa menceritakan tentang apa yang Zara katakan padanya.
Itulah Eva, dia selalu bercerita dan terbuka pada papa nya itu. Ya, hanya pada papa dan neneknya saja. Ibu dari Arya.
Arya jadi bingung, dia sudah tanggung ada diambang pintu.
Mau pulang bagaimana, mau masuk apalagi. Karena, sepertinya Eva tidak ada di sana.
"Ehem!" Arya akhirnya berdehem untuk memberitahu kan keberadaannya di sini.
Zara terkejut, dengan cepat dia menghentikan isakannya dan menyeka air matanyang membasahi pipinya.
"Eh, pak Arya." Zara jadi salah tingkah, dia bingung dan malu ketahuan menangis.
"I iya, saya hanya mau cari Eva. Hem apakah Eva ada di sini?" Tanya Arya tak kalah salah tingkah nya, padahal jelas-jelas dia tahu Eva tidak ada.
"Eva, Eva belum ada kesini hari ini." Zara tersenyum malu.
"Aah, manis sekali senyuman nya." Arya mendesah dalam hati.
"Kenapa kamu menangis?" Arya terkejut pada dirinya sendiri yang replek bertanya seperti itu.
Muka Arya sampai memerah karena malu dengan pertanyaannya sendiri.
Sampai-sampai rasanya dia ingin memukul mulutnya sendiri. Yang sudah lancang bertanya seolah dirinya adalah temannya saja.
Aaah, mungkin akan terkesan sok akrab! Pikir Arya.
Zara sendiri terpana mendengar pertanyaan dari Arya.
"Memikirkan suami!" jawabnya repleks, Zara pun terkejut dengan dirinya sendiri yang replek menjawab jujur pertanyaan Arya.
Mereka saling tatap, lalu replek tertawa bersama.
"Kita ngobrol di teras saja ya pak, malu sama tetangga. Saya takut di gosip kan yang tidak-tidak." Zara tersenyum kecil kepada Arya.
"Iya." Arya mengangguk.
Zara dan Arya pun duduk di kursi yang ada di teras rumah Zara.
"Sebentar, biar saya ambilkan minuman dulu." Zara melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumahnya.
Arya hanya diam tak berkata-kata.
Beberapa saat kemudian Zara datang dengan membawa segelas air putih.
"Maaf pak, cuma ada ini." Zara tampak malu saat berkata.
"Tidak apa-apa." Arya tersenyum.
Mereka kini duduk saling berhadapan di kursi berbeda tentunya.
"Kenapa kamu menangis, boleh saya tahu?" menatap Zara penuh penasaran.
Zara menghela nafasnya dalam-dalam.
"Apa boleh saya jujur pada anda?" tanya Zara dengan raut sedihnya, dia butuh teman curhat saat ini.
Sepertinya, Arya adalah orang yang baik. Ya paling tidak sebaik Eva, pikirnya.
"Tentu, saya akan senang jika kamu mau bercerita pada saya. Mungkin saya bisa membantumu." tersenyum dengan ramahnya.
Deg
Jantung Arya berdegup kencang saat ini, saat matanya tanpa sengaja saling bertatapan dengan mata Zara.
Dengan cepat Arya memalingkan wajahnya, tidak baik lama-lama bersitatap dengan Zara.
Apalagi, Zara adalah isteri orang.
Sedangkan, Zara biasa-biasa saja. Karena memang tidak ada perasaan apapun.
"Sebenarnya suami saya sudah lebih dari tiga bulan ini tidak pulang." Zara membuka suaranya, dari nada bicaranya terdengar dia menahan sesak ingin menangis.
"Iya, Eva pernah mengatakannya," sahut Arya pelan.
"Anak itu! Apa dia sering menceritakan tentang saya pada anda?" tanya Zara penasaran.
"Heheh, iya sering. Sepertinya setiap yang kamu katakan padanya akan sampai pada saya juga. Tapi kamu tenang saja, dia terbuka hanya pada saya dan ibu," sahut Arya cepat.
"Hehehe, Eva awas ya kamu!" Zara terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, ada rasa malu mengingat jika saja benar semua yang ia curhat kan memang sampai ke telinga Arya.
Arya tertawa tanpa suara melihat tingkah Zara, lucu menurutnya.
Diam-diam, Arya memperhatikan setiap perubahan raut wajah Zara. Bibirnya tersenyum tipis.
"Apa kalian bertengkar sebelumya?" tanya Arya kembali, ia penasaran.