8-Kegelisahan Zara

1149 Words
"Saya bilang bayi kita?" Arya seolah bertanya balik, dia tersenyum tipis. "Apa maksudmu? Kenapa juga aku harus bilang begitu? Ck cK. Kamu pasti salah dengar." Arya memang pandai berkelit, jadinya kan seolah Zara yang kegeeran atau kepedean. "Eh. Seperti tadi aku beneran mendengarnya ko." Zara berkata pelan, dia berusaha mengingat kejadian barusan. Zara sangat yakin dengan pendengaranya. Akhirnya Zara memilih diam karena memikirkan hal itu. Arya melirik nya sekilas. "Untunglah!" gumamnya. Arya menghentikan mobilnya di depan sebuah warung nasi. "Ayo kita makan dulu," menatap Zara sekilas, lalu segera memalingkan wajahnya. "Iya." Zara menganggukkan kepalanya pelan. Lalu turun dari mobil mengikuti langkah kaki Arya. Mereka kini sudah duduk di dalam rumah makan lesehan. Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Sesekali Arya melirik ke arah Zara. "Kamu mau ini?" Arya bertanya kepada Zara. "Enggak, kan saya sudah pesan sendiri pak." jawab Zara bohong, sebenarnya dia merasa ingin makanan Arya. Melihat Arya menyuap, sepertinya makanan itu terlihat enak. Tapi mana mungkin dia ngaku, kan malu. Tapi Arya yang memang suka melirik Zara sesekali, bisa melihat kalau Zara ingin makanan nya. Tanpa banyak bicara lagi, Arya mengambil ikan bakar miliknya yang masih ada setengah itu, lalu di simpannya di atas piring Zara. "Eh apa ini pak?" Zara bingung dan merasa malu. "Makanlah aku tahu kamu ingin ini!" Arya mencomot ikan bakar itu sedikit beserta nasinya lalu menyodorkannya ke mulut Zara. Zara diam, dia bingung dengan perlakuan Arya. "Makanlah!" tangan Arya masih menggantung di udara. Dengan terpaksa akhirnya Zara membuka mulutnya. " Terimakasih," ujarnya setelah menelan makanannya. Arya mengangguk, lalu melanjutkan makannya. "Lain kali jangan lakukan hal itu, nanti bisa menimbulkan fitnah." Zara berkata pelan. "Hemm, iya. Maaf," ucap Arya, dia paham perlakuannya pada Zara memang salah. Tapi, dia tadi repleks. "Aaah dasar! Hatiku memang tak bisa dibohongi!" Arya menghela nafasnya dalam. Setelah makanan habis, dan bersantai sebentar, mereka pun segera melanjutkan perjalanan. Cuaca sepertinya kurang mendukung. Langit terlihat mendung. Lalu tak berapa lama kemudian hujan pun turun begitu derasnya. "Zara sepertinya kita harus istirahat dulu, hujan begitu deras. Lihatlah jalanan licin dan jalanan terlihat gelap tertutup hujan," ujar Arya lembut, sambil menepikan mobilnya. Zara menghela nafasnya dalam. Hatinya gelisah. "Ada apa ini? Kenapa alam seolah ingin menghalangiku untuk menemui suamiku sendiri." Zara bergumam dalam hati, tiba-tiba saja dia teringat Angga. Hatinya sakit, saat teringat pertemuan terakhir mereka. "Iya gak apa, daripada kita celaka." Zara tersenyum lembut. Dia menoleh kearah Arya. Lalu kembali menatap jalanan sambil memikirkan suaminya. Deg Hati Arya berdegup kencang saat tanpa sengaja bersitatap dengan Zara. Sedangkan Zara tadi biasa saja. Dengan cepat Arya memalingkan wajahnya dan menetralkan detak jantungnya. Cukup lama mereka di dalam mobil. Dalam guyuran air hujan dan suasana yang terasa hening. Hanya suara air hujan yang terdengar. Zara memilih untuk memainkan ponselnya, berselancar di medsos. Untuk membuyarkan lamunannya. Dia mencari sesuatu di akun sss suaminya. Namun nihil, suaminya menang tidak aktif di medsos meski punya akun sss. Setelah cukup lama hening, Arya membuka obrolan. "Hem boleh saya tanya sesuatu?" Arya menatap Zara sekilas. "Iya silahkan." Zara memposisikan diri agar berhadapan dengan Arya. "Apa yang akan kamu lakukan saat bertemu suamimu itu nanti?" tanya Arya penasaran. "Saya..." Zara tampak berpikir. Sebenarnya, dia juga merasa sangat bingung. Arya masih menatapnya penasaran, sesekali dia memalingkan wajahnya. Entah kenapa, dia tidak sanggup berlama-lama bersitatap dengan Zara. "Saya tidak tahu, tapi saya merindukannya. Meski dia sudah jahat dengan tidak pernah pulang dan berkirim kabar," jawab Zara lirih, tersirat kesedihan yang dalam disana. "Maafkan aku yang sudah membuatmu sedih dengan pertanyaanku itu." Arya merasa bersalah telah menanyakan hal ini. "Tak apa." Zara memalingkan wajahnya ke arah luar jendela mobil kembali, menatap air hujan yang deras membasahi pepohonan yang ada di sepanjang pinggir jalan. Hujan turun cukup lama. Setelah dirasa hujannya agak surut, dengan segera Arya melanjutkan perjalanan. Menjelang sore barulah mereka tiba di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Itu adalah rumah lainnya milik Arya. Rumah yang hanya ditinggali, saat Arya mengunjungi kota ini. Arya bingung bagaimana caranya membangunkan Zara. Dari tadi Zara tertidur. Mau mengguncang lengannya, takut di bilang tidak sopan. "Zara, Zara kita sudah sampai!" beberapa kali Arya coba membangunkan Zara dengan suara pelan. Namun sepertinya Zara begitu lelap, dia merasa kasihan. Akhirnya, Arya hanya diam menunggu Zara sampai bangun sendiri. Dia menelusuri wajah cantik Zara dengan tatapan matanya. "Astagfirullah!" Arya menggusar wajahnya kasar. Dirinya sudah lancang menatap wanita yang jelas-jelas bukan muhrimnya. Arya akhirnya keluar sendiri dan membawakan tas milik Zara. Lalu meminta Bi Herni Art nya untuk membangunkan Zara. Sedangkan Arya segera masuk ke dalam kamarnya, dia ingin mandi. Badannya terasa gerah sehabis perjalanan jauh. "Nyonya, nyonya Zara bangun sudah sampai." Bi Herni mengguncang lengan Zara pelan. Zara membuka matanya perlahan, lalu menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangan,"Aaah, ko aku bisa ketiduran sepulas ini sih!" gumamnya malu. "Eh iya." Zara mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu celingukan mencari sosok yang membawanya ke kota ini, Arya. "Tuan Arya sudah masuk, katanya gerah mau mandi," ujar Bi Herni, dia paham siapa yang di cari Zara. "Heheh." Zara mengangguk sambil terkekeh malu. "Eh, tapi ibu ini siapa?" bertanya heran merasa tak kenal. "Saya cuma asisten rumah tangg nya pak Arya, nyonya," jawab Bi Herni dengan tersenyum ramah. "Iya, maaf ya jadi ngerepotin," mukanya memerah karena malu. "Gak apa-apa, nyonya pasti capek apalagi sedang hamil besar begini." Bi Herni tersenyum sopan dan hangat. Zara pun melangkahkan kakinya mengikuti langkah kaki Bi Herni menuju rumah Arya. "Ini kamar nyonya." Bi Herni berhenti di depan sebuah kamar. "Terimakasih." Zara mengangguk pelan. Dia masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya. Dia merasa lelah. Membuka aplikasi chatingnya, ingin mencoba peruntungan siapa tahu Angga sedang online. "Kebetulan," gumamnya senang. Dengan cepat Zara menelpon Angga. Tut Tut Dalam panggilan ke tiga akhirnya panggilannya itu di terima Angga. Zara tersenyum, hatinya berdebar hebat. Antara bahagia bercampur sedih. "Halo?" tanya seseorang dari sebrang sana. Zara terkejut, karena yang terdengar bukanlah suara suaminya. Melainkan suara seorang wanita. "Siapa sayang?" Zara bisa mendengar suara Angga yang sedang bertanya. Mungkin dia baru datang. Deg Jantung jara berdegup semakin kencang, berpacu begitu cepat di iringi rasa nyeri yang berdenyut di hatinya. "Ada apa ini mas? Apa dugaanku benar, kalau kamu sudah menghianatiku!" Hpnya jatuh di atas tempat tidur. Air mata berderai jatuh membasahi pipinya yang putih itu. Akhirnya tanpa bisa di bendung lagi air mata Zara berderai menganak sungai begitu derasnya. Zara terisak pilu. "Setega itukah kamu padaku mas? Apa salahku? Selama ini aku selalu mencoba menjadi isteri yang baik untukmu! Hik hik." Zara terisak pilu, sakit yang begitu dalam membalut hatinya. Tanpa Zara sadari seseorang sedang memperhatikannya dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna itu. Siapa lagi kalau bukan Arya. "Huuuh! Kenapa kamu sakiti wanita sebaik Zara." Arya mengesah dalam hati. Dia merasa iba pada Zara. Dia yakin Angga lah pusat kesedihan Zara, karena dia bisa mendengar suara Zara meski pelan. Arya segera meninggalkan tempatnya berdiri, tak ingin Zara menyadari kehadirannya. "Aku harus bisa bertemu mas Angga! Aku harus memastikan semuanya." gumam Zara pelan, disela isakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD