Diterima kerja

1602 Words
Setelah merasa tenang. Regina segera menuju ke perusahaan dimana dia akan melakukan interview lebih dulu. Dia berangkat bersama Vian dan Dilla. Tetapi, Vian hanya mengantarnya di depan perusahaaan. Dia bekerja di beda tempat dengan mereka. Tetapi masih saja satu group. "Bentar! Aku akan tanya resepsionis dulu." ucap Dilla. Dia tidak tahu bossnya sekarang ada atau tidak. Kemarin dia memintanya untuk mencari orang yang pintar agar bisa membantu bagian di salah satu perusahaan yang kosong. Banyak sekali yang melamar kerja tidak ada yang membuat bossnya tertarik. "Mbak, Tuan ada?" tanya Dilla. "Sebentar, saya coba hubungi lebih dulu." kata resepsionis itu. Selang beberapa menit menunggu. Resepsionis itu kembali berjalan menghadap Dilla. "Kamu bawa anak baru itu, kan?" tanya resepsionis itu. Sembari melirik ke arah Regina. "Iya," "Ya, sudah! Antar dia ke ruangan dulu. Tapi, Tuan masih belum. Ada di ruangan. Dia masih bersama dengan asisten pribadinya. Jika mau kamu tunggu saja untuk interview lebih dulu. Jika langsung diterima. Bisa langsung kerja." jelas resepsionis itu panjang lebar. Dilla hanya diam sambil tersenyum tipis. "Baiklah! Makasih." ucap Dilla, dia segera menarik tangan Regina untuk segera pergi ke ruangan bossnya. Karena tidak mau ditangani oleh hrd khusus. Sang bos minta semua pelamar kerja. Ditangani oleh dirinya sendiri. Agar dia bisa melihat setiap potensi yang dimiliki pekerja. Apa sesuai seperti yang diinginkan atau tidak. "Ina.. Kamu masuk saja dulu. Aku aku absen." kata Dilla, sembari tersenyum tipis memberikan semangat dengan gerakan tangan dari atas ke bawah. "Semangat, aku yakin kamu pasti diterima." kata Dilla. Dia melambaikan tangannya. Dan, hanya dijawab dengan anggukan kepala olehnya. Regina perlahan memegang gagang pintu. Dia dengan penuh ragu masuk ke dalam ruangan yang tampak kosong. Kedua mata Regina mulai menelisik setiap sudut ruangan itu. Tetapi, tetap tidak ada satu orangpun yang ada di sana. Ruangan yang tampak sangat luas dan megah di dalamnya. Lengkap dengan sofa. Kursi, meja yang besar. Dan, entah apa di sebelah kiri ada pintu lagi. Ina tak mau tahu tentang itu. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu. Sembari menunggu boss yang belum juga datang. Ina melihat ada beberapa rak buku atau dokumen yang membuat Regina penasaran. Dia berjalan mendekati rak itu. Penasaran dengan buku yang ada di atas. Regina mencoba meraihnya. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuat dia tidak bisa meraihnya. "Susah sekali." ucal Regina lirih. Kedua matanya melebar seketika. Tubuhnya terdiam mematung dalam hitungan detik. Saat sebuah tangan lewat di samping kepalanya. Hembusan napas berat itu ketika melintas menyentuh telinga dan pipinya. Deg! Seketika jantung Regina berhenti sesaat. Saat tangan itu mulai Mengambil buku yang ingin dia lihat. Regina yang terkejut, dia membalikkan badannya cepat. Hingga terpental ke belakang. Punggung menyandar di rak. Detak jantung Regina seketika beregu lebih cepat. Napasnya mulai terasa sesak. Dia menatap d**a bidang yang di takut kemeja dan jas itu berada di depannya. Ina menelan ludahnya susah payah. Saat perlahan jemari tangan kanan seorang laki-laki yang entah siapa itu. Menyentuh dagunya. Menariknya ke atas. Kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. Ina menatap lekat kedua mata itu. Dia hanya bisa diam, tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. "Ini yang kamu cari?" tanya laki-laki itu. Ina mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Antara takut dan dirinya sedikit was-was. "Jangan mengambil buku orang tanpa seijinnya. Itu namanya pencuri. Ingat itu!" Ina mengerutkan salah satu alisnya. Dengan mata yang ikut menyipit. "Maksud kamu?" tanya Ina. Laki-laki itu mengembalikan kembali bukunya. Dia berjalan sedikit menjauh dari Ina. "Kamu siapa?" tanya Ina. Laki-laki itu menakutkan kedua alisnya. Sembari bersedia pelan. Mendengar pertanyaan yang begitu bodohnya dari wanita di depannya itu. Ina merasa bingung dengan laki-laki yang entah sejak kapan dia berada di belakangnya tadi. Laki-laki itu berjalan menuju meja kerjanya. Ina dengan penuh ragu, dia berjalan mendekati lagi. Merasa penasaran dengan laki-laki yang ada di depannya itu. Laki-laki itu menarik sudut bibirnya tipis. "Aku siapa? Aku sekarang ada dimana? Kamu sekarang kerja dimana? Dan, apa yang kamu lakukan disini? Terus kenapa kamu masuk ruanganku apa ada yang perlu aku bantu disini?" tanya laki-laki itu. Dia beranjak duduk, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap Regina yang masih berdiri di depannya. Dengan tangan kanan memegang ujung kepala kursi berwarna hitam itu. Ina menelan ludahnya susah payah hingga meletakkan tenggorokannya yang terasa menegang. Dia terlihat begitu gugup berhadapan dengan laki-laki di depannya itu. Regina mematung seketika. Entah apa yang harus ia katakan. Dia tidak tahu laki-laki itu siapa. Hrd atau bos besar? "Kenapa kamu diam. Aku disini cari pegawai. Bukan cari koleksi patung." ucap laki-laki itu sedikit sinis. "Maaf! Apa kamu pak Rian?" tanya Ina gugup. "Pak? Memangnya aku bapak kamu?" kesal laki-laki di depannya. "Dudulah! Jangan berdiri di depanku." kata nya jutek. "I-Iya." Ina dengan tatapan mata terus mengamati laki-laki itu. Jemari tangan laki-laki itu mulai membuka kertas lamaran kerja yang dia buat dan titipkan Vian beberapa hari lalu. Dan, kedua matanya menelisik setiap tulisan di kertas lamaran kerja Ina. "Kamu lulusan sarjana akuntansi, dan sekarang kamu s2 ambil magister bisnis?" tanya laki-laki itu. "Iya.. Saya masih kuliah. Tapi sudah semester akhir. Dan, sudah mulai sidang tesis." kata Ina menjelaskan semuanya. "Oo.. Kenapa kau memilih bisnis?" "Karena memang saya tertarik dalam dunia bisnis. Saya suka tantangan dan hal baru salam dunia bisnis. Dunia bisnis memang naik turun membuat latihan mental untuk para pebisnis. Hal ini membuat aku tertantang untuk terus maju melakukan yang terbaik." "Kenapa kamu bekerja di perusahaan, yang gajinya mungkin hanya sampai 10 juta. Itu untuk karyawan. Sedangkan kuliah kamu bahkan menghabiskan uang banyak. Apa kamu anak orang kaya?" "Memangnya ada larangan anak orang mampu, kaya atau miskin untuk boleh tidaknya bekerja di perusahaan. Apa ada batasan menjangan sosial?" tanya Ina, dia mulai berani berbicara lebih tegas lagi. Laki-laki itu menutup lembaran lamaran kerja Ina. Dia meletakkan kedua tangannya di atas. Kedua matanya menatap ke arah Ina. "Kamu begitu mudah bilang seperti itu? Kamu tidak tahu perusahaan ini. Perusahaan retail terbesar. Dan, satu lagi. Aku yang memegang perusahaan ini sekarang. Jadi kamu harus nurut aturan kerjaku. Jika kamu mulai bekerja disini. Disini, semuanya sama rata. Tidak ada perbedaan anak orang kaya atau tidak. Tidak pandang pendidikan. Kamu harus bekerja sesuai dengan dengan apa yang tertera dalam lowongan pekerjaan. Dan, ingat kamu tidak bisa kita uang gaji lebih. Jika masih dalam tahap magang. Dan, satu lagi. Kau tidak suka jika disini. Ada orang yang tidak jujur. Akan aku keluarkan dari perusahaan ini secara tidak hormat." tegas laki-laki itu. Dia menatap wajah Ina dengan serius. "Dan, selamat bergabung di perusahaan ini. Aku Rian. Kamu bisa panggil aku nama saja. Aku masih muda. Umurku bahkan lebih muda dari kamu. Aku tidak mau dipanggil bapak. Dan, kalian bisa panggil mas Rian." ucap Rian mulai mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya pada Ina. Meski wajah laki-laki itu tetap saja datar. Dia bukan tidak ada senyumnya sama sekali. "Iya, makasih!" Ina menerima uluran tangan Rian. Dia bernapas lega, ini adalah awal baru bagi dirinya. Masuk dalam dunia kerja. Sebelum dia masuk ke dalam.perusahaan ayahnya sendiri nantinya. Orang Tuanya juga setuju untuk memintanya kerja. Untuk melupakan semua tentang kenangan bersama Eno yang ada di sana. Rian menarik tangannya kembali. "Oke, selama aku masih memegang perusahaan ini. Kamu ikuti peraturan. Tapi, setelah kakakku sudah sembuh dan pegang perusahaan ini. Maka kamu ikuti aturan dia." jelas Rian. "Baik pak Rian.. Eh.. Maaf.. Mas Rian." kata Ina gugup. "Nama kamu Regina, siapa nama panggilan kami." Ina memincingkan matanya. "Em... Apa anda tidak baca di surat lamaran." "Tidak!" ucap Rian. Dia lebih fokus pada foto Ina yang cantik dan pendidikan yang membuat dirinya merasa kagum dengannya. "Oo.. Panggil saja aku Ina." ucap Regina lirih. "Ina.. Oke, baiklah!" kata Rian. "Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang." ucap Ina. "Bentar, aku akan panggilkan Dilla. Dia yang akan bantu kamu masuk ke dalam ruangan kamu nanti." kata Rian. Dia mulai menelfon Dilla lewat telfon kantor. Hanya beberapa menit saja menunggu. Dilla masuk ke dalam ruangan Rian. "Maaf pak Rian, ada apa?" tanya Dilla menundukkan sedikit badannya memberikan hormat pada bossnya itu. "Bawa dia ke ruangannya." pinta Rian. "Baik, tuan!" ucap Dilla. Retina mengerutkan keningnya. Dia memicingkan salah satu matanya lagi. Merasa sedikit aneh dengan apa yang dikatakan Dilla. Tuan, kenapa dia panggil Rian tuan. Sementara Rian meminta dia memanggilnya mas Rian? Apa maksudnya. Bahkan aku merasa juga sedikit geli harus panggil mas padanya. Dan, rasanya aneh saja kenapa wajah wajah terlihat datar, dingin, dan tidak banyak bicara itu begitu aneh. Dia sepertinya menyimpan sesuatu. Terus sekarang aku harus panggil mas atau tuan? Jadi bingung, gimana kata yang lainya nanti. Katanya dia tidak membedakan karyawan satu dengan lainya. Tapi, kenapa nama panggilan saja beda. Regina melirik sekilas ke arah Rian. Laki-laki itu tidak memperhatikannya. Dia sibuk dengan dunia kerjanya sendiri. "Sstt... Ssst.. Regina.. " Panggil Dilla lirih, dia memberikan kode kecupan mata pada Ina. Ina hanya menarik salah satu alisnya menatap Dilla. "Ayo pergi!" kata Dilla lirih. Dilla meriah pergelangan tangan Regina. Dia segera menariknya untuk keluar dari ruangan itu. "Kenapa kamu cari masalah, jika kamu tetap berdiri di sana. Bisa kamu punya masalah dengan dia." ucap Dilla sambil menghela nafasnya lega keluar dari ruangan yang baginya sangat mengerikan. Regina mengerutkan keningnya bingung. "Memangnya masalah tentang apa?" tanya Regina bingung. "Dia itu killer. Dan, jika bekerja tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Bisa lembur seharian." ucal Dilla mulai bercerita sembari jalan menuju ke ruangan yang akan ditempati Retina nantinya. "Ini ruangan kita, dalam satu ruangan ini ada 10 orang. Kita bekerja secara tim. Ini bagian penjualan dan akuntansi sebelah sana. Kalian. Kamu satu deret tempat duduk dengan aku." ucap Dilla, menunjukan semua ruangan itu. Ruangan yang hanya terpisah oleh sekat meja. Semuanya lengkap dengan komputer dan tempat duduk serta beberapa buku yang diperlukan untuk pekerjaannya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD