Bayangan yang tak henti menganggu

1354 Words
Keesokan harinya. Suara ayam berkokok begitu nyaringnya. Mereka bernyanyi mengiringi pagi hari yang cerah. Suara burung berkicauan di atap rumah sebagai suara penyemangat untuk memulai hari yang dilalui. Puluhan orang lalu lalang di jalanan, ada yang berangkat ke kantor. Bahkan, ada yang masih duduk sembari menatap pemandangan pagi. Ke arah pagi yang tidak sesibuk di desa. Tetapi mereka tampak begitu senangnya menyambut pagi tiba. Anak-anak berlarian pergi ke sekolah. Mereka saling bercanda satu sama lain. Jembatan di seberang jalan bahkan sudah dipenuhi beberapa kendaraan roda empat dan dua yang melintas. Jarum jam sudah menunjukan pukul 7 pagi. Dilla sudah bersiap untuk berangkat kerja. Sementara Ina, dia baru saja selesai mandi. Baru kali ini dia bangun kesiangan. Bahkan dirinya belum sempat membuat makanan. Dilla tidak permasalahkan akan hal itu. Dia pikir Ini penyesuaian bagi Ina. Dia pasti sangat capek perjalanan kemarin. Apalagi saat Dilla berjalan menuju ke dapur. Dia membuka tutup makanan. Dan, ternyata belum ada makanan di sana. Dapurnya masih terlihat sangat bersih. Bahkan tidak ada apapun di sana. "Sepertinya Retina belum masak. Kemana dia? Apa dia sudah bangun? Atau, dia masih mandi. Dia belum terlihat keluar dari kamarnya. Apa aku coba bangunkan dia?" Dilla merasa ragu untuk menegur Regina. Apalagi dia adalah teman barunya. "Emm.. Mungkin dia masih bersiap. Aku tunggu saja. Aku beli makanan di luar dulu. Nanti aku balik lagi. Sepertinya dia masih lama." ucap Dilla, dia yang sudah siap dengan pakaian rapi, kemeja berwarna biru. Dan, sepatu serta celana panjang berwarna hitam. Tas yang selalu dia bawa kemanapun dia kerja. Tak lupa, jaket lapis yang selalu dia bawa saat dia keluar. Berbeda dengan Dilla yang sudah siap semuanya. Retina yang baru saja selesai mandi. Dia masih bersiap memoles wajahnya. namun seketika Regina teringat kemeja putihnya. Dia lupa membawa kemeja putihnya. Bahkan dia belum menyiapkan semuanya. Retina seketika bangkit dari duduknya. Dia terlihat mulai panik, saat jarum jam menunjukan pukul 7 lebih. Aduh. Gimana ini? Aku belum siap semuanya. Aku juga harus cari baju putihnya dimana. Rok aku juga..Astaga.. Kemarin aku ketiduran. Pasal aku belum menyiapkan semuanya. Kenapa aku bisa lupa." Gerutu Ina dia terlihat begitu panik, berjalan mondar mandir mencari barang-barangnya Ina juga membuka semua koper miliknya. Meletakkan di atas ranjangnya. Mengeluarkan semua isi dalam kopernya. Tak lupa dia juga membawa alat make up. Ina mengeluarkan semuanya. Dia mencari kemeja putihnya. "Ini hanya ada rok pendek span hitam. Em.. Apa aku pinjam Dilla saja. Sepertinya memang aku lupa bawa kemeja putih. Kemarin juga lupa tidak beli. Nanti pulang kerja mau beli baju sekalian, aku tidak banyak bawa kemeja." kata Ina, dia berlagak pinggang menatap semua bajunya yang berantakan di atas ranjang miliknya. Dia terus berdengus kesal, bingung harus berbuat apalagi Beberapa kali Ina terus menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah 10 menit dia hanya mencari kemejanya. Bahkan dirinya terus saja membuang-uang waktu. "Ini hari pertama aku akan interview. Aku harus terlihat cantik, dan tampil beda. Setidaknya terlihat sopan. Agar bisa dapat nilai lebih." Gerutu Ina dalam hatinya. Dia menghela napasnya frustasi. Tidak tahu harus berbuat apa lagi. Tok.. Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu membaut Ina terdiam sejenak, tatapan matanya tajam menatap ke arah pintu. "Apa itu Dilla?" tanya Retina. "Siapa?" tanya Regina mengeraskan suaranya. "Aku Ina, Viam. Kamu belum juga selesai. Aku tunggu kamu di luar ya." ucap Bian mengeraskan suaranya. "Iya, aku belum selesai. Aku belum punya kemeja putih. Kemeja aku ketinggalan. Bisa panggilan teman kamu. Aku pinjamkan dia kemeja. Aku mau keluar juga belum pakai apapun. Kamu bisa bantu aku, kan. Sekalian aku mau make up dulu." ucap Ina juga mengeraskan suaranya. Agar Bian yang berada dj luar pintu mendengar suaranya. "Baiklah! Aku melihat Dilla di luar tadi. Dia baru saja beli makanan. Apa kamu mau beli makanan juga buat bekal kamu. Aku akan belikan sekalian." Ujar Vian. "Terserah kamu!" jawab Ina. Vian segera pergi. Dia meminjam kemeja milik Dilla. Dan, meminta Dilla memberikan pada Regina. "Regina, kamu didalam?" tanya Dilla yang sudah berdiri di luar kamar Regina. "Iya, bentar!" teriak Regina. Dia segera berlari menuju ke pintu. Membuka sedikit pintunya. Mengeluarkan tangan kanannya. "Mana kemejanya." kata Regina. "Ini, oh ya! Aku tunggu kamu di luar. Kita berangkat sama Vian nanti." "Iya.. Iya. Keluar saja." ucap Regina. Dia yang terlihat panik, segera memakai kemejanya. Setelah selesai, Regina merapikan rambutnya yang sudah di carly. Dia terlihat begitu cantik dengan rambut yang terurai. Dan, Memberikan jepit rambut sebelah kanan. Terlihat sudah rapi. Ina segera memakai saptu miliknya. Dan, beranjak keluar dari kamarnya. Berjalan pelan menghampiri Dilla dan Vian. Kedua nata Bian seketika terbuka sempurna menatap Ina yang terlihat sangat cantik dengan penampilannya yang berbeda. Dia terlihat anggun, dan benar-benar tak bisa dibayangkan lagi. Ina wajah yang menggoda itu pasti akan membuat dirinya lolos di perusahaan itu. Bibir Vian yang bisa tertutup. Pandangan matanya seolah tak mau beralih dari wajah Ina. "Hai.. Apa yang kamu lihat?" tanya Dilla mengusap wajah Aron. Mata itu selama tak berkedip melihat pemandangan cantik di depannya. Dilla membalikkan badannya. Dia mengerutkan keningnya. Wajahnya juga terlihat sangat cantik dengan penampilan yang masih seperti anak desa. Dilla beranjak bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan mendekati Ina yang berdiri di belakangnya. Kedua mata Dilla menelisik sekujur tubuh Bella. Dia menatap Dilla memutar melihat kesempurnaan wanita di depannya. "Kamu begitu cantik!" kata Dilla. "Apalagi kaki panjang membuat kecantikan kamu sangat elegan. Pasti boss suka denganmu." Kedua alis Ina tertaut seketika. Dia menatap ke arah Dilla dengan tatapan bingungnya. "Apa yang kamu lihat. Aku tidak ingin cerita banyak sebenarnya. Tapi aku merasa kesal dengan semuanya. Aku ingin marah juga tak bisa marah." ucap Ina, dia menatap kedua mata Vian. Sepertinya dia ingin berbicara dengan Vian. Ina meringis menahan rasa sakit hatinya. Dia belum bisa sepenuhnya melupakan semua kenangan bersama dengan Eno. Setiap saat dia berbicara dengan lawan jenis. Bayangan wajah Eno yang selalu mengganggunya. Semua laki-laki di katanya mirip dengan Eno. Membuat Ina semakin frustasi dengan pandangan matanya yang terlihat sudah tidak normal. Saat dia keluar rumah sejenak. Melihat pemandangan di luar. Beberapa laki-laki menatap ke arahnya. Namun yang Regina lihat. Semua wajah laki-laki itu mirip dengan Eno. Membuat Ina semakin bingung. Dia mengusap matanya berkali-kali. Mencoba melihatnya lagi. Tetapi semua hanya halusinasinya. Dia yang belum bisa melupakan Eno sepenuhnya Tapi dirinya terus menyembunyikan itu dari teman-temannya. Ina tidak mau jika mereka ikut kebingungan dengan keadaannya. Saat ini Ina duduk bersama dengan Vian, dan Dilla. Mencoba untuk makan, makanan yang diberikan oleh Vian tadi. Balum sampai habis Ina menghentikan makanya. Seketika air mata itu perlahan mulai menetes membasahi pipinya. Ina tiba-tiba menangis sesegukan. "Regina, kamu kenapa? Apa aku salah bicara tadi?" tanya Dilla. Dia terlihat bingung melihat temannya itu menangis. Ina tersenyum tipis. "Aku gak papa." kata Ina. Dia menyeka air matanya. Mengangkat kepalanya, mencoba untuk melayangkan senyuman tipisnya. "Kamu jangan pura-pura." kata Vian. Dia terus mengamati wajah Regina. "Regina. Kamu cerita padaku jika kamu ada masalah. Atau, jika kamu merasa hati kamu tidak baik-baik saja katakan. Aku siap menjadi sandaran kesedihan yang kamu rasakan." ucap Vian. Seketika Dilla menatap ke arah Vian. Dia merasa kesal dengan ucapan yang dikatakan Vian tadi. Entah kenapa hatinya merasa sakit. Namun Dilla tak bisa marah. Karena mereka hanya sebatas teman. Isakan tangis Regina semakin menjadi. Merasa kasihan dengan Regina. Bian meraih tubuh Regina. Memeluk tubuhnya sangat erat. "Aku tahu, kamu tidak butuh nasehat. Tapi aku akan mendengarkan semua keluh kesah kamu." Vian mengusap lembut punggung Regina. Mendekatinya sangat erat. Ina tak hentinya terus menangis tersedu-sedu dalam delapan Vian. Vian memegang kedua lengan Regina. Menatap lekat kedua matanya. Vian menarik napasnya dalam-dalam. "Ina, ini harus pertama kamu akan interview. Lebih baik kamu hapus air mata kamu. Lihatlah make up kamu luntur nanti. Sekarang, jangan sedih dulu. Kita mulai berangkat kerja. Dan, semoga kamu di terima di pekerjaan baru kamu. Udah! Jangan sedih lagi. Soal hati, aku tahu kamu masih merindukan Eno. Tapi aku juga tidak memaksa kamu. Sekarang kita berangkat kerja dulu." Tangisan Ina terhenti. Jemari tangan Bian mengusap air mata Ina. Wanita itu menarik napasnya dalam-dalam. Dia berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Eno. "Baiklah! Makasih!" ucap Regina. Dia kembali bangkit, mencoba untuk tenang. Dengan segera Regina mengambil bedak dalam tas miliknya. Menutup kembali benar air matanya dengan bedak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD