"Dilla.. Aku boleh tanya?" ucap Ina.
"Tanya apa?"
"Kamu tadi belum bilang kenapa semua memanggil dia tuan?" tanya Regina penasaran.
"Duduklah dulu!" Dilla segera beranjak duduk di ruangannya. Begitu juga Regina, dia menatap kursinya. Dan dirinya masih belum percaya jika akan mulai bekerja sekarang juga. Regina berjalan penuh ragu, dengan segera duduk di samping Dilla.
"Dia usianya masih sangat muda. Jadi panggil dia tuan saja."
"Kenapa dia meminta aku panggil dia Mas? Bukanya itu terlalu formal?" tanya Retina. Dilla terdiam sejenak, kedua matanya melebar sempurna. Kelopak mata berkedip beberapa saat. Dengan tatapan mata kosong. Hanya hitungan detik dia seketika mulai sadar.
"Bentar!" Dilla merasa belum yakin dengan apa yang dia dengar. Dia menarik duduknya mendekati Regina.
"Apa yang kamu katakan tadi. Dia minta dipanggil mas? Aku gak salah dengar? Kamu yakin?" tanya Dilla memastikan. Dia ketika tertawa terbahak-bahak. Sampai beberapa pegawai lainya menatap ke arahnya. Suara tawa Dilla membuat para pegawai lainya terganggu. Semua kata memandang ke arah Dilla.
"Sssttt..." kompak semua pegawai yang ada di sana berdesis pelan.
"Diamlah! Jangan berisik." kata salah satu pegawai.
Dilla menutup mulutnya beberapa detik. Dia menarik kembali tangannya. Sembari tersenyum sumringai mengarah pada mereka semua. "Maaf!" ucap Dilla. Dia kembali menatap Regina, menarik duduknya lebih mendekat dan meneruskan ucapannya.
"Kamu yakin itu? Apa jangan-jangan boss mulai tertarik denganmu saat pertama kali melihatku? Ini hal yang langka. Sudah banyak wanita cantik melamar kerja. Tetapi tetap saja tidak ada yang diterima. Dan, kamu langsung bekerja. Serta punya panggilan khusus lagi. Kamu pertahankan saja." ucap Dilla, dia terus tersenyum tidak menyangka jika temannya itu benar-benar luar biasa menaklukkan hati sang boss yang terlihat arrogan, disiplin, sinis, bahkan judes tidak banyak bicara.
"Apa yang kamu katakan. Gak mungkin juga dia suka. Mungkin memang seharusnya dia dipanggil seperti itu pada semua pegawai disini." kata Regina mencoba mencoba untuk tidak besar kepala.
"Ina.. Ina... Jangan begitu polos. Kamu tahu, banyak sekali pegawai disini. Tidak ada yang berani memanggil seperti itu." kata Dilla.
"Udah, sekarang mulai bekerja. Soal panggilan itu. Aku ngikut dengan pegawai lainya saja. Takut jadi salah paham nanti." ucap Regina, dia mulai menyalakan komputernya.
"Baiklah!" Dilla menganggukan kepalanya.
"Aku kirim bagian kamu lewat email. Tapi, kamu masuk dulu email kamu. Aku kirim nanti. Sebelum bagian ini ada. Aku dah yang lainya sering lembur untuk menyelesaikannya. Kami semua yang capek harus lembur sampai malam. Sekarang ada kamu. Jadi kamu bisa bantu kita semua selesaikan ini." Jelas Dilla, mulai menarik kembali kursi putarnya menuju ke meja miliknya sendiri.
"Oke, baiklah!"
Mereka mulai bekerja seperti pegawai lainya. Sementara Regina yang masih pertama. Dia masih belajar perlahan. Sampai dirinya sudah bisa memahami sebagian. Pekerjaan mulai selesai. Ina bersiap untuk segera pulang. Tak hanya Ina, Dilla juga sudah bersiap untuk pulang.
"Ina, hari ini kita pulang naik bis. Kamu mau gak?" tanya Dilla.
"Sewaktu-waktu jika salah satu dari kita pulang sendiri. Kamu juga sudah tau arah pulang." kata Dilla.
Regina sempat terdiam sejenak. "Naik bis?" dia teringat saat dulu Eno bekerja di kota. Dia sering bilang jika pulang kerja naik bis. Duduk di sebelah kaca. Setiap detail percakapan itu mulai teringat di benak Ina.
"Boleh, aku mau naik bis." kata Ina. Dia menggerakkan kepalanya pelan. Melirik ke arah Ina.
"Kamu yakin?" tanya Dilla memastikan lagi.
"Yakin!" jawab santai Ina.
"Baiklah, kita pergi ke halte. Tepat di depan sana. Setelah itu kita tunggu bis datang. Kita tinggi bilang nama daerah tempat kita tinggal." jelas Dilla.
"Maaf aku menjelaskan detail. Aku takutnya kamu belum pernah naik bis. Apalagi, status keluarga kamu. Keluarga kaya di sana. Jadi aku merasa ragu bilang seperti ini sama kamu." lanjut Dilla. Dia berjalan di samping Regina. Mereka segera menuju ke halte bis sambil berbincang satu sama lain.
Tak lama bus datang. Mereka segera naik seperti biasanya. Dan, Ina duduk di samping Dilla. Tetapi, dia memilih berada di pinggiran menatap ke arah kaca bus. Melihat pemandangan kota saat sore hari. Tampak ramai, banyak lalu lalang kendaraan roda dua sampai empat yang membuat macet kendaraan.
Eno.. Apa ini yang kamu rasakan saat kamu naik bis? Sekarang aku juga sama. Aku tahu rasanya gimana naik bus. Tapi, aku ingin melihat lebih jauh setiap bis disini sepertinya berbeda. Kamu pernah bilang salah naik bus.. Begitu lucu. Gerutu Ina dalam hatinya. Dia tersenyum tipis, saat mengingat percakapan itu. Dilla yang tahu temannya tersenyum sendiri. Dia menggerakkan kepalanya sedikit turun. Dan, perlahan menoleh ke arah Regina. Dilla mengerutkan keningnya. Seketika kedua alisnya ikut tertaut saling menyatu.
"Regina.. Kamu kenapa?" tanya Dilla. Dia mulai takut jika wanita itu terlihat seperti orang tidak waras terus tersenyum sendiri. Dilla memegang baju Regina, menggoyangkan bahunya berkali-kali sembari memanggil namanya.
"Regina.."
"Regina, sadarlah!"
"Regina, kamu kenapa?" tanya Dilla.
"Eh.. Iya, ada apa?" Regina baru saja tersadar. Dia menoleh ke arah Dilla.
"Kamu tadi senyum-senyum sendiri ada apa? Kamu tau gak, banyak orang yang melihatmu." ucap Dilla lirih.
"Aku senyum?" Regina mencoba mengingat. Entah apa dia tadi tersenyum atau tidak.
"Iya, kamu tersenyum tadi. Sekarang kenapa kamu jadi seperti orang linglung. Kamu gak papa, kan? Apa kamu sakit? Atau kamu banyak pikiran lagi. Jangan memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan seperti tadi pagi. Kamu tiba-tiba nangis bikin orang panik. Sekarang kamu tiba-tiba tersenyum. Gimana aku gak bingung dengan tingkahmu." kata Dilla. Wanita itu merasa ada yang aneh dengan Regina. Tetapi dia tidak yakin jika darahnya terganggu. Mungkin hanya mental yang terluka. Pikirnya.
"Aku tidak apa-apa, sudahlah! Jangan khawatirkan aku. Aku hanya membayangkan sesuatu. Jadi jangan khawatir." ucap Ina. Dia tersenyum, menarik salah satu alisnya ke atas. Kedua mata menatap ke arah Dilla.
"Baiklah! Tapi jangan senyum sendiri di keramaian." ucap Dilla.
Retina memutar matanya malas. Dan, kembali menatap ke arah kaca. Tanpa harus menjawab ucapan Dilla.
**
Dia puluh menit kemudian. Mereka sampai di rumah. Regina segera menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Sehabis makan seperti biasa mereka berbincang sedikit. Tentang pekerjaan barunya. Sampai merasa lelah dan pergi untuk tidur.
Keesokan harinya.
Regina dan Dilla pergi bekerja seperti bosnya. Dan, kali ini mereka naik bus sendiri. Ina terlihat begitu sekalian hari kedua dia bekerja di perusahaan.
Sampai tidak terasa jarum jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Semua bahkan sudah bersiap untuk pulang.
Gak lama suara tetap langkah yang terasa sedikit asing. Suara langkah yang perlahan mendekat ke arahnya. Regina spontan menoleh ke belakang. Dan, langsung kedua mata itu saling berhadapan satu sama lain. Regina menelan ludahnya susah payah. Dia mencoba untuk tetap tenang kali ini.
"Ina... Kamu hari ini lembur ada salah satu pegawai yang tidak masuk kamu tahu sendiri rekan kerja kamu tidak masuk. Jadi, kamu bantu kerjakan tugasnya. Lembut sampai jam 8 atau jam 7 malam. Jika kamu selesai lebih awal. Kamu bisa pulang."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian, jika kamu tidak mau berarti kamu tidak sanggup untuk memenuhi syarat dari pekerja di kantor ini. Jika memang tidak sanggup kamu boleh keluar dari sini." tegas Rian, dia terlihat begitu datar. Entah kenapa setiap dia datang semua pada ketakutan. Bagi mereka aura Rian bagaimana neraka bagi mereka. Rian memimpin perusahaan dengan tegas dan tidak suka bertele-tele. Jika kakaknya jauh lebih bijak. Dia tegas tapi ramah. Namun, sifat ramah seketika berubah. Dan, mengalami depresi saat kehilangan istrinya
"Tuan, maafkan teman saya. Teman saya baru bekerja. Dia juga pasti belum paham semua peraturan disini. Saya akan ajarkan dia untuk memahami peraturan perusahaan." kata Dilla mencoba untuk membantu Ina, meski kedua tangannya mencengkeram lengan Ina menghilangkan rasa takutnya.
Ina yang penasaran dengan panggilan tuan itu. Dia menoleh ke arah Dilla. "Kamu panggil dia tuan?" tanya Ina.
"Iya, kita semua harus panggil dia tuan. Jangan panggil bapak. Dia tidak suka." ucap Dilla lirih, dia mengerutkan wajahnya. Sembari menoleh ke samping melirik Rian yang terus menatap tajam ke arahnya.
"Tapi, aku tidak panggil dia begitu.."
"Apa yang kalian bicarakan? Apa kalian membicarakanku?" tajam Rian.
"Eh.. Nggak! Nggak! Tidak ada yang membicarakan tuan. Aku hanya bilang pada Ina agar dia mau lembur." ucal Dilla.
"Tapi kenapa harus aku, pekerjaan disini tidak ditangani satu orang. Dan, yang lain juga bisa. Kenapa harus aku? Aku hanya tanya, jangan diambil hati. Aku aku mengerjakannya. Tetapi, aku butuh jawaban dari tuan Rian, untuk memberi tahu saya. Kenapa saya harus mengerjakan ini lembur sendirian?" tanya Ina, dia merasa kesal dengan perbuatan Rian yang membuatnya tidak nyaman. Dia sengaja membuat dirinya tidak betah bekerja disana. Tapi, jika dia terus ditindas. Dia juga berani berbicara tegas juga dengannya. Sekaligus kebebasan untuk bertanya padanya.
"Kenapa anda diam tuan?" tanya Ina, menarik kedua alisnya ke atas bersamaan.
"Kerjakan atau kamu keluar?" tegas Rian.
Ina berdengus kesal. Dia mencengkeram dokumen itu. Dia menatap tajam, dengan rahang yang mulai menegang. Napasnya terasa mulai berat.
Dilla yang tau ini situasi semakin memburuk. Dia takut jika Ina di keluarkan dalam sehari kerja. Dilla menarik tangan Ina untuk segera kembali ke duduknya.
"Maaf tuan, Ina pasti akan lembur." kata Dilla mencoba untuk meredakan situasi. Dia berada di tengah situasi yang amat genting tadinya. Jika sampai Ina marah tamat sudah riwayatnya.
"Iya, bilang padanya. Harus selesai hari ini juga. Dan, serahkan padaku nanti." kata Rian. Dia membalikkan badannya dan pergi dari sana. Sementara Dilla dia mengusap dadanya sambil menghela napasnya lega. Akhirnya bos itu pergi juga. Ina merasa tidak suka dengan perbuatannya yang seenaknya.
Brak..
Ina memukulkan berkas itu di atas meja. Dia menghela napasnya kasar. Ina begitu kesalnya harus dipojokkan terus olehnya.
"Kenapa aku dicegah. Aku mau marah padanya. Lagian kenapa harus aku yang anak magang. Lagian aku baru pertama kali bekerja. Aku belum tanggapan. Gila aja dia meminta aku lembur. Otaknya di taruh mana. Aku mana bisa paham secepat itu."
"Sekarang aku bantu kamu dikit. Nanti, kamu bisa melakukannya. Aku akan perlahan memberi tahu kamu. Lagian, kamu s2 aku yakin kamu jenius. Bisa hafal begitu mudahnya." ucap Dilla. "Sekarang kita bisa bernapas lega. Lagian kamu mau dikeluarkan. kamu sudah susah payah datang ke kota ini untuk bekerja. Tapi, kamu dipecat. Jangan sampai itu terjadi. Pikirkan lagi jika kamu marah dengannya. Jangan cari gara-gara dengannya. Lebih baik kita tetap tenang mengikuti apa yang dia inginkan." jelas Dilla.
"Soal pulang jangan khawatir. Vian pasti akan jemput kamu nanti." lanjut Dilla.
Ina menghela napasnya frustasi. Baiklah, aku lembur nanti. Tapi, bantu aku sebagian banyak yang belum aku mengerti. Apalagi ini retail. Dan, berbeda dengan usaha ayahku yang berada di bidang sawit."
"Kan sama saja, jual beli." ucap Dilla.
Setelah berhasil membuat Ina lembur sesuai dengan perintah boss. Hampir tengah malam. Regina akhirnya selesai juga menyelesaikan tugasnya. Dia tidak langsung memberikan pada bos apalagi sudah terlihat malam. Regina melirik jam tangannya. Sudah menunjukan jam 9 malam. Regina menghela napasnya kesal.
"Sudah malam ternyata." ucap Regina. Segera membereskan semua barang-barangnya yang berserakan di atas meja. Dia memasukan ponselnya ke dalam tas. Dan, segera pergi dari kantor yang tampak sudah sangat sepi. Regina merasa bulu romanya mulai berdiri. Tak ada satu orang pun di ruangan itu selain dirinya. Membuatnya merasa sangat takut.
Regina menarik napasnya dalam-dalam. Dia berusaha untuk tetap tenang. Regina mengambil tas miliknya di atas meja. Dengan tangan yang masih gemetar takut. Dia berjalan melirik ke kanan da ke kiri. Dua tampak sangat hening. Tidak ada satu orang pun lampu juga sudah padam. Entah apa pulang terlalu malam atau sengaja hanya dia yang ke hanya di dalam kantor. Dalam satu tarikan napasnya. Regina mulai berlari keluar dari sana sekuat tenaganya Dia masuk ke dalam lift. Untuk turun ke lantai satu. Sampai di lantai satu. Regina berlari keluar. Berhenti tepat di depan pintu masuk. Sembari merapikan napasnya yang terasa berantakan.
"Hai.. Kamu mau pulang?" tanya Rian.
Ina mengerutkan keningnya. Seketika tubuhnya kaku.
Siapa dia? Sialan, apa dia orang baru? Atau, dia siapa? Atau jangan-jangan dia hantu. Gerutu Regina.
"Hai.." panggulnya lagi.
Retina mengerutkan tubuhnya. Dia memejamkan kedua matanya. Sembari memeluk erat ya miliknya. Dengan napas yang sangat hati-hati. Perlahan Regina membuka matanya. Dia memberanikan dirinya untuk segera melirik ke samping.
Seketika kedua matanya semakin lebar sempurna. Dua bola mata sedikit kecoklatan itu hampir saja keluar dari kerangkanya. Regina mulai tampak terlihat begitu kaku. Berhadapan dengan bosnya sekarang.
"Kenapa kamu disini? Apa kamu menunggu seseorang?" tanya Rian.
Regina memalingkan wajahnya acuh. Mencoba sedikit tidak pedulikan laki-laki di sampingnya.
"Maaf, bukannya tuan sudah tahu aku mau pulang. Aku masih nunggu temanku." kata Ina, dia melangkah ke samping. Sedikit menjauh dari Rian. Entah apa yang di lakukan laki-laki di sampingnya itu. Dia tiba-tiba berdiri di sampingnya. Bahkan wajah yang semula tegas, melanjutkan, dan datar berubah sedikit ramah dan masih terlihat seperti anak kecil.
"Menunggu pacar kamu?" tanya Rian.
"Maaf, bukan urusan anda." ucap Ina.