Hampir tertabrak

1369 Words
"Aku antar kamu pulang sekarang." ucap Rian. Regina memicingkan matanya. Dia menatap aneh pada bosnya. "Apa aku tidak salah dengar? Kenapa anda juga baru pulang? Apa anda nunggu dokumen saya buat tadi. Belum saja aku berikan masih di meja. Kalau mau kamu ambil saja sendiri." kata Retina jutek. Dia menatap ke depan lagu. Sesekali dia melirik jam tangan miliknya. Sudah hampir sepuluh menit dia menunggu belum juga Vian datang. "Sapa anda mencari saya karena ini saya lembur lagi. Lagian kali jika mau aku lembur. Anda siapkan aku makanan." ucap Regina ta pa rasa takut. "Mau makan apa," tanya Rian. " Apa kamu mau makan makan denganku sekarang?" "Makan malam?" Regina menatap ke arah Rian. Regina masih saja heran. Bukanya dia terkenal sangat galak. Tapi kenapa dia sekarang berbeda. Apa aku gak salah lihat. Apa aku juga gak salah dengar? Dia bisa bicara seperti itu. Sudah hal yang sangat luar biasa. Tapi kenapa harus aku? Dia bahkan tidak peduli dengan karyawan lainnya. Regina terus menggerutu dalam hatinya. Dia merasa sangat aneh dengan laki-laki itu. Laki-laki yang entah sejak kapan dia tiba-tiba baik padanya. "Maaf! Tapi saya akan dijemput teman saya." ucap Regina mencoba terus mencari Alasan untuk menghindar dari Rian. "Tidak, aku yang akan antarkan kamu. Kamu tunggu dulu." Rian segera pergi dari sana. Entah apa yang dia katakan kepada dirinya meminta dia untuk menunggu. Regina saja terus berdengus kesal. Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Melihat sekitarnya, Bian belum juga datang. Terasa sangat bisa terus menunggu. Regina menghela napasnya frustasi. Tak begitu lama. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Regina tidak pedulikan itu. Dia masih fokus pada jalan di depannya. Berharap Vian segera datang. Rian turun dari mobilnya. Tanpa banyak bicara, laki-laki itu berjalan mendekati Regina. Dia meraih pergelangan tangan kanan Regina. "Ikut aku!" ucap seorang laki-laki itu. "Lepaskan aku!" pekik Regina. Dia mencoba menarik tangannya. Rian hanya diam, Dia terus menarik tangannya, lalu membuka pintu mobilnya mendorong tubuh Regina masuk ke dalam, lalu menutup pintu mobilnya. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memaksa aku ikut denganmu. Kamu mau menculikku? Jika kamu berani macam-macam denganku. Aku akan teriak sekencangnya. Dan, jangan pikir aku tidak berani. "Teriak saja sesukamu," Rian masuk kedalam mobil. Duduk di kursi pengemudi samping Regina. "Aku hanya berbuat baik padamu. Tapi kamu malah mikir aku macam-macam. Apa wajahku serendah itu? Kenapa pikiran kamu serendah itu padaku." ujar Rian. Dia segera pergi dari sana. Kedua matanya terlihat fokus pada jalan. Sementara Regina, dia hanya diam, melirik ke arah Rian. "Kenapa kamu bisa baik padaku?" tanya Regina. "Memangnya salah jika bos baik pada pegawainya?" Regina kembali menatap kedepan. Dia meletakkan tas miliknya di atas kedua pahanya. Mengenggamnya begitu erat. "Tidak salah." kata Regina. "Rumah kamu sebelah mana?" tanya Regina. "Aku satu kontrakan dengan Dilla." jawab Regina. "Baiklah!" "Kamu tahu?" tanya Regina. "Tahu!" "Boleh bilang satu hal sama?" tanya Rian. "Boleh! katakan saja." Regina, dia hanya diam menatap ke samping kaca yang melibatkan pemandangan di luar. Beberapa hal yang ada di pikirannya. Entah kenapa dia takut jalan sama laki-laki selain Eno. Sekarang, dia duduk sama laki-laki yang baru saja dia kenal kemarin. Tapi dia terlihat perhatian dengannya membuat Regina yang takut. "Sudah sampai!" ucap Rian. Menggerakkan kepalanya pelan kesamping. Melirik kearah Regina. Wanita itu masih saja terus melamun. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. "Regina, apa yang kamu pikirkan?" tanya Rian, dengan badan sedikit condong ke arah Regina. Dia memegang kedua lengan Regina. membalikkan tubuhnya menatap ke arahnya. Kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. "Maaf!" ucap Regina, dia memalingkan wajahnya. Menghindari tatapan mata Rian. Regina menyingkirkan kedua tangan Rian dari pundaknya. "Makasih sudah mau mengantarkan saya." ucap Regina. Rian hanya tersenyum. Sembari menganggukan kepalanya. "Tapi tolong jangan terlalu dekat dengan saja. Saya tidak mau jika punya masalah dengan anda. Apalagi jika banyak sekali gosip nanti tentang kita. Jangan terlalu dekat dengan saya. Saya tidak mau orang menganggap kita ada hubungan." jelas Regina, melepaskan sabuk pengaman. Dan, segera melangkahkan kakinya turun dari mobil Rian. "Drrrttt..." sering ponsel menghentikan langkah Regina lagi. Wanita itu segera mengambil ponsel dalam tas miliknya. Mengangkat telponnya tanpa melihat dari siapa itu. Dia sangat yakin jika itu dadi Vian. "Regina, kamu dimana? Maaf aku baru sampai." "Aku sudah dikontrakan sekarang." Bian menghela napasnya. "Maaf tadi aku telat. Lagian tadi aku juga lembur di kantor." kata Rian. "Baiklah! Tidak masalah. Aku juga sudah sampai di kontrakan." ucap Regina. Dia segera mematikan telepon Vian. Sementara Rian dia masih menunggu Regina masuk ke dalam kontrakan miliknya. "Bye.. Selamat malam. Tidur nyenyak." kata Rian, dia mengibarkan tangannya. Dan, segera menjalankan mobilnya pergi dari sana. Regina menggerakkan kepalanya pelan, melirik ke belakang. Dia hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang terukir di bibirnya. ** Regina melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ruangan di sana tampak sangat hening. Sepertinya, Dilla sudah tidur lebih dulu. Bahkan tidak ada tanda kehidupan di dalam kontrakannya. Regina segera pergi ke kamarnya. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Merasa begitu lelah hari ini rubuh dan pikirannya. Setelah selesai mandi. Dia berusaha untuk segera tidur, perut itu terus berbunyi. Sepertinya bertemu meminta makan padanya. Tepat tengah malam perut Ina terasa sangat lapar. Bian juga sudah pulang. Sementara Dilla juga sudah tidur lebih dulu. Padahal dia ingin pergi untuk cari makanan di luar. Niat mau ajak Dilla tapi Dilla sudah tidur. Mau masak juga tidak ada apapun di dalam kulkas. Sepertinya Dilla juga tidak pernah masak sama sekali. Di rumah itu hanya ada air putih sana. Ina merasa terketuk. Dia merasa harus beli semua yang dibutuhkan nantinya untuk masak. Sekalian buat bekal pagi besok. Tapi, di tengah malam. Mana ada toko yang buka. Kecuali besok pagi dia pergi ke pasar. Pasti banyak sekali bahan makanan untuk stok beberapa hari juga. Ina mengambil hoodie yang berada di gantungan belakang pintu. Dia segera memakainya. Memasukan dompet dan ponsel di dalam sakunya. Ina segera beranjak keluar dengan pakaian yang terlihat sudah sangat tertutup. Rambut digulung di atas. Ina menggelengkan kepalanya. Saat melihat kontrakannya yang tampak sepi. Bahkan juga tidak ada apapun di sana. Bahkan cemilan juga tidak ada. Entah Dilla makan atau tidak setiap harinya. Dia bahkan tidak melihatnya makan jika di rumah. Atau setidaknya makan snack sepertinya juga tidak. Tidak ada bungkus snack sama sekali di luar. Merasa sangat kesal tidak ada orang yang bisa menemaninya. Ina mulai melangkahkan kakinya pergi keluar dari rumahnya sendiri. Meski sedikit takut dan ragu. Dia mencoba untuk pergi dengan perasaan ragunya. Ina menutup pintunya kembali. Ina yang berjalan dengan Ina berjalan melewati trotoar. Kedua matanya berkeliling melihat supermarket yang dekat dengan kontrakannya. Dan ternyata tak jauh. Di seberang jalan dia melihat ada supermarket yabg masih buka. Ina segera menyeberang jalan. Belum sempat sampai tengah jalan. Sebuah mobil melaju sangat kencang. Dia sepertinya tidak menyadari jika Ina akan menyeberang jalan. Mobil itu melaju kencang ke arah Ina. "Aaaaaa." teriak Ina. Dia membalikkan badannya, menutup mengerutkan wajahnya saat hanya beberapa meter saja mobil mendekat. Ina takut berlari. Di samping juga mobil lalu lalang begitu kencangnya. Mobil itu membanting setir ke kiri. Dia terlihat hingga menabrak trotoar. "Aku masih hidup?" tanya Ina, dia perlahan membuka matanya. Tubuhnya yang semula bergidik takut perlahan mulai berdiri tegak. Dia menatap ke samping. Kedua matanya menatap dengan tatapan bingung. Melihat mobil itu sudah berasal. Dan, seseorang keluar dari mobilnya. Ina menyipitkan kedua matanya. Ria terlihat begitu bingung saat melihat laki-laki itu keluar sendiri dari mobilnya. Meski mobil itu tidak rusak patah. Tapi, kening laki-laki itu terlihat mengeluarkan cairan warna merah. Beberapa orang berlari begitu cepatnya melihat keadaan mobil itu. Smenetara Ina, dia masih berdiri tegap di tempat yang sama dengan tatapan bintangnya. Bahkan jantungnya hampir saja lepas. Napasnya masih terasa sesak. Dia hampir saja mati tadi. Jika dia tidak membanting setir mungkin dirinya sudah berada di alam lain. Ina mencoba mengatur napasnya sejenak. Dia terlihat begitu gugup. Wajahnya panik. Sekujur tubuhnya masih terlihat gemetar. Ina berjalan memaksakan dirinya berjalan, meski kakinya terasa sangat berat. Selama ribuan tali mengikat kakinya. Ina berusaha menyeret kakinya. Berjalan dengan kedua tangan membukukan kerumunan orang yang membuat dirinya tak bisa melihat apapun. Hingga kedua matanya tertuju pada laki-laki yang keluar dari kerumunan. Dia berjalan pergi meninggalkan mobilnya sendiri. Ina yang merasa khawatir dengan keadaan laki-laki itu. Dalam satu helaan napasnya. Dia berjalan dengan langkah cepatnya mengikuti kemana laki-laki itu pergi. "Kamu tidak apa-apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD