Aku menenteng buku notes, tablet dan pulpen ke ruang meeting dua yang ukurannya tidak lebih besar dari pada ruang meeting satu. Begitu aku masuk dan duduk di sebelah Mbak Aina, dua orang lainnya mulai masuk. Kevin dan Saka masuk sambil membawa laptop mereka.
“Tim berempat sama Mas Tama jadi lima. Ini tim pertama Emje, selamat revisian terus.” Kata Saka si yang paling muda namun yang paling vokal dan sering sekali meledek orang.
“Oke, kita lihat aja kedepannya gimana. Kerjaan kita kan cuma tinggal jalanin apa yang udah dikasih aja, kan? Sisanya ya berdoa sama mempelajari pattern maunya si bos gimana.” Kataku enteng padahal aku juga masih agak ragu karena aku belum tahu bagaimana pattern kerja di sini, dan bagaimana sistem kerja di kantor ini.
Pada dasarnya, ketika kita bekerja semua akan bisa kita lakukan dengan baik ketika kita tahu bagaimana cara kerja atau sistem kerja yang ada di kantor. Bagaimana pattern yang diinginkan oleh bos, bagaimana kinerja masing-masing pegawai, karena selain bekerja sesuai dengan permintaan yang di minta, kita juga harus tahu masing-masing sifat dari orang-orang yang ada di kantor. Itulah kenapa banyak orang yang membuat kubu-kubu mereka sendiri karena mereka yakin kalau mereka hanya bisa bekerja dengan orang-orang yang memiliki persepsi dan juga pola pikir yang sama dengan kita.
Selama satu minggu aku sudah mulai mengetahui sifat orang-orang di kantor yang sering mengobrol denganku. Mungkin yang baru aku lihat adalah lapisan luarnya saja, namun ketika nanti tim ini sudah jalan dan proyek sudah harus dilakukan. Maka biasanya sifat asli dari masing-masing orang akan terlihat. Semua orang akan mengeluarkan sifat aslinya ketika sudah kepepet.
“Emje kan di scout karena emang dia punya kemampuan, Saka. Coba nanti lo lihat gimana kinerja Emje. Dia senior lo, padahal lo yang pertama masuk kantor.” Kata Kevin.
“Nggak gitu, Mas. Ya kali kalau Pak Tarmidji masuk belakangan dari gue berarti gue seniornya kan gak masuk nalar. Pak Tarmidji itu kan Direktur Utama, nggak apple to apple kalau disamainnya sama gue, Mas.” Ujar Saka.
“Udah ssstt... itu si Mas Tama udah di depan.” Kata Mbak Aina yang sedang melihat pintu.
Pak Tama sedang berdiri di depan dengan tangan di gagang pintu sementara ia mengobrol dengan OB. Tak lama pak Tama masuk dengan laptop di tangannya. Hari ini ia mengenakan kemeja biru muda dengan celana cokelat tua. Wajahnya seperti biasa tidak menyunggingkan senyum. Ia membenarkan letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya, dan menatap kami semua serta tatapannya berhenti di aku. Setelah itu ia membuka laptopnya.
“Saka tolong sambungin laptop saya ke monitor.” Katanya pada Saka dan membuat Saka bergegas berdiri untuk membantu Pak Tama.
Saka mengurus semuanya dengan cepat karena ia tak ingin kalau Pak Tama lama menunggu dan terlebih, ia tidak ingin kalau jam makan siang kami akan terganggu dengan meeting yang ada. Dan itu juga yang ada dipikiran semua orang yang ada di ruangan ini mungkin kecuali Pak Tama yang tidak peduli kalau makan telat juga tidak masalah.
Setelah laptop milik Pak Tama sudah tersambung dengan motor dan kami semua bisa melihat data dari tim lain yang sudah diberikan padanya, kami semua kini mulai mencatat beberapa hal penting yang nantinya akan kami ulik kembali karena datanya pasti nanti akan dikirimkan oleh Pak Tama ke email kami masing-masing. Selain untuk meng-highlight bagian yang penting, beberapa orang juga ingin terlihat sedang bekerja dengan menuliskan sesuatu atau pun mengetik sesuatu, paling tidak Pak Tama sadar kalau pegawainya ini memiliki niat untuk serius di proyek baru satu ini.
“Kemarin saya sudah bertemu dengan bagian Research And Development, data mentah mereka ada di saya. Nanti saya kirimkan semua data dari tim lain juga ke kalian. Target pasar kita kali ini adalah wanita karier muda di rentang usia dua puluhan karena sesuai dengan tag line yang telah dibuat oleh tim marketing, youth and energetic. Jadi parfum kali ini, relasi kita harus sesuai dengan itu. Untuk inverstor dan sponsor, tentu kita sudah jelas seperti biasanya klien-klien kita. Tapi untuk relasi ke orang-orang yang bisa meng-influence masyarakat kita harus benar-benar pilih orang yang tepat. Silakan nanti kasih saya daftarnya dan seperti biasa profiling mereka kalau yang diajukan nama-nama baru. Karena setiap hari orang-orang yang menguasai sosial media bisa berubah dan banyak muncul yang baru.” Ujar Pak Tama sambil memandang monitor di hadapannya.
Setelah itu, sesi bedah produk dan gimmick untuk memasarkan produk pada influencer dan selebriti yang ternyata memang memakan watu yang sangat panjang karena kami juga sekalian brain storming.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas, dan tidak ada tanda-tanda kalau meeting akan selesai. Aku sudah bisa melihat wajah-wajah yang cemas kalau meeting akan berlangsung beberapa jam lagi karena proyek satu ini, bisa dibilang proyek yang lumayan besar karena perusahaan sudah mengeluarkan biaya yang lumayan banyak untuk parfum premium kali ini. Oleh karena itu target market utama kali ini adalah para wanita karir muda yang kemungkinan belum menikah jadi tidak memiliki tanggungan untuk bisa membeli produk parfum yang harganya lumayan mahal.
Suara ketukan pintu, membuat kami semua menoleh ke sumber suara. Pak Tama pun memersilakan orang di depan sana untuk masuk. OB yang tadi mengobrol dengan Pak Tama menenteng dua kantung plastik dan meletakkannya di atas meja setelah dipersilakan oleh Pak Tama.
Aku memandang Mbak Aina yang juga memandangku sambil tersenyum.
“Pak, diambil dua buat Bapak sama Mbak Tuti.” Kata Pak Tama pada OB yang ingin pergi dari ruangan.
OB yang diperintahkan seperti itu pun, langsung mengambil dua kotak teratas dalam plastik dan mengatakan terima kasih setelah itu keluar dari ruangan.
“Kita jeda sebentar buat makan siang, nanti kita lanjutin lagi.” Ujar Pak Tama yang menutup laptopnya begitu saja.
Saka yang pertama mengambil kotak makan tersebut, kemudian di susul yang lain.
“Saya bawa bekal, Pak.” Kataku pada Pak Tama yang sedang sibuk dengan ponselnya.
“Kalau kamu merasa bisa makan dua porsi silakan ambil, kalau nggak silakan kasih yang lain. Resepsionis atau satpam, terserah.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Aku pun mengambil satu kotak di antara dua kotak yang tersisa, “tapi, makasih, Pak.” Ujarku.
“Ya.” Jawabnya sangat singkat.
Kami semua keluar dari ruangan dan meninggalkan Pak Tama sendirian. Ia terlihat sangat fokus pada ponselnya dan tidak peduli kalau saat ini semua pegawai yang tadi ada di ruangan keluar untuk makan.
“Tumben si Bos peduli.” Kata Saka yang sudah duduk di kursinya yang tak jauh dari mejaku.
“Pantesan tadi ngobrol sama Pak Ujang. Ternyata minta tolong beliin makan siang. Biasanya mana ada, kan? Lanjut aja itu meeting sampai ada yang bilang kalau jam makan siang udah lewat.” Mbak Aina pun melirik kanan-kiri terlebih dahulu sebelum berbicara, takut kalau si Bos ada di dekat kami dan dapat mendengar percakapan ini.
“Iya, tumben banget. Tapi baguslah jadi pada nggak kelaperan jadinya. Soalnya udah bisa dipastikan, kalau meeting-nya bakalan makan waktu yang lama.” Kata Kevin.
“Mungkin kita dikasih makan biar nanti bisa fokus sampai sore. Jadi semacam dikasih amunisi sebelum perang dan biar bisa lembur yang jelas kalau meeting seharian kurang.” Saka menyuap makan siang yang dibelikan si Bos dari Rumah Makan Padang Sederhana.
Belum apa-apa, aku sudah bisa merasakan lembur di kantor baru dan mendapatkan proyek yang lumayan besar. Aku suka, dan aku ingin membuktikan kalau aku bisa menaklukan yang katanya harus bolak-balik revisi dengan si bos ini. Aku penasaran bagaimana cara kerja seorang yang seringnya membuatku keki ini. Apa lagi tadi saat ia menatapku dengan pandangannya yang menyebalkan. Atau sebenarnya biasa saja? Ah, masa bodoh. Karena aku sudah sebal dengan orang satu itu, maka apa pun yang ia lakukan terasa tidak membuatku senang.
Jatah makan siang yang diberikan padaku tadi akhirnya ku berikan pada satpam yang bertugas hari ini. Hitung-hitung sebagai perkenalan juga karena aku ini pegawai baru. Aku masih perlu mengenal banyak orang dan beradaptasi dengan kantor baruku ini. Masih banyak orang yang belum aku kenal, bahkan di divisi ini pun masih banyak yang baru ku kenal sebatas nama da wajahnya saja, aku belum pernah mengobrol dengan semua karyawan yang ada di ruangan.
“Kalo kita dapat Fleur d’Etincelle parfum ini, tim yang lain juga kan pasti ada proyeknya sendiri. Menurut lo nih ya, Mbak. Tim si Nera gimana?” Saka tersenyum penuh rasa penasaran.
Aku memandang Saka dan Mbak Aina bergantian, “bukannya kita masih di satu track, ya?”
“Hmm...” Kevin terlihat bingung ingin menjawab apa.
“Nggak, kita nggak satu track. Kita itu antar grup selalu bersaing, entah kenapa dari dulu begitu. Padahal produk ini launching ada di satu paket yang sama, tapi nanti pasti lo bakalan rasain vibes-nya gimana. Kita tunggu tanggal mainnya. Kalau menurut gue Nera akan yah kayak biasa lah, gue udah males sih sebenarnya kalau ada sindir-sindiran begitu.”
Aku menatap meja Nera yang ada di dekat pintu keluar. Pemilik meja tersebut terlihat sedang menatap layar komputernya dengan serius. Nera, salah satu perempuan yang sangat modis di kantor dengan rambut panjang berwarna hitam dan lipstik merona yang terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Tipe wanita cantik yang akan banyak di temui di restoran high end dengan tangan yang akan senantiasa mengangkat tinggi gelas mereka yang berisi alkohol.
“Tim Nera siapa?” Tanyaku.
“Vera, Nera, Aliyah, sama Ronald. Yang paling waras di sana cuma Aliyah, sisanya ya begitulah.” Jawab Saka.
“Belum pernah sih gue ngobrol sama mereka.” Kataku.
“Kalau lo udah di grup ini, jangan harap bisa benar-baner berteman sama mereka Emje. Lo bakalan jadi public enemy mereka.” Tambah Saka.
“Eh?” Aku tertawa mendengar Saka yang sama sekali tidak masuk akal. “Masa cuma karena beda tim jadi begitu? Kita kan masih ada di kantor yang sama dan sama-sama juga menaikkan engagement produk yang diluncurin sama kantor. Toh ini juga masih satu paket, kan? Kenapa kesannya jadi saingan sama produk sebelah?” tanyaku yang tidak mengerti sama sekali alasan konyol ini.
“Lihat aja nanti.” Kata Mbak Aina, “udah buruan makannya habisin keburu nanti diocehin bos dan kita makin lama lagi meeting-nya. Duh, gue nggak mau pulang kemaleman nanti gue nggak bisa balik bareng laki gue.” Mbak Aina segera membereskan wadah makan yang sudah tandas isinya.
Aku pun juga bergegas untuk menghabiskan makananku dan masih tidak percaya dengan sikap kekanakan tim sebelah. Tapi, masa iya?