EMPAT : Selamat datang di kantor baru, teman satu tim baru, dan nyinyiran baru

1778 Words
Hari ini adalah hari pertama aku dilepas dari Mbak Eva yang sudah bersih barang-barangnya dari meja yang aku tempati. Semua dekorasi miniatur Hello Kitty berbagai bentuk sudah tidak ada di atas monitor komputer, semua post it yang tertempel di dinding kubikal, sudah dicopot semua dan membuat dinding yang tadinya beraneka warna kini sudah terlihat warna aslinya, wadah alat tulis dengan beragam warna sudah dibawa pulang oleh pemiliknya. Dan kini aku benar-benar merasa seperti anak baru karena kubikalku yang masih kosong dan bersih. Anehnya, malah aku merasa ‘asing’ sekarang, dari sebelum Mbak Eva benar-benar pergi dari kantor dan tidak akan kembali lagi menjadi seorang karyawan dengan lanyard menggantung di lehernya. Biasanya, sudah menjadi syarat dan kebiasaan tak tertulis kalau anak baru datang lebih awal dari pada karyawan lainnya yang lebih senior. Dan itu yang aku lakukan. Aku datang lebih awal tanpa perlu menukar KTP milikku karena aku sudah memiliki ID card yang diberikan oleh Pak Aldo kemarin. Cetakan kartunya lumayan bagus, wajahku terlihat cerah sekali dan tidak terlihat kucel sama sekali, berbeda dengan ID card milikku di kantor yang lama. Kalau cetakannya seperti ini, aku akan dengan senang hati menggantungkan lanyard ini di leher dan membeli lanyard mahal seperti Tjania. Itulah ke mana uang gaji manusia single sepertiku habis. Bagaimana uang satu mio lebih hanya ditukarkan dengan satu lanyard trendi yang dipakai hanya untuk gaya? Oh, bisa. Karena aku single dan tidak memiliki tanggungan apa pun. Ini bukan excuse memiliki pasangan itu tidak enak, bukan. Aku hanya berniat memanfaatkan ini selagi masih bisa. Dan kalau Tjania mendengar apa yang aku katakan, sudah pasti ia akan meledekku tak henti-henti dan mengataiku sebagai lajang yang nelangsa karena bingung uangnya ingin dikemanakan selain di investasikan dan ditabung. Ah, pagi-pagi begini aku sudah memilikikan hal yang tidak perlu ku pikirkan dan jadinya membuatku jadi kehilangan mood di pagi-pagi begini. Aku memasuki ruangan kantor dengan banyak kubikel dan lemari berisi beragam berkas yang tertata dengan rapi, serapi ruangan yang terlihat sylish dengan cat berwarna Tiffany Blue yang khas. Aku berjalan menuju mejaku dan meletakkan kedua tas yang ku bawa ke atas meja. Satu tas berisi barang-barang yang biasa ku bawa, dan yang satu tote bag berisikan tiga bekal makanan yang dibawakan oleh si Mbak. Sarapan, makan siang, dan yang satu berisi buah untuk snack ketika sore tiba. Aku menaruh bekal makan berisi buah ke dalam kulkas kantor di pantry dengan notes di atasnya bertuliskan namaku. Kantor yang biasanya ramai, masih kosong. Hanya bunyi dengung pelan AC yang membuat suasana kantor tidak terlalu sunyi. Bahkan aku bisa mendengar suara kelotak sepatuku sendiri saat aku melangkah ke pantry. Aku pun menikmati sarapanku di mejaku sendiri, sambil menonton Netflix di tablet yang ku bawa. Bekal hari ini adalah nasi tim ayam dan jamur serta tahu goreng dengan potongan cabai dan bawang. Memang makanan yang paling enak adalah masakan rumahan yang mana di nikmati saat masih panas. Sebenarnya di kantor ini ada microwave kecil yang biasa digunakan oleh karyawan, tapi karena nasi tim ini dibungkus oleh alumunium foil, jadi nasi tim yang aku nikmati masih lumayan hangat. “Sarapan apa, Emje?” Tanya Mbak Aina yang mejanya ada di sebelahku. Aku agak terkejut karena sedang serius menonton dan Mbak Aina datang tanpa suara berisik. Bahkan langkah sepatunya saja tidak terdengar. “Pagi, Mbak. Ini aku dibawain nasi tim ayam, Mbak Aina udah sarapan?” Tanyaku. Mbak Aina menaruh tasnya ke atas mejanya dan duduk sambil menyalakan komputer. Hal yang akan dilakukan semua orang ketika mereka sampai meja kerjanya sendiri. “Aku udah sarapan tadi makan bubur di jalan.” Jawab Mbak Aina yang sudah menikah dan memiliki sepasang anak yang masih balita. Setiap hari Mbak Aina akan di antar jemput oleh suaminya dan biasanya kalau tidak membawa bekal makan siang, Mbak Aina akan makan siang bersama suaminya jika jadwal mereka tidak berbenturan. This is what I want when I’m married. “Nggak ribet maka di mobil, Mbak?” Tanyaku. “Karena udah biasa, jadi nggak ribet. Lebih ribet kalau makan bareng anak soalnya kalau sama anak itu, kita makan cuma pas disela-sela pas anak lagi ngunyah. Makanya kalau makan di mobil sendirian sih, aku enjoy banget karena nggak ada gangguan. Bukan berarti aku nggak suka makan bareng sama anak ya, tapi kalau makan bareng anak makanan seenak apa pun cuma kepikiran cepat habis dan perut kenyang aja.” Mbak Aina tertawa dan membuat lesung pipinya jadi jelas terlihat. “I know, Mbak. Kakak perempuanku punya anak balita juga, Mbak. Kalau udah makan bareng, udah kayak lagi perang. Kadang sampai kejar-kejaran, bahkan sampai nangis kalau anaknya lagi main sama sepupu-sepupu yang lagi main ke rumah.” “Bener! Aku juga kalau keluarga besar udah kumpul, pilihan anak makan itu antara nggak mau atau makan banyak banget sampai muntah karena ngikutin sepupu-sepupunya yang udah lebih dewasa.” Curhat Mbak Aina. Suara kursi di sebelahku yang ditarik membuatku menoleh. Kevin, yang duduknya di seberang lain di sisi mejaku sudah datang dan sedang membuka jaket motornya dan menaruhnya di sandaran kursi. “Pagi semua. Pagi ini udah mendung aja, ya. Bikin mager.” Katanya Kevin mengawali hari dengan menyapa kami. “Pagi, Vin. Naik si Item lagi? Tumben banget kan lagi musim hujan.” Kata Mbak Aina. “Pagi, Kevin. Sarapan.” Kataku berbasa-basi khas orang yang baru kenal. “Iya, makasih gue mau ke belakang beli nasi uduk. Si Item lama nggak keluar Mbak, kasihan. Eh tapi begitu sampai di Harmoni ternyata mendung. Ngebut deh takut kena hujan.” Kata Kevin. Si Item, yang baru aku tahu adalah nama motor dari Kevin beberapa hari yang lalu, bisa mengerti apa yang Mbak Aina dan Kevin obrolkan. Awalnya aku bingung, kenapa benda mati harus memiliki nama, namun mungkin itu hanyalah masalah preferensi orang-orang yang baru aku kenal. Kevin pun mengambil dompetnya dan keluar kantor untuk membeli sarapan. Sebelum ia keluar, ia sempat menanyakan kepada kami apakah kami ini menitip makanan tertentu di belakang kantor yang dipenuhi beragam jajanan pagi hari yang biasa di temukan di pasar dan perumahan. Tapi karena sudah merasa kenyang, aku tidak menitip apa pun sedangkan Mbak Aina menitip untuk dibelikan kue basah saja untuk camilan nanti. “Ngomong-ngomong. Kamu kayaknya kalau ada Mas Tama suka kelihatan takut, ya? Mas Tama emang kelihatan seram karena jarang senyum, tapi baik kok sebenernya. Kecuali emang kalau kerjaan kita nggak sesuai dengan standar dia, ya sabar aja kalau kita disuruh revisi terus sampai sama dengan standar yang dia mau. Tapi terlepas dari itu, he’s very nice.” Kata Mbak Aina yang kata-katanya membuat telingaku panas. He’s very nice, kalau aku tidak mempermalukan diriku di depannya dua kali, kalau aku belum pernah bertemu dengannya sebelum aku masuk kantor, dan kalau dia bukan bosku. Semuanya akan baik-baik saja kalau semua alasan itu tercentang tebal di hidupku sekarang ini. Tapi kan nyatanya sekarang tidak begitu. Aku hanya tersenyum getir sementara Mbak Aina menungguku menjawab pertanyaan dan pernyataannya. “Lebih nice lagi kalau senyum, ya, Mbak. Senyum tulus.” kataku seakan mengoreksi makna senyum yang seringnya ku lihat tak seperti yang diinginkan. “Iya sih, sayang banget senyumnya jarang. Kalau lebih sering senyum pasti tambah ganteng. Sebenarnya di kantor ini banyak yang suka sama Mas Tama, tapi karena Mas Tama orangnya cuek jadinya mungkin dia nggak tahu kalau yang suka sama dia itu banyak. Coba deh sekali-kali kamu perhatiin. Yang ngeliatin Mas Tama itu banyak, tapi kasak-kusuk aja soalnya pada takut.”Mbak Aina tertawa dan membuatku makin merasa harus tidak menonjol dan menghindar dari radar bosku yang satu itu kalau tidak ingin disangka menjadi salah satu pengikut sekte penyuka Mas Tama. Ugh, nggak deh. Tapi, sayangnya itu adalah hal mustahil karena siang ini kami akan meeting bersama karyawan lain untuk projek terbaru dari perusahaan yang mengharuskan kami mendukung campaign baru dari produk yang akan diluncurkan dan tentu saja, keep in touch dengan para sponsor, investor, influencer, sampai masyarakat untuk bisa membuat produk ini laku di pasaran dan selalu menjadi bahan omongan. Karena ketika suatu produk di luncurkan di pasar, bukan hanya tim marketing saja yang harus bersusah payah menggenjot produk agar tetap hype, namun hubungan personal brand dan pengguna juga harus diperhatikan dengan baik. Kevin datang dengan kantong plastik di tangannya, ia memberikan satu kantung pada Mbak Aina, dan menaruh dua buah risoles ke mejaku. “Eh? Gue nggak nitip, Vin” Kataku. “Buat camilan iseng menuju meeting yang mungkin akan lebih awal. Siapa tahu nanti makan siang nanti bakalan kelewat.” Ujarnya yang duduk di kursi miliknya dan mulai membuka kertas nasi berisi nasi uduk dengan berbagai lauk di dalamnya. “Bukannya meeting habis makan siang?” Tanya Mbak Aina pada Kevin. “Tadi aku ketemu Mas Tama lagi ngopi di bawah, dia bilang meeting-nya jam sepuluhan aja. Yah, tau sendirilah Mbak, si bos satu itu gimana.” Kata Kevin sambil menyendok nasi uduknya. Mendengar Kevin mengatakan hal tersebut membuat nafsu makanku hilang. Bukan karena karena makan siang nanti akan jadi molor, itu kemungkinan besar yang di sampaikan oleh Kevin tadi, namun lebih ke malas bertemu secara intens dengan Mas Tama. Cengiran usilnya itu loh yang aku tidak suka. Setiap bertemu pasti ada saja kata-kata yang ia lontarkan padaku yang malah membuatku jadi sebal, meski pun hanya singkat berupa. Hati-hati nanti jangan salah pencet tombol lift, dan hal-hal semacam itu yang membuatku lebih aware lagi. Lama-lama aku bisa anxiety kalau begini caranya. “Meeting kita bisa lebih dari dua jam?” Tanyaku. “Ya, bisa lebih dari itu apa lagi kalau lagi brain storming dan ini meeting pertama lo, kan? Welcome to the gank and the mess.” Rama tersenyum seakan senang atas meeting yang akan datang. “Kalu gitu aku harus makan ini semua karena aku udah yakin banget kalau kita bakalan telat buat makan siang dan nanti aku bisa kelaperan sementara Mas Tama nggak ngeh kalau pegawainya sudah kelaparan karena diotak orang-orang kayak Mas Tama itu kayaknya tidak ada hari tanpa kerja, kerja, dan kerja padahal badan udah amat sangat lelah, lapar, dan ngantuk.” Mbak Aina mulai membuka kue basah yang dibelikan oleh Kevin. “Hard worker, yang kerjanya super hard dan nggak peduli dengan kesehatan sendiri.” Kataku. Aku jadi teringat beberapa orang di kantor lamaku yang seperti itu, bahkan aku juga dulu seperti itu sampai akhirnya aku tipes. Sudah imun turun karena kelelahan, dan makan juga tidak dijaga. Alhasil sakit dan sejak itu aku tidak ingin terlalu memaksa diriku untuk bisa satu pace dengan orang-orang seperti itu. “Tapi tenang aja, nanti aku ingetin Mas Tama kalau jam makan siang kita udah terlalu lewat.” Ujar Mbak Aina, si senior yang ku taksir umurnya lebih tua dibandingkan bosku itu. “Semangat Mbak, aku mengandalkanmu!” Kata Kevin dengan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD