ENAM : Kalau sudah bosan kerja kantoran, mungkin lebih baik melamar menjadi penulis skenario sinetron

1594 Words
Aku masuk ke mobil dan bersandar sambil memejamkan mata. Ternyata benar, hari ini kami lembur dan selesai di jam sembilan malam. Aku lapar dan juga lelah. Terutama kepalaku ini yang sedari tadi ditanyai tak henti-henti oleh si Bos seakan ia memiliki dendam tersendiri padaku. Namun jangan sebut aku Emje kalau aku tidak bisa menjawab semuanya dan membuat mapping dadakan dari semua bahan yang sudah diberikan oleh Pak Tama. Di jam segini, mobil yang ada di parkiran tidak seramai jam pulang kantor. Beberapa menunggu jam macet reda baru pulang, namun sebagian memang sedang lembur dan belum bisa pulang. Sama sepertiku yang rasanya ingin dipijat semua badan lalu menikmati teh jahe hangat setelah itu tidur lelap dengan selimut tebal. Kakiku yang sudah pegal pun akhirnya tak lagi mengenakan stiletto, namun sudah mengenakan sandal jepit. Aku pun menguncir rambutku agar tidak lari kemana-mana. Aku membuang masker yang tadi aku kenakan ke tempat sampah yang ada di mobil, dan mengambil masker yang baru setelah membersihkan wajah dari semua make up yang seharian menempel di wajah. Aku juga melepas contact lens dan menggantinya dengan kacamata. “Capek.” Ujarku yang kini sudah terlihat berbeda dari aku yang biasanya terlihat bersemangat di kantor. Aku mencari ponselku dari dalam tas dan memencet nomor yang selalu bisa aku hubungi dan akan selalu diangkatnya meski pun ia sedang sibuk atau pun sangat sibuk. Pilihannya memang hanya dua itu saja mengingat Tjania adalah seorang pengacara muda yang kasusnya kebanyakan harus membuatnya sibuk dengan tumpukan buku dan kertas. “Apaan?” Jawabnya ketus dari seberang sana, khas Tjania sekali. “Lo masih di kantor apa udah balik?” tanyaku. “Udah balik. Tapi gue lagi ngurusin berkas buat sidang minggu depan. Kenapa emang? Lo masih di kantor emangnya? Rajin banget lo lembur masih jadi anak baru.” Katanya setengah tertawa meledek. “Baru selesai ini mau pulang tapi gue laper banget, tapi capek juga. Makan di mana ya enaknya? Mau gue bawa balik tapi nanti takutnya gue di tengah jalan kelaperan.” Kataku yang belum menyalakan mesin mobil dan masih asik diam di parkiran. “Nasi bebek? Nasi goreng? Soto babat? Ayam bakar? Tuh udah gue kasih opsi ya. Lo mending beli camilan gorengan kek roti bakar, martabak buat makan di jalan. Makan beratnya di rumah aja kalo lo capek. Habis itu bisa langsung mandi trus tidur kan? Besok masih weekdays, masih hari kerja.” Ujar Tjania dari seberang sana yang sepertinya sambil mengetik entah apa karena aku bisa mendengar suara tangan yang beradu dengan tuts keyboard di laptopnya. “Hmm... makan apaan ya, gue jalan dulu deh. Nanti liat di tengah jalan ada apaan gue beli aja kalau pengen.” Kataku. “Ya udah, tiati lo. Jangan ngantuk, mending lo beli kopi dulu di mana kek biar lo melek pas nyupir. Sekalian lo beli apaan gitu di Coffee Shop buat makan lo di jalan. Si Mbak lo nginep nggak di apartemen?” Tanya Tjania. “Hari apa sih ini? Rabu ya? Rabu si Mbak nggak nginep, besok baru nginep.” “Balik ke rumah kakak lo ya si Mbak?” “Iya, biasalah tek-tok aja si Mbak ke gue dan ke rumah Kakak gue. Ya udahlah ya gue jalan deh nyari kopi, ngeri juga gue ngantuk bawa mobil anjir.” “Di gedung kantor lo emang nggak ada?” “Udah tutup. Ya udah ya, bye, Nya. Kapan-kapan kita main dan ngumpul sama Ara.” “Ya udah tiati, ya. Bye, jangan terlalu sibuk lo!” Aku tertawa membalas omongan Tjania dan menutup sambungan telepon. Setelah memasukan ponsel kembali ke dalam tas, aku menyalakan mesin mobil dan pergi dari pelataran parkir kantor untuk mencari Coffee Shop yang masih buka. Aku membuka jendela mobil sedikit, untuk membiarkan udara malam masuk dan membuat badanku merasa segar. Ironi, namun beginilah rasanya merasa sendirian di keramaian malam hari. Mobil dan motor masih memenuhi jalan arteri, terkadang aku juga terjebak kemacetan hingga akhirnya aku memarkirkan mobil ke area parkir kecil yang ada di Coffee Shop yang belakangan ini cukup terkenal di kalangan orang-orang di kantor. “Latte-nya satu, ya. Susunya tolong diganti sama soy milk.” Kataku pada barista perempuan yang mungkin masih kuliah. “Baik, ada lagi yang ingin di pesan, Kak? Kita ada Tuna Panini yang baru aja keluar dari oven jadi masih hangat dan fresh. Ada Banana Cake with Raisin juga.” Tawar si barista yang membuatku jadi melihat etalase kaca yang ada di sebelah counter kasir. “Boleh deh Tuna Panini satu.” Ujarku dan aku langsung mengeluarkan kartu dalam dompet namun sebelum aku bisa memberikan kartu tersebut pada sang kasir, seseorang memberikan kartunya dan membuatku diam. “Panini-nya jadi dua sama Long Black satu.” Ujarnya dengan suara yang khas, suara yang sudah seharian aku dengar dan membuatku sedikit anxiety. “Nggak usah, Pak. Saya bayar sendiri aja.” Kataku yang mencoba menjaga jarak. “Sekalian.” Katanya singkat. Wow, dari lamanya aku diam di parkiran dan bahkan aku sempat menelepon Tjania dan melakukan percakapan cukup lama, kenapa kami bisa bertemu di sini di jam dan waktu yang tidak terduga? Aku bahkan mengenakan masker dan kacamata! Make up pun sudah ku hapus dan kini wajahku terlihat sangat polos. Sembari menunggu pesanan jadi, aku hanya diam memandang ke etalase karena aku bingung ingin memandang ke mana karena ada Pak Tama di sebelahku yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tahu begini aku juga membawa ponsel yang tadi aku taruh di dalam tas, bukan hanya mengambil dompet saja. “Ada yang mau kamu beli lagi?” Tanya Pak Tama memandangku, sedangkan ponselnya sudah ia masukkan ke kantung celana. “Nggak, Pak.” Ujarku. “Nggak pa-pa kalau kamu mau. Dari tadi kamu liatin etalase aja soalnya.” “Nggak, makasih.” Jelaslah dari tadi kenapa kerjaku hanya melihat etalase saja dari tadi, itu karena aku bingung harus melihat ke mana karena ada bos baru di sebelahku. Sudah hubungan kami benar-benar awkward setelah serentetan kebetulan yang terjadi, sekarang harus bertemu pula di waktu yang sebenarnya sama sekali tidak aku harapkan. Aku hanya ingin sendirian menikmati waktuku sebelum aku pulang karena sudah sangat kelelahan. Kalau begini, tanpa kopi pun aku sudah sangat melek dan tidak mengantuk. Pertanyaanku saat ini hanya satu. Why? Untungnya pesanan kami jadi ketika semua pikiranku sedang campur aduk. Aku segera mengambil semua pesananku yang untungnya dipisah oleh sang barista yang sepertinya menyadari kecanggungan yang terjadi di antara diriku dan Pak Tama. Aku jelas akan balik lagi ke Coffee Shop ini dengan teman-temanku. “Makasih banyak, ya, Pak. Saya akan beliin bapak kopi di lain kesempatan.” Ujarku yang sudah berancang-ancang ingin pergi dari tempat ini. “Saya tadi cuma sekalian aja bayarnya.” Ujarnya santai. Jika sedari awal pertemuan kami tidak sebegitu memalukannya, mungkin saat ini aku tidak akan merasa canggung dan obrolan kami tidak akan terasa membosankan--mungkin ini hanya untukku saja. Tapi nyatanya tidak begitu. Di tiap pertemuan kami, kecanggungan sudah ada dan mengakar. “Kalau gitu, sekali lagi makasih, Pak. Saya duluan.” Ujarku. “Silakan.” Balas Pak Tama. Aku pun langsung pergi meninggalkan Coffee Shop dengan kedua tangan memegang kopi dan kantung kertas berisi makanan. Aku membuka pintu dengan pergelangan tangan yang aku sangkutkan pada pegangan pintu dan menariknya kuat. Sesampainya di dalam mobil, aku menaruh kopi dan kantung kertas ke sela kursi. Aku menanggalkan sendal jepitku dan menyesap kopi panas sedikit. Tanpa kopi ini pun sekarang aku sudah terjaga sepenuhnya dan perutku semakin lapar. Dengan cepat aku mengigit Panini hangat dengan isi Tuna yang rasanya sangat enak. Namun aku tidak ingin terlalu lama di sini karena aku tidak ingin melihat bosku berada di pelataran parkir. Semakin lama aku di sini, semakin besar kemungkinan aku bisa melihatnya kembali. Aku pun segera menyalakan mesin mobil dan bergabung bersama kendaraan lain di jalanan yang masih agak ramai namun tidak sampai menimbulkan macet. Kalau begini caranya, aku tidak akan mencari tempat akan di dekat-dekat sini, aku tidak mau kalau sampai bertemu dengan Pak Bos yang mana kalau keadaan satu ini sih mustahil, tapi selama masih berada di daerah dekat kantor, aku tidak mau mengambil risiko. Aku lebih memilih untuk mampir ke tenda pinggir jalan yang sudah dekat dengan lokasi apartemenku saja, yang letaknya agak jauh dari kantor. Kira-kira kalau aku menceritakan semua ini pada Tjania, ku rasa ia akan tertawa dan mengatakan hal yang aneh-aneh dengan senang hati. Dan aku, pastinya akan merasa menyesal telah menceritakan semuanya pada temanku yang satu itu. Namun meski begitu, keadaan ini sudah sangat di luar nalar. Aku seperti dibayangi orang yang tidak ingin aku temui namun akhirnya malah dipertemukan tidak sengaja. Tapi kalau begini apakah semua yang terjadi itu tidak sengaja? Uh, aku jadi merinding sendiri memikirkannya. Di antara semua orang yang ada di bumi, atau paling tidak di sekitaran Cikini, kenapa aku harus bertemu dengan Pak Tama, sih? Apakah semua eligible bachelor yang ada di Jakarta Pusat ini sudah pada tidur di kasur mereka masing-masing? Atau masih bertengger entah di mana sembari menghabiskan malam entah dengan siapa? Kenapa tidak ada satu pun yang bisa aku temui? Mobilku berhenti di lampu merah, dan aku mengambil Panini yang tadi sudah ku gigit sebelumnya dan ku habiskan setengah dengan kesal. Ah, andaikan Panini ini tidak enak, aku pasti akan berteriak frustasi, namun untungnya makanan ini enak, begitu pula dengan kopi yang ku pesan, yang kini sudah tidak sepanas sebelumnya, rasanya bisa ku bilang juara. Setidaknya malam ini, nasibku tidak terlalu nelangsa meski pun aku masih kelaparan dan masih memerlukan Nasi Bebek yang sudah beberapa kali aku beli di dekat apartemen. Setidaknya, tidak bertemu dengan kandidat pacar, perutku masih bisa menikmati makanan enak. Aku baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD