Setiap anak pasti pernah mengira kalau ia adalah anak pungut. Terima kasih bagi sinetron masa kecil, dan juga ledekan saudara sendiri kalau sedang bertengkar. Dulu aku menganggap kalau aku adalah anak yang ditemukan Mama di tempat sampah. Kalau dari fisik, aku tidak memiliki rambut lurus bak iklan sampo seperti Mama, pun tidak memiliki hidung yang jenjang seperti Papa. Rambutku bergelombang, dan hidungku tidak artistik seperti anak seperempat bule lainnya. Mungkin kalau bisa dibilang, aku ini produk gagal anak seperempat bule yang jauh berbeda dengan orang-orang di luar sana. Kak Lele mewarisi rambut Mama dan hidung Papa. Sedangkan aku mewarisi wajah entah siapa. Dari SD aku selalu diejek berbeda dengan Kakakku yang cantik itu, dan label nama Adiknya Lele selalu tersemat di kehidupan sosialku sejak kecil. Orang bahkan mungkin tidak tahu namaku siapa karena yang mereka tahu hanyalah aku si adik Lele, anak pungut yang ditemukan di tong sampah.
Papa yang setengah Belanda dari Ibunya, padahal terlihat sangat rupawan. Pun Mama yang dulu finalis Miss Keio yang diadakan oleh Fakultas Science and Technology. Mama dan Papa bertemu di Jepang saat mereka kuliah di Universitas yang sama namun berbeda fakultas, dan karena ada ajang Miss Keio yang seperti Beauty Pageant di Fakultasnya dulu, mereka pun akhirnya bertemu tidak sengaja. Papa tertarik dengan Mama yang sama-sama adalah warga negara Indonesia, dan karena sama-sama mahasiswa yang merantau di negara orang, mereka pun akhirnya dekat. Selebihnya adalah cerita pendekatan sampai pacaran dan menikah. Sungguh seperti cerita-cerita manis ala drama yang berujung happy ending.
Masalahnya, mengetahui bagaimana penampilan fisik kedua orang tuaku yang rupawan ternyata tidak sepenuhnya mereka turunkan kepadaku. Alhasil, anaknya ini merasa kalau seperti orang luar di keluarga sendiri. Sampai Mama berkali-kali menunjukkan fotoku saat bayi dulu, saat Mama hamil, dan saat aku di pelukan Mama yang wajahnya terlihat kelelahan sehabis melahirkan sambil menggendongku. Catat, habis melahirkan saja wajah Mama masih terlihat cantik. Jadi wajar kalau sejak kecil aku jadi insecure sendiri.
Untungnya sekarang aku sudah tidak lagi peduli, namun kalau pandangan orang-orang sekarang ini kepada kami terlihat mencolok, ya mungkin saja karena mereka berpikir kenapa anak yang satu itu berbeda sendiri.
“Mama nanti mau buat Pie Apel, nanti kamu bawa ke apartemen, ya.” Ujar Mama yang sedang memilih tepung sementara Papa mendorong troli. Aku juga bingung kenapa aku berada di antara supermarket date yang selalu dilakukan kedua orang tuaku ini sekarang.
“Oke.” Kataku.
“Sering-sering pulang biar rumah ramai.” Kata Papa.
Papa memeluk pinggangku sedikit bercanda, aku pun memeluk Papa yang badannya sangat besar seperti anak kecil yang sedang manja dengan orang tuanya.
“Lagi sibuk banget, aku lagi ada proyek baru, Pa. Baru banget mau keluar dan orang-orang di kantor lagi ampun-ampunan lembur, tapi karena aku males lembur di kantor ku bawa aja kerjaan pulang.” Kataku.
“Jangan kelelahan nanti kamu masuk rumah sakit lagi kena tifus. Kerja itu bukan hanya cari uang trus uangnya habis buat pengobatan. Sewajarnya saja kalau kerja.” Papa mengelus-elus kepalaku lembut.
“Yang bisa kayak begitu cuma bos-bos aja, Pa. Kalo yang kayak aku, lembur sedikit aja udah bersyukur.” Papa tertawa, tawa yang akan membuat orang lain juga tertular.
“Iya tapi jangan sampai nggak pulang-pulang kayak nggak punya rumah, Dek.” Mama yang sudah mengambil barang yang diinginkan kini ikut nimbrung denganku dan Papa. Kalau Mama yang sudah bicara, aku sudah serba salah menjawabnya. Mau dijawab seperti apa pun akan selalu salah karena Mama seringnya tidak mau dibantah.
“Tuh, Mama kangen.” Jelas Papa yang menengahi obrolan ini agar tidak berlanjut menjadi adu mulut yang tidak akan selesai-selesai.
“Papa kamu itu, selalu menjadi penengah kalau melihat ada yang mulai mendidih. Rem yang nggak pernah jebol, kalau nggak ada Papa sekarang mungkin ini nggak akan ada habisnya.” Mama mengatakannya sambil melihat tiap rak yang ada di kanan dan kiri.
“Papa pertama ketemu Mama ada nggak pikiran kalau mantan finalis putri kecantikan Keio ini keras kepala dan kalau udah mulai ngomel nggak akan berhenti?” Tanyaku.
Mama pun tertawa kencang mendengar omonganku yang akan aku keluarkan setiap kali kupingku sudah sakit dengan omongan Mama dan sudah malas mendengar Mama mengatakan hal-hal yang akan diulangnya lagi dan lagi.
“Kamu sama Mama kan sifatnya mirip. Makanya pas kamu waktu kecil suka bilang kamu anak pungut, apanya yang anak pungut? Sifatnya aja sama persis kayak Mama.” Kata Papa.
“Iya tapi lebih mirip Kak Lele sih, kalau Mama sama Kak Lele udah ngomong aku bisa kalah dan mending kabur dari pada emosi sendiri dan bikin kepala pusing kayak mau meledak.” Papa tersenyum.
“Iya tapi kakakmu itu udah nggak di rumah, jadi kalau cuma Mama yang ngomong dampaknya nggak akan sebegitu besarnya. Cuma setengah aja, kamu nggak akan sampai knock down.” Ujar Mama yang membela diri setelah meletakkan dua kantung minyak goreng ke dalam keranjang.
“Kita nggak lagi ngomongin gulat, Ma.” Papa mengatakannya dengan lembut pada Mama.
“Tau nih, Mama.” Aku memeluk lengan Papa sambil tertawa kecil.
“Si Adek kalau ada bapaknya, manja banget. Ya udah, ini Mama udah selesai belanjanya kita langsung pulang apa mau makan dulu? Mama sih nggak terlalu laper.”
Aku mengambil Yogurt dan memasukkannya ke troli ketika kami lewat ke rak minuman menuju kasir untuk membayar semua barang yang berada di dalam troli. Papa mengisyaratkan padaku untuk mengambil dua botol Yogurt lain yang sudah bisa dipastikan nantinya itu untuk Papa.
“Makan aja, ya. Aku laper.” Kataku.
“Mau makan di mana?” Tanya Papa.
Dan sebelum aku bisa menjawab, Mama sudah lebih dulu mengintervensi.
“Nggak makan Pizza atau Burger, ya.” Ujar Mama.
“Lho, katanya Mama nggak terlalu laper. Tapi nggak mau makan Pizza sama Burger, artinya Mama juga mau ikutan makan, kan?”
Dan sebelum mama manjawab, Papa sudah mendorong kami berdua untuk berjalan di tengah keramaian mall.
“Ayo jalan dulu, jangan berhenti di tengah jalan. Kasian orang mau lewat jadi terhalang kita sekeluarga.” Dengan dua tentengan di tangan Aku pun masuk ke Sushi Tei.
Tiba-tiba saja aku jadi ingat dengan Pak Tama dan makan malam kami di Kimukatsu. Makan malam paksaan yang boleh ku bilang karena aku tidak ingin, namun beliau dengan aura yang tidak bisa dibantah membuatku mau tak mau melangkahkan kaki untuk masuk ke restoran tersebut.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk membuat pikiran itu hilang sekarang ini. Kalau aku sedikit saja bersikap aneh, Mama pasti akan menanyaiku macam-macam. Feeling orang tua itu memang sangat hebat, melihat anaknya sedikit saja aneh kelakuannya, pasti akan diinterogasi layaknya tahanan kota.
Kami duduk agak di dalam dengan Mama dan Papa duduk di bagian sofa sedangkan aku duduk di kursi kayu. Ada tiga buku menu yang diberikan oleh waitress aku dan Mama langsung membuka buku menu sedangkan Papa mengintip ke buku menu yang dibuka oleh Mama.
“Papa Mau Gyoza, Nigiri Sushi-nya Ikura, Maguro dua porsi, Inari dua porsi, Hamachi dua porsi, Shimaji dua porsi, Nama Hotate dua porsi, sama Tamago.” Ujar Papa yang lebih dulu memesan dan dicatat cepat oleh sang waitress.
“Apa nggak sekalian aja ini semua menunya di pesan?” Tanyaku.
“Kalau kamu mau habisin ya nggak pa-pa.” Jawab Papa sambil tersenyum dan mengelap tangannya dengan tisu basah yang tadi aku keluarkan dari dalam tas.
“Saya Aburi Sushi yang set ini aja, Mbak.” Ujar Mama menunjuk menu yang diinginkannya.
“Saya mau Aburi Salmon Roll, Hakone sama Salmon Sashimi Salad.” Ujarku yang kemudian membalik halaman untuk memesan minuman, “sama satu Ocha panas. Mama sama Papa minumnya sama kayak aku?” tanyaku yang dibalas anggukan oleh kedua orang tuaku itu. “Jadi tiga Ocha panasnya, ya.”
Setelah semua pesanan tercatat dan diulang kembali oleh sang waitress, ia pun pergi untuk memberikan pesanan kami ke dapur.
“Papa sih emang lidahnya Jepang banget, pesannya yang mentah semua.” Kataku.
“Sushi yang udah fushion itu kan dibuat sama orang luar yang lidahnya nggak cocok sama makanan laut mentah. Kalau Papa sih nggak cocok sama yang kayak gitu, agak aneh aja rasanya. Menghilangkan rasa otentik.” Jelas Papa.
“Kaisen Don di Otaru, di Pasar yang dekat Stasiun itu enak banget, dia sampai melimpah-limpah di mangkuknya. Harganya juga murah untuk porsi yang kayak begitu. Anata, kamu aja sampai kekenyangan dulu kalau makan.” Mama menepuk lengan Papa seakan ingin mengingatkan Papa akan memori mereka dulu saat masih berkuliah di Jepang.
“Ah, iya. Itu enak.” Jawab Papa, dan dua orang di hadapanku ini tertawa sambil mengobrol seakan aku tidak ada.
Hal ini sudah biasa, dan aku senang. Karena dengan Mama dan Papa mengobrol berdua, maka tidak akan ada pertanyaan aneh-aneh yang akan ditanyakan padaku. Pertanyaan yang akan ditanyakan siapa saja ketika ada seorang perempuan di usia tiga puluh tahun belum menikah apa lagi memiliki pasangan.
Dan satu lagi, Anata. Panggilan sayang dari Mama ke Papa yang biasa dikatakan istri kepada suaminya di Jepang sana. Sungguh keluarga yang multi kultural kalau kata Bang Andre, suami Kak Lele. Se per empat Belanda, Jawa, Padang, tapi ada sedikit budaya dan kebiasaan negara lain yang disebabkan oleh lamanya orang tuaku menetap di sana.
“Dek, kamu di kantor baru gimana? Lebih enak dari yang lama?” Tanya Mama yang sudah selesai mengenang masa lalu dengan Papa.
“Ya begitu, sejauh ini enak.” Jawabku seadanya.
“Terus udah punya pacar yang bisa dikenalin ke Mama sama Papa?” tanya Mama lagi.
“Sejauh ini sih belum ada yang bisa dikenalin.” Jawabku lagi.
“Apa Mama harus kenalin kamu sama anaknya teman-teman Mama? Mau yang di Indonesia apa di Jepang?”
“Ma...” Omonganku terputus dengan datangnya beberapa makanan yang tadi kami pesan. Aku sibuk memberikan beberapa makanan ke hadapan Papa, dan sisanya untukku sementara milik Mama belum datang.
“Biarlah Margie lagi membangun karir, lagi suka kerja. Nanti juga kalau jodohnya datang dia nggak bisa menghindar. Zaman sekarang banyak perempuan yang membangun karier mereka dulu baru cari jodoh, settle untuk menikah dan punya anak. Nggak semua perempuan bisa kayak Laeticia dan Mama yang ketemu sama Papa di kampus dan ternyata berjodoh. Mungkin cerita cinta Margie harus menunggu dulu. Margie aja sabar, masa Mamanya nggak sabar.” Papa yang sedang menimbang-nimbang mana dulu makanan yang akan masuk ke mulutnya pun berkhotbah.
“Ya iya Mama nggak sabar. Umur Mama udah berapa, nggak muda lagi. Sebelum Mama meninggal kan Mama pengen liat Margie bahagia dengan nikah dan kalau sempat, gendong cucu.” Ujar Mama.
Skakmat. Ini adalah alasan yang paling malas sekali aku dengar. Sudah membawa-bawa umur Mama, tua, menikah, dan cucu.
“Emangnya sekarang aku nggak bahagia, Ma?” tanyaku yang mempertanyakan persoalan bahagia yang di singgung oleh Mama. “Sekarang aku bahagia kok. Parameter bahagia itu kan bukan hanya karena pernikahan dan punya anak. Ada banyak aspek yang bisa buat aku bahagia, contohnya kerja yang enak dengan gaji yang oke, rekan kerja baik, teman-teman yang perhatian dan bisa selalu diandalkan. Untuk sekarang yang aku punya ini udah buat aku bahagia, kok. Tanpa perlu harus stres sampai depresi mikir bagaimana masa depan percintaanku akan berjalan.”
“Mama tuh cuma mau kamu ada yang urus, loh. Kalau tua nanti biar nggak sendirian, kesepian. Kayak Kak Lele itu udah punya suami, punya dua anak. Jadi ramai.” Mama melemparkan alasan lain.
“Iya, Margie paham. Margie kan bilang belum bukannya nggak mau. Dan lagi juga kalau Kak Lele udah nikah dan punya dua anak ya udah, itu kehidupan Kak Lele. Margie kan bukan Kak Lele, Margie ya Margie, yang punya kehidupan sendiri dan bukan cetakan Kak Lele. Bukan berarti Kak Lele seperti itu Margie juga wajib kayak begitu, kan, Ma?”
Papa menaruh sumpitnya di atas piring dan dengan suaranya yang dalam, akhirnya berbicara juga di antara perdebatanku dengan Mama.
“Udah. Sekarang kita lagi makan, nggak perlu bahas persoalan yang sebenarnya bukan masalah yang besar. Jalani hidup dengan baik aja, mau nantinya bagaimana kita semua nggak ada yang tahu. Sekarang nggak usah debat kursir nggak jelas, ayo makan habisin. Itu pesanan Mama juga baru datang. Cukup sampai di sini obrolan yang buat berantem ini.”
Aku dan Mama akhirnya diam, dan menunduk menatap makanan di piring masing-masing.
Inilah alasan mengapa aku malas pulang dan bertemu dengan Mama. Obrolan yang akan muncul di antara kami adalah masalah seperti ini dan nantinya akan berujung pada debat kusir tidak jelas yang nantinya akan dipisahkan oleh Papa yang sudah malas mendengarkan perdebatan yang ada.