LIMA BELAS : Ada hal-hal yang tidak perlu diketahui orang terdekat, salah satunya tentang cowok. Awetnya bisa sampai cicit lahir

2032 Words
Tumpukan kardus sudah diletakkan oleh bagian Merchandiser di dalam ruangan meeting, kami semua meninggalkan kerjaan dan beranjak dari meja masing-masing untuk melihat bagaimana tampilan parfum yang akan di launching. Setelah lama menunggu karena proses untuk sampai mendapatkan barang final lumayan lama, akhirnya semua bisa tersenyum senang menyambut produk yang sebentar lagi akan dikirimkan ke banyak orang. Proses yang tak mudah ini berawal dari munculnya konsep dan ide kemudian ide itu di saring, brainstorming, membuat konsep untuk pengembangan dan tes, menganalisis bisnis, setelah itu produk di buat dengan melibatkan pihak Research and Development, dan rentetan lain yang masih panjang dan membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan juga uang. Aku memang tidak datang di saat proses awal pembuatan parfum ini, karena proses awalnya sudah jauh terjadi sejak lama. Makanya ditunjuknya diriku ini menjadi leader membuat banyak orang bertanya-tanya dan juga iri karena aku muncul tidak sejak awal, namun sudah berada di garis finish dengan mudah. Tapi jangan salah, aku sempat disuruh untuk membuat esai oleh Pak Rudi dulu sebagai salah satu bentuk tes final yang kemudian baru aku tahu bahwa esai yang ku buat ada produk nyatanya meski dulu masih dalam proses trial and error. Meski pun produk ini adalah variasi lain dari yang sudah dibuat oleh kantor pusat, namun formulanya tidak sama karena di sesuaikan untuk konsumen di Indonesia. Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah cuaca dan juga suhu udara. Dan perusahaan harus membayar royalti pada kantor pusat untuk pembuatan variasi baru ini. Presentasi demi presentasi pasti terjadi saat pitching ide ke kantor pusat, ini pasti memerlukan waktu dan komunikasi yang alot. “Gila sih, emang cantik banget ini.” Ujar Saka yang memegang satu botol yang tadi dibuka oleh Pak Tama untuk melihat hasil akhir dari produk seperti apa. “Wanginya juga enak.” Kata Mbak Aina yang sudah menyemprotkan parfum ke lengan bawahnya. “Kan lo punya deh Mbak sampelnya.” Ujar Kevin yang tertawa kecil. “Tapi gue pengennya yang ini, bukan sampel. Yang sampel botol kaca biasa.” Balas Mbak Aina. “Yah, beli lah harga karyawan.” Timpal Saka. “Beliin lah, Ka. Duit gue buat anak.” Ujar Mbak Aina memelas. Saka hanya menatap Mbak Aina sesaat kemudian kembali memuji produk di tangannya. “Yang produk punya kita kapan di anternya, Pak?” Tanya Nera yang mewakilkan kelompoknya pada Pak Tama. “Besok.” jawab Pak Tama irit. “Kenapa nggak barengan aja, Pak?” Tanya Nera lagi. “Kenapa nggak boleh satu-satu dikirimnya?” Tanya Pak Tama balik. “Enakan barengan sih, Pak.” Jawab Nera kemudian. “Saya mau fokus satu tim di satu hari. Sudah menjawab pertanyaan kamu, kan?” Skakmat. Jawaban dan pertanyaan yang cukup memalukan bagi Nera sudah dilempar oleh Pak Tama. Otomatis semua orang diam sejenak, namun kembali mengobrol ringan seakan tidak terjadi apa-apa untuk membuat suasana tidak terasa canggung bertambah lama. Nera pun diam, dan tak lama keluar dari ruang meeting. Mungkin sakit hati atau malas karena nyatanya kelompoknya jadi di nomor dua kan oleh Pak Tama. Nara yang cantik, modis, tinggi, langsing, putih, dengan rambut sehat berwarna ombre tak menunjukkan sikap profesional dalam bekerja. Aku sering mendengar gibahan para cowok yang memuji kecantikan Nera dan menjadikan Nera salah satu pegawai tercantik yang ingin dipacari, namun mungkin Pak Tama tidak masuk dalam golongan itu. Dan aku senang. Senang karena ada juga pria waras yang melihat perempuan bukan hanya dalam tampilan luarnya saja, bukan dari fisiknya saja. Tidak ada senang yang lainnya selain itu karena aku tidak menyukai orang yang selalu menjadikan apa pun sebagai perlombaan dan ia memiliki obsesi untuk memenangi perlombaan tersebut. Seperti hari ini, masalah pengiriman tidak di hari pertama saja sikap irinya sampai seperti itu. Astaga! Sungguh tidak masuk nalar sama sekali. “Ini free pouch datang besok juga, Pak?” Tanya Mbak Aina pada Pak Tama. “Harusnya besok, tapi bisa juga lusa. Tergantung dari pabriknya. Klien yang sudah menghubungi balik sudah semua?” Tanya Pak Tama. “Ada sebagian yang belum, Pak. Mungkin karena dianggap cuma kasih update aja, sebagian nggak balas.” Jawabku. “Oke kalau begitu. Selesai makan siang kita meeting.” Ujar Pak Tama yang kemudian keluar dari ruangan meeting. Semua orang yang ada di ruangan, tapi yang jelas timku, dengan serempak mengangguk dan mengatakan oke. Semua anak dari Tim Nera keluar mengikuti Pak Tama. Kini di ruangan hanya ada aku, Mbak Aina, Saka dan Kevin saja. Kami semua saling berpandangan, paham kalau yang akan dibicarakan kali ini bukanlah tentang soal produk yang sudah dimasukkan kembali ke kotaknya oleh Saka, melainkan soal Nera yang kelakuannya seperti anak balita sedang tantrum. “Wow, dalem banget itu.” Saka mengelus dadanya seakan merasakan apa yang dirasakan Nera. “Ada-ada aja sampai soal pengiriman aja dikomentari kayak begitu. Harusnya di pertanyaan pertama, stop aja sampai sana. Nggak usah diperpanjang kayak anak TK nanya Ibunya kenapa harus kerja terus.” Kata Mbak Aina. “Curhat, ya, Mbak?” tanyaku yang dibalas Mbak Aina sedang tertawa. “Nera nggak berubah dari dulu pertama kali masuk. Semua orang dijudesin kalau bukan kelompok dia.” Kevin pun ikut berkomentar. “Yah, orang yang punya privilege berupa kecantikan sih emang beda, ya. Tapi tetap banyak aja yang ngefans sama dia. Tiap gue lagi ngerokok di lantai tiga, pasti ada aja yang nanya, gimana kabar Nera, Ka? Berasa gue emaknya.” Keluh Saka yang membuat kami semua tertawa. “Sama, gue juga.” Timpal Kevin. “Ya udah, ayo bubar semua. Nanti kita diomelin Mas Tama. Bukannya selesein kerjaan, malah gibah di sini.” Mbak Aina yang paling tua pun mengusir kami semua untuk kembali ke kubikal masing-masing. *** Aku memesan nasi goreng komplet pedas begitu masuk ke tenda pinggir jalan Nasi Goreng Bhakti. Di dalam sudah ramai, tapi aku sudah melihat Ara yang duduk sendirian dengan ponsel yang ada di tangannya. Ia terlihat mengenakan blous merah muda dengan rok hitam polos. “Ra, tumben lo nggak sama Chris.” Kataku yang duduk di sebelahnya.. Ara mengambil tas yang ia taruh di sebelahnya dan memindahkannya ke meja. “Eh, lo udh nyampe? Iya Chris lagi ada kerjaan di Palembang. Lo udah pesan, Je?” Tanyanya. “Udah, lo emang belom? Baru pesen teh anget aja?” Ara mengangguk, “Iya belum. Gue pesen dulu deh. Nitip ya.” Ia meletakkan ponselnya ke meja yang langsung aku ambil karena takut di ambil orang. Selama Ara pergi memesan makanan yang ingin ia makan. Pesan dari Tjania masuk ke ponselku. On the way katanya, pasti sekarang ia sedang terjebak macet sehingga bisa mengirimkan pesan begini. Margie - Lo mau gue pesenin dulu apa lo mau pesan sendiri, nih? Masih lama? Tjania - Udah deket sih tapi macet. Rame banget? Margie - Mayan Tjania - Pesenin gue deh, pedesss banget komplet Margie - Oke, tiati Tjania - Oke, thanks, Je Begitu Ara sudah kembali, kini aku berdiri dan menitip tas pada Ara. “Ra, nitip ya. Gue mau pesenin buat si Tjania. Katanya sih udah deket tapi macet. Takut kelamaan kalau dia mesennya pas dia dateng nanti. Soalnya ini rame, kan.” “Oh oke, ya udah lo pesan aja.” Aku pun memesankan pesanan untuk Tjania dan kembali ke meja untuk menunggu pesananku sekaligus menunggu kedatangan Tjania. Tak lama pesananku diantar oleh salah satu staf. Belum sempat aku menyuap nasi goreng ke mulut, Tjania datang dengan heboh seperti biasanya. “Astaga! Gila banget sih macetnya! Sampe pegel-pegel badan gue, mana leher gue sakit gara-gara salah bantal. Sial banget gue hari ini!” Ujarnya dengan suara yang lumayan keras. Namun untungnya, karena di sekitar kami ini ramai dan penuh dengan obrolan orang-orang, rasanya suara Tjania tidak terlalu mengganggu meski tetap heboh dan penuh gaya. Tangannya tidak berhenti bergerak saat menceritakan apa yang telah ia alami. “Ya udah sini duduk. Bentar lagi juga makanan lo kelar. Lo mending pesan minum dulu lah. Biar bisa relaks.” Kata Ara yang mengambil tas Tjania dan menaruhnya di atas meja sementara Tjania mengambil dompet dan pergi untuk membeli minum. Akhirnya, aku bisa menikmati nasi goreng yang masih panas dengan sedap. Perutku sudah lapar karena seharian ini pekerjaan datang tanpa ampun di sertai meeting yang sangat aktif. Sehari saja aku sudah tiga kali meeting dengan orang yang berbeda, dan karena aku tidak mau lembur, alhasil sekarang aku membawa pekerjaanku yang ku tinggal di mobil. Nanti setelah pulang, aku akan mengerjakannya sampai aku sangat mengantuk. Makanan Ara datang, ia pun segera menikmatinya tanpa menunggu pesanan Tjania juga sampai ke meja kami. Karena di antara semuanya, Ara yang makannya paling lama. Ara itu sudah seperti putri kerajaan yang dididik dengan manner yang sangat baik. Berbeda denganku dan Tjania yang sedari dulu sudah serampangan sekali. “How’s life?” tanya Tjania begitu ia sampai ke meja dengan sekantung belanjaan yang ia beli di minimarket. “Si Emje kena gosip di kantor lama, jadi perbincangan orang satu kantor.” Sahut Ara cepat sebelum bisa aku cegah. “Gosip apaan? Wah lo meninggalkan aib di kantor lama, ya?” Tanya Tjania menatapku dengan tatapan menuduh. “Enak aja! Nggak ya! Gue tuh menyelesaikan kerjaan gue dengan baik di kantor lama sebelum gue bener-bener cuss dari kantor. Nggak ada aib, nggak ada yang aneh-aneh.” Belaku cepat. “Trus gosip apaan?” Tanya Tjania bingung. Ia membuka minuman teh botolan yang dingin kemudian membuka sekantung kripik kentang besar yang ia taruh di tengah meja. “Dia ke-gap sama anak kantor jalan sama cowok ganteng.” Ara tersenyum senang saat mengatakannya sementara aku hanya diam dan pasrah. Ku suruh untuk tak perlu melanjutkan pun nantinya akan di paksa oleh Tjania, jadi aku lebih baik diam saja dari pada harus membuang-buang tenaga untuk obrolan yang tidak akan selesai meski pun disuruh untuk berhenti. “Hah siapa?! Wah! Lo mau ngejar gue nih, Je? Pantesan kemaren lo senewen gue bilang punya gebetan.” Tuduh Tjania yang membuatku meletakkan sendok dan garpuku. “Enak aja! Itu bos gue, ya. Habis beli barang buat kantor bos gue ngajak makan malem padahal gue ogah, gue udah bilang mau take a way tapi doi nyeret gue.” Balasku yang sudah ku ceritakan sebelumnya ke Ara. “Tapi ganteng? Bos lo udah tua apa masih muda sih? Udah deket aja sama bos nih, ini bos yang lo ceritain suka ngeledek lo kan? Yang waktu itu lo salah masuk mobil?” Tanya Tjania yang ingatannya tentang hal-hal yang memalukan sangat baik. “Tiga limaan gitu katanya.” Ara menyahut sebelum aku sempat menjawab. Makanan Tjania sampai, namun begitu fokusnya masih kepadaku, bukan pada nasi goreng panas di piringnya. Aku sudah bisa mencium aroma cabai yang kuat, karena pesanan Tjania yang meminta nasi gorengnya di masak sangat pedas. “Coba siapa namanya gue mau cari di Google.” Tjania mengeluarkan ponsel bersemangat, sedangkan Ara yang bersuka cita karena gosip ini akhirnya naik di circle kami pun menyebutkan nama lengkap bosku. “Lo nggak usah mengambil kesimpulan apa pun kalau udah nemu orangnya kayak gimana, ya. Gue gigit nanti loh.” Ancamku pada Tjania yang tidak ia hiraukan. “Wah!” Sepertinya Tjania sudah menemukan orang yang ia cari, “ini sih emang ganteng, anjir!” Ia kembali bersemangat dan memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. “Background-nya bagus nih, idaman para orang tua dan cewek lajang.” tambahnya. “Ya, kan? Gue juga pas si Candra heboh gitu jadi penasaran. Orangnya kayak gimana sih, soalnya kalo itu anak bilang ganteng ya emang ganteng. Benchmark orang good loooking itu di kantor itu dari kata-kata Candra, udah valid deh kalo dia yang bahas. Dan pas malem-malem gue telepon si Emje dan cari orangnya kayak apa, ternyata high quality bachelor. Tapi nggak tau nih masih single apa udah mingle.” Ara pun menceritakan lengkapnya pada Tjania seakan-akan aku tidak bersama mereka di sini. “Pantesan lo mau diajak makan bareng, ya. Sepet-sepetnya kalau nggak jadi ke jenjang yang lebih serius, ya okelah buat temen jalan soalnya ganteng, kan?” Omongan Tjania membuatku menendang kakinya dengan ujung sepatuku. “Sembarangan! Nggak lah! Ngapain, males banget!” Aku pun mengedikkan bahu seakan malas dengan perkataan Tjania yang setengah meledek, setengah serius. Dua temanku sibuk tertawa, sedangkan aku manyun. Kalau gosip di kantor lama paling bertahan beberapa hari, namun bagi Tjania dan Ara, gosipnya bisa seumur hidup tahannya. Sial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD