EMPAT BELAS: Gosip datang dan pergi. Tapi ketika sedang datang, efeknya seperti angin ribut

1965 Words
Aku yang harusnya bisa menikmati makan malam dengan senang dengan perut kenyang, kini harus makan berhadapan dengan Pak Tama. Aku yang biasanya bisa memesan beberapa menu Sushi tanpa merasa bersalah pun akhirnya hanya memesan satu menu, yakni Stamina Roll sedangkan Pak Tama memesan katsu. Setelah kesalah pahaman yang terjadi, aku jadi makin canggung ke Pak Tama. “Maaf ya, Pak. Itu teman saya di kantor yang lama. Orangnya suka begitu.” Kataku meminta maaf atas omongan Candra si raja gosip di kantorku yang dulu. Di antara semua orang yang pernah ku kenal, kenapa harus Candra yang bertemu denganku? Terlebih di saat seperti ini, saat aku sedang bersama Pak Tama dan ujung-ujungnya jadi menimbulkan kesalah pahaman yang membuat suasana jadi canggung dan juga tidak nyaman. Berbeda denganku yang sudah mati gaya, Pak Tama nampak terlihat santai seperti biasanya. Santai dengan wajah tegas dan jarang tersenyum. Padahal, kejadian seperti tadi bukanlah satu kejadian yang sering terjadi, kan? Dan kenapa sih kalau ada hal-hal yang ending-nya bisa membuat malu selalu saja aku alami ketika sedang bersama Pak Tama? “Wajar teman kamu anggap begitu.” Jawab Pak Tama pada akhirnya. Aku hampir tersedak ketika mendengar Pak Tama mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar. Aku jadi bingung, standar wajar dan masuk akal pada diri orang di hadapanku ini seperti apa, sih? Hal yang bagi orang normal dianggap sebagai hal yang memalukan begitu dibilang wajar. Tapi karena Pak Tama tidak terlalu mengambil pusing masalah itu, aku jadi sedikit lega. “Kamu makannya itu aja? Lagi diet?” Tanyanya. Aku tidak menyangka kalau bos ku ini cukup perhatian pada anak buahnya sampai mau menanyakan hal yang cukup personal dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. “Ini aja udah buat kenyang, Pak.” Jawabku Pak Tama memandang piringku dengan ragu karena porsi di hadapannya dengan porsi di hadapanku ini jauh berbeda. Melihat Pak Tama yang asik menikmati Katsu pesanannya, sesampainya di apartemen nanti aku akan memesan Katsu dan juga Sushi di aplikasi pesan antar. Mana cukup aku hanya makan satu porsi Sushi seperti ini? “Oh.” Ujar Pak Tama menanggapi. Aku makan dengan cepat, karena aku ingin cepat-cepat pulang. Padahal kalau aku sendirian, aku bisa mampir ke beberapa tempat sebentar dan pulang membeli kue di Chateraise. Biasanya aku akan membeli Strawberry Short Cake dan juga Choux Vanilla, tapi kalau begini alamat aku langsung akan pulang begitu makan selesai. Selesai makan malam yang sangat canggung ini, aku buru-buru berjalan ke kasir untuk membayar bill makananku sendiri sebelum Pak Tama membayarkan makanan yang aku pesan. Dan baru aku ingin mengeluarkan dompet, Pak Tama sudah menyodorkan kartu debitnya pada kasir. Aku tidak ingin ada utang lain yang akan menggangguku seperti tempo hari. “Pak saya bayar sendiri.” Kataku yang akhirnya menemukan dompet dalam tasku. Di saat seperti ini, dompetku nyempil di sisi tas yang susah dijangkau. “Kasihan kasirnya harus split bill dulu, kamu mau nyusahin Mbaknya?” Aku memudurkan wajah. Tuh, kalau ini adalah sebuah hubungan asmara, sudah pasti hubungan ini akan dilabelkan sebagai hubungan toxic. Tapi untungnya hubunganku dan Pak Tama hanyalah sekadar hubungan antara bos dan bawahan. Alhasil, karena aku tidak mau membuat keributan dan juga supaya aku bisa cepat pulang, aku akhirnya membiarkan Pak Tama untuk membayar. Besok aku benar-benar harus mengganti uang ini dengan membelikan Pak Tama makanan. Mungkin untuk makan siang karena aku jarang sekali melihat Pak Tama sarapan. Biasanya, ia hanya meminta OB untuk membuatkannya kopi saja. Lain kali, aku langsung kabur begitu melihat Pak Tama agar tidak ada lagi hal-hal seperti ini yang akan terjadi. Mulai dari bertemu dengan teman di kantor lama dan jadinya menimbulkan gosip sampai begini ini, dibayarkan lagi seperti saat aku membeli kopi dan pastry dulu. “Makasih banyak ya, Pak. Tapi saya akan lebih berterima kasih lagi kalau bapak nggak bayarin saya. Bapak suka makanan manis?” tanyaku begitu kami berjalan melewati Chateraise. “Nggak, saya nggak suka.” Jawabnya enteng. Meski begitu, aku langsung masuk ke toko kue Jepang itu dan membeli beberapa kue yang dipisahkan ke dua kotak. “Kata Mbak Aina, Ibunya Pak Tama di rumah sakit, ya? Kalau Bapak nggak suka makanan manis, kasih ke Ibunya aja, ya, Pak. Saya duluan, makasih banyak, Pak.” Aku langsung kabur begitu Pak Tama mau tak mau menerima kotak berisikan beberapa kue yang ku belikan untuknya. Soal makan siang, mungkin lain kali aku akan membelikan makan siang karena niat baik Pak Tama yang sudah membayarkan makananku dua kali. Untungnya aku tadi sempat mengganti sepatu hak tinggiku dengan sepatu flat. Jadi aku bisa kabur dengan nyaman dan cepat sambil sedikit berlari. Ah, aku benar-benar harus pesan banyak makanan malam ini! *** “Eh! lo ada gosip nih di kantor!” Aku yang baru menjawab telepon dari Ara, langsung ditembaknya dengan hal yang sudah aku prediksi akan muncul meski pun aku tidak tahu kapan omongan itu akan sampai ke kupingku sendiri. Aku menghela napas, “Anjir, si Candra, ya? Gosipnya udah samapi kuping lo aja ini.” “Entah deh ya awalnya siapa, tapi lo tau kalau lo ada gosip? Dari siapa?” Tanya Ara yang malah kaget. “Gue ketemu si Candra di Kimukatsu pas selesai beli hadiah buat klien sama bos gue! Si anjir udah heboh dong kantor!” Ujarku heboh. “Oh itu bos lo? Gue kira lo lagi deket sama cowok karena nggak mau kalah sama Tjania! Berarti bos lo itu masih muda ya kalau disangka sama Candra dia itu cowok atau gebetan lo?” Ara mengambil kesimpulan yang mungkin juga akan aku ambil andaikan gosip itu bukan tentangku, namun tentang orang lain yang aku kenal. Lagi-lagi aku menghela napas dan berjalan menuju balkon apartemen untuk menutup jendela. Sudah terlalu malam dan takutnya aku kelupaan menutup jendelanya dan nanti malah tidak ditutup karena aku sudah langsung tidur. “Mungkin tiga puluh empat atau tiga puluh limaan kali ya. Ya nggak jauh lah sama umur kita.” Jawabku atas rasa penasaran Ara. “Udah nikah?” Tanya Ara bersemangat. “Belum sih kayaknya... kenapa? Lo mau bilang kalo dia eligible bachelor yang mungkin bisa gue dekatin gitu, Ra?” Tanyaku dengan nada malas. “Lo nggak tau dia udah punya pacar atau belum? Ya nggak masalah kan, Je, kalau dia masih single? Lo pusing-pusing nyari cowok, di depan lo itu ada andaikan bos lo belum punya pacar! Kata Candra ganteng lagi, kalau kata dia ganteng kan valid berarti. Candra itu matanya jeli, apa lagi kalau soal urusan fisik. Gue jadi penasaran deh, siapa sih nama bos lo itu? Biar gue cari Linkedin dia, siapa tau ada media sosial juga.” Intel part dua ini pun menanyakan hal yang kemarina ku tanyakan pada Tjania. “Ya ampun, Ra. Kasus gue itu nggak kayak si Tjania. Nggak akan berlanjut ke mana-mana, nggak ada yang namanya pendekatan segala, yang ada cuma hubungan antara bos sama staf biasa. Ogah banget pacaran satu divisi, apa lagi sama bos sendiri. Duh, nggak deh. Masih banyak cowok lain di luar sana yang bisa digaet, ngapain gue deketin bos sendiri? Mana bos gue ini orangnya rada nyebelin dan nggak mau dibantah, aduh nggak deh makasih banyak.” Cerocosku. “Ih! Gue cuma mau liat aja tampang bos lo itu gimana. Soalnya gue penasaran gara-gara si Candra, dan banyak juga yang penasaran sama cowok yang jalan bareng lo itu di kantor. Anak-anak pada nanyain gue, katanya apa lo pindah karena lo mau nikah atau gimana.” Satu gosip yang berujung pada gosip-gosip lain bagaikan bola liar yang tidak bisa dikendalikan. Aku yakin kalau dua gosip ini juga nantinya akan berkembang dan hilang jika ada gosip baru yang lebih seru. “Astaga... Pratama Mulya, nama bos gue.” Ara tertawa, terdengar suara ketikan keyboard dari sambungan telepon. Ku rasa Ara ada di depan laptopnya dan langsung mencari nama bosku itu di mesin pencari. Tak lama ia terpekik senang, tanda kalau apa yang dicarinya akhirnya ditemukan. “Subhanallah, pantesan kata si Candra ganteng, ya emang ganteng sih ini orangnya, Je! Ada nih Linkedin-nya, gila ya pengalamannya bagus loh, dia kerja di tempat-tempat elit. Lulusan University of London, loh ini! Emje! Yang kayak begini tuh jarang yang masih single! Kok lo bisa-bisanya ngelewatin yang kayak gini? Kenapa nggak lo swipe kanan aja, sih?” “Lo kira gue main Tinder! Lagi juga emang lo liat fotonya di mana? Bukannya Linkedin dia nggak ada fotonya?” “Hah? Ada kok! Coba aja lo cek deh. Lagi juga, Je! Yang kayak gini tuh langka tau kalau dia nggak punya pasangan. Dia nggak homo, kan? Gue jadi penasaran deh, dia ada media sosial nggak sih? Tuh, kan! Gue jadi kepo nih!” Ara kembali sibuk di depan laptopnya dengan suara keyboard yang sangat aktif terdengar nyaring. Aku pun berjalan ke dapur dan mengambil s**u karton di kulkas untuk kemudian aku tuang ke gelas sambil mengernyit heran, kenapa sekarang Linkedin si bos ada fotonya, ya? Apa sekarang si bos sudah mulai narsis? Aku menggeleng pelan. Sate yang tadi aku beli di jalan sehabis pulang pun masih tersisa di atas meja makan kecil. Aku mengambil piring tersebut dan membawanya ke sofa depan televisi sambil menunggu Ara selesai dengan pekerjaan isengnya. “Dia ada Twitter nih, tapi isinya cuma retweet berita doang. Terakhir update tahun dua ribu delapan belas. Gila udah lama banget. Dia nggak punya i********: apa, ya? Biar gue bisa lebih jelas liat mukanya, foto di Linkedin cuma satu, mana foto formal pula.” “Nggak tau gue, nggak pernah mencoba mencari tahu dia ada i********: atau nggak. Gue juga nggak cari Linkedin-nya, waktu dapat offer dulu. Kayak nggak penasaran aja gitu.” Jawabku yang setelah aku pikir-pikir, aneh juga dulu aku tidak terlalu mencari tahu tentang seluk beluk perusahaan lebih dalam dan hanya percaya pada kata orang-orang mengenai perusahaan ini. Aku mengambil sate yang sudah basah dengan bumbu kecap dan mengunyahnya nikmat. “Lo aneh. Masa lo dulu nggak cari tahu bos lo siapa, orangnya kayak gimana, track record-nya. Makanya lo kualat sampai nggak ngenalin bos lo sendiri, mungkin itu alasan bos lo jadinya rada cranky ke lo. Soalnya anak buahnya nggak tau bosnya kayak gimana. Dendam dia sama lo, tuh, Je.” Omongan Ara membuatku tertawa. “Ih, terlalu sensitif lah kalau dia begitu.” Balasku atas omongan Ara yang sebenarnya masuk akal. “Namanya orang kan siapa yang tahu, Je. Ya udah lo mending sekarang cari tahu deh bos lo itu udah punya pacar apa belum, dia lurus apa belok, punya kelainan atau gimana. Apa mungkin pernah cerai trus punya anak gitu, soalnya yang kayak gini sih langka masih lajang. Kecuali ada alasan-alasan tertentu yang buat cewek mundur.” Tanya Ara lagi namun lebih ke dirinya sendiri. “Lo nggak perlu mempertanyakan apa yang nggak perlu dipertanyakan, Ra. Udah deh, gue nitip salam aja ke Candra. Tolong bilangin ke dia gosipnya itu nggak valid, itu cuma bos gue dan kami cuma kebetulan makan malam bareng karena abis ambil barang buat kantor. Nggak usah sebar gosip-gosip lain yang nggak relevan. Karena apa yang dia omongin itu nggak benar.” Pesanku pada Ara. Ara tertawa, “biarin lah. Hiburan tahu, biar anak-anak pada menduga-duga dan iri sama lo. Udah pindah kantor dapat offer ke kantor yang lebih bagus, trus juga dapet cowok lagi di kantor baru. Level lo udah nggak di level biasa lagi, udah naik level ke staff sosialita, bukan kacung level jelata lagi.” Aku ikut tertawa, “Nggak lah! Lo ada-ada aja lagi punya istilah begitu. Udah deh, Ra. Lo salamin itu ke si Candra ya, emang udah gila itu anak!” “Ya kalau nggak gila ya bukan Candra namanya. Ya udah deh, gue mau telepon Chris. Ingat, Je, kalau kesempatan emas itu nggak datang dua kali. Jadi di coba aja dulu.” “Heh! Nggak ya!” Ara tertawa dan sambungan pun ia putus. Memang kurang ajar teman yang satu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD