Bukan kamu yang kurang baik untukku
Tapi aku yang tak pantas untuk bersanding denganmu ...
*
Sengaja Arumi mengabaikan pesan dari sang pacar karena ia merasa hatinya sangat terluka. Perempuan itu merasa jika dirinya telah mengkhianati kekasih yang begitu baik padanya. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki apa yang telah terjadi, yang kini ia hadapi adalah kenyataan, maka setidaknya Arumi ingin menebus kesalahan yang telah ia buat.
Meskipun, harus melepas orang yang sangat ia cintai.
“Arumi, kenapa melamun? Simpan sini sup ayamnya?” Wanita cantik dengan usia menjelang empat puluh tahun dan rambut yang bergelombang tergerai sempurna itu menyadarkan Arumi.
“I ... iya, Bu Laura,” gugup Arumi sambil mengambil lap kecil untuk mengangkat wadah sayur dengan asap mengepul tersebut. Uap hangat menerpa wajah ayunya disertai dengan aroma kaldu dari sup ayam yang membuat perutnya menjadi ikut lapar.
Namun Arumi tak menggubris panggilan darurat dari sang lambung yang mungkin kadar asamnya sudah naik itu, dia cukup tahu diri untuk tetap makan di belakang layar alias lantai dapur bersama sang ibu dan asisten rumah tangga yang lainnya.
“Ini supnya, Bu.” Arumi menundukkan kepala pada Laura yang sedang menunggu di ruang makan.
“Makasih, ya!” tukas perempuan itu dengan nada tak acuh.
Arumi segera kembali ke dapur dengan langkah kecilnya. Anggota keluarga Nareswara yang tinggal di rumah ini pun terlihat mendatangi ruang makan satu per satu untuk sarapan bersama.
Mulai dari Laura yang sudah sejak tadi berada di sana, kemudian disusul oleh Nenek Marissa dan dua orang laki-laki berusia muda yang juga baru muncul.
“Katanya Aksa mau datang?” tanya Laura pada sang mertua. Ya, Laura adalah menantu Nenek Marissa.
“Kamu ... bertanya? Tapi, aku mendengar kau sangat bahagia karena Aksa sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya di sini!” tutur sang nenek dengan wajah tegasnya.
Laura pun segera mengubah mimik mukanya. “Anu ... maafkan aku, Bu. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku ... hanya bertanya,” timpal perempuan itu dengan agak kikuk.
“Mas Aksa mau ke sini?” tanya salah seorang ABG yang baru datang sambil menarik kursi.
“Kamu jangan nanya, Sya! Nanti dikira, kamu senang kalau mas nggak jadi datang!” tegur ABG lain yang ada di sampingnya.
“Yee, Si Rasya! Aing cuma nanya!”
“Sudah, ayo duduk,” ujar Laura memperingatkan kedua anaknya.
“Iya, Ma!”
“Oke, Ma!”
Mereka berdua menjawab dengan bersahutan.
Sementara itu, wajah sang nenek terlihat masam, akan tetapi ia terlihat tetap berusaha baik-baik saja demi menjaga citra di depan para asisten rumah tangga.
Dari dapur, Arumi mendengar pembicaraan mereka. Bukan menguping, tapi memang terdengar. Tidak hanya Arumi, melainkan semua asisten rumah tangga yang lain juga ikut mendengarnya dengan cara yang sama.
Di rumah ini, Marissa adalah kepala rumah tangga menggantikan mendiang sang kakek yang telah tiada. Satu-satunya anak Marissa adalah Edo, yaitu papa dari Aksa yang juga telah tiada.
Sementara itu, Laura bukanlah menantu yang diinginkan oleh keluarga Nareswara. Dia menikah dengan Edo setelah ibu dari Aksa meninggal dunia. Meski sempat tak disetujui oleh Marissa, tapi apa boleh buat karena Laura telah terlanjur hamil dan mengandung bayi kembar yang kemudian diberi nama Rasya dan Arsya, adik seayah dari Aksa.
Kembali pada suasana dapur yang mendadak hening seolah tak menggubris terhadap perbincangan para majikan di meja makan, Bi Minah memukul pundak Arumi yang sejak tadi berdiri di depan wastafel tanpa melakukan apa-apa dengan keran air yang terbuka.
“Hei, ini dimatikan kalau tidak dipakai!” tegur sang ibu sambil memutar keran air.
Arumi yang terkejut langsung sadar dengan tepukan ibunya. “Ma, maaf, Bu. Arumi ... ingin ... ke belakang dulu,” ujar perempuan muda dengan rambut panjang tersebut.
Suasana dapur kembali hening, begitu pula dengan keadaan di ruang makan. Di sana hanya terdengar denting sendok yang bersinggungan dengan piring porselen, juga beberapa kecapan mulut dari orang-orang yang ada di sana.
Keheningan itu menjadi semakin hening.
Arumi yang sedang naik tangga untuk menuju ke kamarnya, menyadari ada seseorang yang datang ke arah ruang makan.
Terlihat semua orang berhenti mengunyah makanannya dan menatap pada pria bertubuh jangkung yang bayangannya seakan jatuh memenuhi meja makan.
Gadis yang hendak naik ke lantai dua itu pun mendadak tak memiliki tenaga untuk melangkahkan kaki agar bisa menapaki anak tangga yang lebih tinggi. Lututnya bergetar disertai dengan jantung yang berdebar kencang. Debar itu bukanlah debar dari seorang gadis pada pemuda karena perasaan cinta, melainkan debar dari seorang dara yang bertemu pada pria berumur yang telah menodainya.
Arumi menggigit bibirnya lebih keras untuk mencegah agar ia tak menangis. Sekuat tenaga ia memalingkan wajah dan berusaha untuk melihat pria di sana yang membuat bayangan kejadian kemarin terlihat lebih jelas.
Sekuat dan setegar apa pun Arumi, tak ada seorang pun perempuan di dunia yang sanggup untuk bertemu dengan pemerkosanya. Tidak akan!
Rasanya Arumi sudah bergegas untuk melangkah agar ia segera sampai ke lantai dua, tapi waktu ia menapaki tangga demi tangga ini terasa begitu lama. Perempuan muda itu tak kuat lagi menahan air mata agar tidak menangis.
Ia menuju kamar petaknya dan segera meraih gagang dari pintu tersebut.
Tapi suara bariton yang semalam terdengar parau itu kini begitu tegas memanggilnya. “Kau, Arumi?”
Spontan, tangan Arumi berhenti memutar knop pintu. Tidak hanya Arumi, tapi semua orang yang ada di sana juga menoleh menatap Aksa.
“Aksa, kau baru datang, duduklah!” titah sang nenek mengalihkan perhatian Aksa.
Perempuan lanjut usia itu bangkit dari duduknya dan menarik sebuah kursi untuk tempat duduk Aksa. Dia masih memperlakukan cucu sulungnya ini bak anak raja, bahkan si kembar yang notabene lebih muda dari Aksa pun tak pernah merasakan dimanja sedemikian rupa oleh sang nenek.
Aksa tak melepas pandangan sedikit pun pada Arumi yang sedang gugup memegang knop pintu.
“Iya, dia Rumi yang mengantar rantang makanan untukmu kemarin,” tutur sang nenek lagi. “Kau tidak membawa rantang nenek, ya? Di sana juga tidak terpakai, harusnya kaubawa pulang ke sini!”
Pria dengan jas abu tersebut masih menusukkan pandangannya pada Arumi, tapi sayangnya, perempuan muda itu kini telah masuk ke kamar dan tak menggubris panggilan dari Aksa.
Hal tersebut membuat Laura dan kedua anaknya merasa aneh dengan tingkah laku dari Aksa.
Melihat panggilannya diabaikan oleh Arumi, Aksa pun merasa heran sekaligus kesal. “Suruh saja Arumi datang ke apartemenku untuk mengambil rantang birunya!”