“Arumi, bagaimana tadi, sudah?” tanya seorang perempuan paruh baya dengan ciput merah tua yang menghampiri Arumi, ketika gadis itu baru saja datang.
Akan tetapi gadis dengan sebuah goodie bag di lengan kirinya itu sama sekali tak menggubris ucapan sang ibu.
“Arumi ...?” panggil ibunya sekali lagi yang tetap diabaikan oleh Arumi.
“Bi Minah, coba tolong ini digotong ke luar!” panggil seorang wanita tua padanya. Sehingga perempuan paruh baya itu akhirnya membiarkan anak gadisnya untuk naik ke lantai dua. Sementara dia langsung menghampiri sang majikan.
Arumi melihat ibunya telah berhenti mengejarnya, dia pun masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.
Kue yang ia bawa untuk sang pacar sudah tak berbentuk karena Arumi membawanya dengan sembarangan. Ia geletakkan begitu saja di atas lantai, sementara dirinya langsung berbaring di kasur dalam keadaan yang berantakan.
Air mata terus berderai sembari gadis itu berbaring menyamping melihat ke arah jendela. Beberapa menit berselang, kembang api terlihat dari balik jendelanya.
Dengan mata yang berkabut, Arumi mengamati kemeriahan di luar jendelanya. Kebahagiaan di luar sana tak bisa ia rasakan karena hatinya sudah mulai tercabik-cabik. Ia merasa malu dan kotor sampai tak berani menunjukkan muka di depan orang lain.
Gadis itu pun duduk sambil bersandar dan memeluk lututnya. Tapi sesaat kemudian dia mengacak-acak rambutnya dan juga memukul-mukul tubuhnya sendiri. Rasa sesal dan benci memenuhi dirinya, seakan dia tak mau bertemu orang lain dan ingin segera menemui ajalnya saja.
“Arumi ...,” panggil sang ibu dari luar kamarnya.
Dengan segera, Arumi menarik selimut dan pura-pura tertidur. Terdengar suara sang ibu yang berusaha membuka pintu, akan tetapi Arumi tetap enggan membukanya.
Yang dirasakan oleh gadis itu saat ini adalah perasaan malu yang begitu besar, hingga ia tak mau bertemu dengan orang lain. Terutama pada wanita yang pernah melahirkan dirinya, ia seakan merasa bersalah yang amat besar karena telah melakukan hal tersebut dan tak bisa menjaga keperawanannya.
“Ya sudah kalau kamu tidak mau keluar, tapi nanti kalau mau makan keluar ya. Gabung sama yang lain, Nyonya Marisa sedang mencarimu tadi. Makanya ibu disuruh panggil ke sini.”
Setelah berkata demikian, suara ketukan pintu itu pun terhenti. Arumi hanya bisa mengembuskan napas dengan lega begitu mendengar ibunya menjauh.
Gadis ini memikirkan apa yang harus ia lakukan ke depannya. Dunianya terasa runtuh karena kejadian beberapa jam yang lalu. Dirinya pun meremas selimut dalam genggamannya dengan sangat kuat.
Perasaan ingin bunuh diri agar hidupnya berakhir pun terlintas begitu saja. Akan tetapi, ia tak bisa meninggalkan tanggung jawabnya terhadap sang ibu begitu saja. Dia sudah kepalang berjanji untuk menjaga ibunya sampai tua nanti dan membiayai kehidupannya sehingga sang ibu tak perlu menjadi pembantu lagi.
Namun ... untuk kali ini ... Arumi benar-benar tak sanggup untuk menghadapi hari esok, karena sampai hari ini saja dunia sudah begitu kejam padanya.
Bagaimana bisa dia menghadapi tahun baru, sementara akhir tahun ini bagaikan akhir dari hidupnya.
“Hai, Arumi. Selamat tahun baru!” gumamnya pada diri sendiri dengan hati yang pilu.
**
1 Januari 2023
Hari Minggu pertama di tahun baru. Masih dalam suasana libur kuliah, walau terkadang gadis itu harus tetap pergi ke kampus untuk mengurus berbagai hal seperti hari kemarin. Iya, hari kemarin yang menjadi hari tersial untuk Arumi.
Meski rasanya ingin mengakhiri hidupnya di akhir tahun kemarin, nyatanya Arumi masih hidup dan menghirup udara pagi.
Dia masih merasa sakit di antara kedua belahan kakinya, akan tetapi ia harus tetap bangun dari tempat tidurnya agar tidak menimbulkan rasa curiga bagi sang ibu.
Cukup dalam satu hari dia bersedih, hari berikutnya ia harus kembali merasakan kebahagiaan dan melupakan malam yang telah menghancurkan dirinya. Walaupun ... ia tetap tak akan sanggup untuk bertemu dengan kekasihnya.
“Arumi ..., Arumi ...,” panggil sang ibu lagi dengan suara khawatir saat usai salat subuh.
Kali ini, Arumi mencoba untuk memasang senyum saat membuka pintu. Ia tak mau perempuan paruh baya itu menangkap gelagat buruk dari dirinya.
“Arumi,” panggil Bi Minah sekali lagi.
“Iya, Bu.” Dengan terburu-buru, Arumi turun dari ranjang dan membuka pintu.
Perempuan paruh baya itu langsung mengembuskan napas dengan lega begitu melihat anaknya yang membuka pintu. “Ibu khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Perasaan ibu kemarin tiba-tiba tidak enak begitu saja,” tutur Bi Minah sambil melihat ke arah anak gadisnya dengan tatapan sayu.
“Kemarin ... Rumi kecapekan kayaknya, Bu. Mata Rumi benar-benar ngantuk karena udah ketiduran juga pas naik taksi.” Perempuan itu beralasan agar sang ibu tidak curiga.
Bi Minah pun langsung mengembuskan napas dengan lega begitu mendengar penjelasan dari sang anak. “Syukurlah kalau begitu, ibu sempat khawatir takut kamu kenapa-kenapa. Pantas dipanggil-panggil kemarin malam untuk ikut bakar sate kamu diam saja. Ketiduran toh ternyata,” ungkap perempuan berciput tersebut.
Arumi pun keluar kamar dan turun ke lantai satu langsung menuju dapur mengikuti ibunya.
“Ibu hari ini masak apa?” tanya gadis itu menunjukkan semangatnya untuk menutupi hati yang tengah hancur.
“Biasa, acar ikan mas. Katanya Mas Aksa mau ke sini.” Bi Minah memberi tahu pada anaknya.
Sontak saja, Arumi pun langsung mematung dan jantungnya berdegup kencang. Bayangan kemarin saat pria itu memaksa dirinya berbaring, lalu melepas pakaiannya dan memaksanya untuk tidur bersama langsung lewat sekelebat, tapi menyiksa batinnya.
“Rumi?” panggil sang ibu sekali lagi karena menyadari anaknya malah diam saja.
“Eh, iya, Bu,” timpal Arumi pura-pura baik-baik saja.
Sementara itu, dari ruang tengah ada seseorang yang berteriak sambil menghampiri dapur.
“Bi Minah, beneran Si Aksa mau datang kemari?” tanya perempuan cantik dengan rambut bergelombang tersebut.
Ibunda dari Arumi itu pun langsung menoleh. “Benar, Bu Laura.”
Wanita itu pun langsung meneguk ludahnya. “Kok dia bisa-bisanya mau datang ke sini. Biasanya juga nggak mau,” komentarnya sambil membuka kulkas.
Bi Minah hanya menggelengkan kepalanya. “Bu Laura sedang mencari apa? Mau saya bantu?” tawar Bi Minah.
“Jus jeruk, Bi. Buatkan ya!” pinta wanita tersebut sambil berlalu.
Arumi menggelengkan kepalanya. “Padahal, yang menjadi pewaris itu Pak Aksa, tapi yang tinggal di rumah ini adalah ibu tirinya.”
“Ssst! Jangan berkomentar apa-apa! Kamu nggak tau yang terjadi bagaimana!” tegur sang ibu pada anaknya.
Arumi pun kini membantu sang ibu untuk membuat sarapan untuk keluarga dari majikannya ini. Sembari dalam hatinya merasa tak karuan, bagaimana jika dia harus bertemu dengan cucu pertama pewaris keluarga Nareswara nantinya.
Saat ia membantu sang ibu, Arumi pun merasa ada seorang yang mengiriminya pesan. Gadis itu membuka ponsel android jadul miliknya dan melihat ada sebuah pesan yang ia terima.
[Happy New Year, Sayang. Maaf, mas telat ngucapin.] ~ Mas Riko
Seketika, Arumi pun mematikan ponselnya. Ia tak berani membalas pesan tersebut karena merasa tak pantas untuk bersanding dengan Riko lagi.
“Happy New Year, juga, Mas,” timpal Arumi dalam hati.