“Kenapa harus aku lagi?”
Arumi langsung mengeluh pada ibunya ketika ia mendengar sang ibu menyampaikan perintah majikan padanya.
“Sudah, tidak apa-apa. Nanti sebelum kamu berangkat kuliah, mampir saja ke apartemen Pak Aksa.” Bi Minah memberikan saran pada Arumi.
Perempuan muda itu menggigit-gigit bibir bawahnya, dia menunjukkan rasa keberatan.
“Ini permintaan langsung dari Pak Aksa, kamu tidak boleh begitu,” ujar sang ibu pada Arumi.
Arumi hanya menaikkan bola mata saat menatap sang ibu. Ingin dia menangis dan marah pada perempuan di depannya, tapi hal itu tak bisa ia lakukan. Ia tak mau ibunya curiga dan mengetahui apa yang telah menimpanya kemarin malam.
Masih sulit baginya untuk bisa bangkit dan menghadapi hari, apalagi jika harus sengaja mendatangi tempat terkutuk bernama ‘Apartemen Aksa’ tersebut.
“Kayaknya Pak Aksa suka sama kamu, turuti saja,” celetuk sang ibu pada Arumi.
Sontak saja perempuan tersebut langsung membelalakkan matanya lebih lebar sambil berteriak, “Amit-amit, Ibu. Amit-amit!”
“Eh, eh, eh.” Bi Minah langsung menepuk pundak sang anak. “Maksud ibu, bukan suka seperti lawan jenis. Tapi suka dengan kinerja kamu begitu, loh! Persis sama Nyonya Marisa ke kamu,” tutur sang ibu memperjelas ucapannya.
Mendadak Arumi langsung mengubah mimik mukanya. Entah ia malu karena salah menafsirkan, entah ia kesal karena permintaan sang ibu.
“Lagi pula, Pak Aksa nanti tidak akan ada di apartemennya. Dia, kan, berangkat ke kantor. Kamu bisa ambil diam-diam saja rantangnya,” ucap sang ibu.
Arumi pun langsung melongo mendengar ucapan sang ibu. “Tidak semudah itu, Bu. Kita harus punya kartu untuk akses naik lift, selain itu ... kita juga tidak tahu berapa nomor apartemen yang akan kita masuki. Kalaupun aku tahu pun, aku tidak mau datang ke sana lagi,” ucap Arumi pada sang ibu.
“Arumi ....” Bi Minah merasa gagal membujuk sang anak.
Ia tak bisa berkata apa-apa lagi dan membiarkan Arumi pergi dari kamar sambil membawa tas kuliahnya.
Bagi Arumi, ada banyak asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga Nareswara. Kenapa harus dia yang diminta untuk datang ke apartemen pria tersebut?
Setelah anak semata wayangnya itu pergi, Bi Minah kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia mendatangi salah satu ART laki-laki yang sedang mengangkat karung beras dan menyimpannya ke gudang penyimpanan.
“Ton! Tono!” panggil Bi Minah pada pemuda tersebut.
“Kenapa, Bi?” timpal Tono setelah ia menggeletakkan karung beras ke dalam gudang penyimpanan.
“Kamu yang ambil rantang biru, ya. Arumi katanya sibuk mau berangkat kuliah.” Bi Minah mencari-cari alasan yang masuk akal kenapa anaknya menolak perintah tersebut.
“Oh, gitu! Siap, Bi! Gampang! Nanti aku yang ambil!” jawab pemuda tersebut sambil berjalan kembali untuk mengangkut minyak goreng dan belanjaan lainnya dari mobil pengangkut.
Mendengar jawaban Tono yang sama sekali tak berkeberatan itu, Bi Minah pun merasa lega.
**
Siang hari di kampus Arumi, perkuliahan sudah padat dengan jadwal tugas karena ia memasuki semester genap tahun pertama. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian semalam. Meski memberi trauma baginya, tapi Arumi berusaha sekuat mungkin untuk tetap tegar dan teguh dalam meraih mimpinya.
“Rumi, nanti makalahnya dikerjain di tempat Priska aja, ya? Gimana menurutmu?” Salah seorang kawan Arumi menghampiri bangkunya.
“Oke, nggak apa-apa. Aku ngikut aja,” tutur Arumi sambil membereskan bawaannya.
“Sekarang aja, yuk! Berbarengan naik grab-nya.”
“Hayuk aja, sih! Biar murah!” kekeh Arumi sambil terus berjalan menuju ke luar kampus bersama teman-temannya.
Menyusuri lorong gedung kampus, terasa begitu panjang. Akan tetapi, semuanya tidak terasa karena mereka semua tengah mengobrol dengan begitu ramai.
Pembicaraan perempuan yang membahas segala hal. Mulai dari sepatu, model rambut sampai hewan peliharaan artis. Pantas saja mereka tidak akan pernah bosan jika sedang bersama, karena topik yang mereka tidak akan habis. Begitulah lingkungan pergaulan Arumi, jika tidak mengobrol, mereka akan jajan makanan dari abang-abang yang berjualan di tepi jalan.
“Mau jajan seblak dulu, nggak?” tawar Priska saat mereka sedang berada di pinggir jalan.
“Boleh.”
Ramai dan padatnya lalu lintas kota tak mempengaruhi mereka untuk berhenti mengeksplor jajanan yang ada di dekat kampus. Tukang dagang kaki lima itu berjajar memenuhi trotoar hingga terkadang menyulitkan para angkutan umum yang berhenti untuk menurunkan penumpang.
“Mang, seblaknya tiga!”
“Pedas nggak, Neng?”
“Kamu mau yang pedes nggak?”
“Sedang aja!”
“Aku pedes banget.”
“Aku sedang aja jangan pakai daun bawang.”
Mereka berebut tempat dengan pembeli lain yang mengantre.
Tak sekali tangan mereka yang bergerak dan disangka melambai untuk menghentikan angkutan umum.
Klakson mobil dan deru motor bersahutan, asap kendaraan ditambah panas matahari benar-benar membuat pengap. Tapi aroma seblak dengan cabai yang memenuhi setiap kuahnya membuat mereka terlena dan lupa akan suasana siang hari yang meresahkan.
“Pengennya pulang sama pacar dijemput pakai mobil,” celetuk gadis dengan rambut agak keriting tersebut.
“Si Priska halu,” tukas teman Arumi yang satu lagi sambil terkekeh.
“Si Lani mah, kayak yang nggak mau aja dijemput cowok cakep pakai mobil.” Priska memprotes ucapan dari kawannya.
“Oke deh, sorry! Kalau begitu kamu harus cari cowok dari fakultas sebelah. Kan, ganteng-ganteng tuh, bawa mobil lagi!” timpal Lani lagi sambil terkekeh.
Meski penggorengan mamang seblak begitu berisik dengan suara peraduan antara spatula dan wajan, hal tersebut tak membuat gosip mereka berhenti begitu saja.
Seketika, Arumi pun teringat dengan pria tampan yang membawa mobil. Pria tersebut datang ke meja makan pagi tadi, lalu menanyakan namanya.
Arumi pun tersentak dan langsung berkata, “Nggak semua cowok tampan dan bermobil itu adalah pria idaman. Mereka pria b******k!” umpatnya dengan nada agak tinggi.
Hal tersebut membuat semua pembeli seblak yang notabene adalah seorang perempuan menoleh melihatnya.
“Kamu kenapa, sih? Aku, kan, cuma bercanda, Mi,” timpal Priska yang merasa tersinggung oleh ucapan Arumi.
Arumi pun langsung sadar dan menoleh pada teman-temannya. Ia pun baru menyadari, jika sejak pagi tadi ia banyak melamunkan Aksa. Pikirannya selalu tertuju pada pria tersebut dan ingin mengumpatinya.
“Eh, Pris, sorry! Aku cuma ....”
“Ini, Neng seblaknya. Semuanya jadi tiga puluh ribu, ya.” Suara mamang seblak tersebut memotong perkataan Arumi yang kebetulan memang sedang kebingungan memberi jawaban.
Priska menyodorkan uang untuk membayar makanan mereka, sementara Lani menerima seblak yang diberikan.
“Kamu kok kayak yang nggak fokus dari tadi,” ucap Priska sambil memperhatikan Arumi.
“Otaknya masih pingin liburan, ya, kamu?” gurau Lani pada kawannya tersebut.
Arumi sendiri masih kebingungan untuk memberi alasan kenapa ia tak bisa fokus sejak tadi. Tak mungkin juga dirinya menyatakan jika ia baru saja mendapatkan pelecehan dari seorang pria. Ia bukanlah gadis yang terbuka untuk menceritakan masalah pada teman-temannya.
Mereka bertiga pun jalan bersama sambil menunggu grab yang mereka pesan.
Ketiganya berdiri di trotoar yang jauh dari kawasan pedagang kaki lima. Tak ada yang berbicara saat itu, karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan Lamborghini berwarna kuning berhenti tepat di depan mereka. Lalu mobil tersebut mengedipkan lampunya.
“Hei, yang kamu pesen grabnya pakai mobil apa?” tanya Lani pada Priska tanpa mengedipkan mata.
“Avanza hitam, Beb!” jawab Priska dengan ekspresi yang tak jauh berbeda dengan Lani.
“Kalau gitu kita minggir aja dulu, ya. Nanti grabnya nggak bisa lihat kita,” usul Arumi pada kedua temannya.
Mereka pun menggeser kaki mereka beberapa langkah untuk menjauh dari mobil tersebut. Akan tetapi, pintu mobil kuning itu malah terbuka dan menunjukkan sang pengemudi yang turun darinya.
“Cowok cakep, Pris,” ujar Lani.
“Impian aku ini mah!” timpal Priska begitu saja.
Berbeda dengan dua temannya, Arumi memasang ekspresi tak senang meski baru melihat surai dari pria pemilik Lamborghini tersebut. “Ini yang aku maksud cowok ganteng pakai mobil tapi b******k itu,” gumam Arumi lirih yang membuat kedua temannya menoleh dengan ekspresi tak setuju.
Arumi memundurkan langkah karena tak ingin terlihat oleh pria tersebut. Ia tak tahu apa kepentingan Aksa datang ke tempat ini, tapi dirinya tak mau lagi berurusan dengan pria tersebut. Jika bisa, ia berharap Aksa tak perlu ingat dengan kejadian semalam agar tak menjadi masalah ke depannya.
“Kenapa kau tidak mengindahkan perintahku?” Dalam jarak satu meter, Aksa memberi pertanyaan begitu tegas untuk perempuan muda di hadapannya.
“Dasar, Pak Aksa b******k! Memang tidak ada asisten lain yang bisa ia perintah! Jangan-jangan, dia mau memanfaatkan aku saja! Tidak! Aku tidak mau lagi!” Arumi menyilangkan tangan di depan dadanya, sambil mengumpati Aksa. Tentu saja umpatan tersebut hanya dalam hati.
“Kenapa tidak jawab aku!”
“Ma, maaf, Pak Aksa,” jawab Arumi yang pada akhirnya hanya mampu mengatakan maaf tanpa mewakili kekesalannya.
Sementara itu, Lani dan Priska saling memandang. Mereka memilih tak ikut campur pada urusan kawannya tersebut. “Kami permisi dulu,” ujar mereka sambil menaiki grab yang sudah datang.
Arumi mengulurkan tangan untuk mengikuti temannya, akan tetapi pergelangannya itu ditahan oleh pria yang ada di hadapannya.
“Masuk ke mobilku!”